Revolusi Sunyi dari Mereka yang Takut Berdemonstrasi
Pegawai, dokter, insinyur, petugas bea cukai, buruh pelabuhan, petugas kereta api, dan pekerja tekstil, semua bergabung dalam gerakan pembangkangan sipil (CDM).
Ribuan tenaga kerja Myanmar melancarkan aksi mogok kerja dalam beberapa bulan terakhir sejak kudeta 1 Februari lalu.
Pegawai, dokter, insinyur, petugas bea cukai, buruh pelabuhan, petugas kereta api, dan pekerja tekstil, semua bergabung dalam gerakan pembangkangan sipil (CDM).
-
Kapan Kodak bangkrut? Ya, perusahaan yang memiliki slogan “You press the button, we do the rest” itu pada tahun 2012 lalu dinyatakan bangkrut.
-
Kenapa Kue Tapel mirip Kue Leker? Cita rasa gurih, harum dan sedikit manis berpadu jadi satu di tiap porsinya. Belum lagi teksturnya cukup unik, yakni renyah di luar dan lembut di dalam, membuat Kue Tapel mirip kue leker.
-
Kapan Umbul Manten ramai dikunjungi? Pada saat menjelang Bulan Ramadan, Umbul Manten sering dijadikan lokasi padusan.
-
Kapan Raden Rakha lahir? Raden Rakha memiliki nama lengkap Raden Rakha Daniswara Putra Permana. Ia lahir pada 16 Februari 2007 dan kini baru berusia 16 tahun.
-
Kapan Rafathar potong rambut? 3 Namun, ternyata Raffi dan Nagita ingin anak mereka tampil berbeda menjelang Hari Raya Idul Fitri yang tidak lama lagi.
-
Kapan kapal Dinasti Ming tenggelam? Para arkeolog meyakini bangkai kedua kapal ini berasal dari periode yang berbeda dari Dinasti Ming, sekitar tahun 1368-1664.
Sejumlah tenaga kerja termasuk dari korban 550 orang tewas akibat kekerasan militer sejak terjadi kudeta. Sebagian lagi ditangkap atau masih hilang.
Namun mereka mengatakan junta memaksa mereka melakukan tindakan radikal, meski mereka tidak bisa ikut turun ke jalan bersama demonstran yang lain.
"Saya tidak punya uang lagi. Saya takut, tapi tidak ada pilihan. Kami harus menghancurkan kediktatoran ini," kata Aye, pegawai bank berusia 26 tahun kepada AFP, seperti dilansir laman Channel News Asia, Senin (5/4).
"Kami tidak berdemo di jalanan, kami terlalu takut masuk daftar militer sebagai orang yang akan ditangkap. Revolusi kami adalah revolusi sunyi."
Perlawanan mereka terus berlanjut meski militer-- lewat media pemerintah-- kerap mengancam orang untuk tetap pergi bekerja. Para tenaga kerja itu justru makin kuat.
"Gerakan kami terus tumbuh," kata Thaung, pegawai penerbangan kepada AFP seraya mengatakan lebih dari separuh dari 400 pegawai di departemennya belum kembali bekerja.
Krisis ini kian menyulitkan perekonomian Myanmar, salah satu negara miskin di Asia, di tengah hantaman pandemi. Sekitar seperempat penduduk hidup dengan kurang dari USD 1 per hari.
"Junta tidak siap dengan perlawanan semacam ini," kata Francoise Nicolas, Direktur Asia Institut Hubungan Internasional Prancis.
Dengan pegawai perbankan yang mogok dan tenaga kerja kesulitan mendapat upah dan mesin ATM juga kosong.
Sektor garmen Myanmar yang sebelum kudeta berkembang pesat dengan lebih dari 500.000 tenaga kerja kini ambruk.
Perusahaan asing seperti H&M asal Swedia dan Benetton Italia mengumumkan mereka menunda pesanan sementara pabrik tekstil milik perusahaan China yang memproduksi merek-merek Barat terbakar.
Situasi buruk juga dialami para petani. Harga benih dan pupuk terus meroket, sementara mata uang, kyat, terus merosot nilainya. Harga-harga melambung.
Harga bahan bakar di Yangon naik 50 persen Maret lalu, kata koran the Mywaddy.
Barang-barang kebutuhan pokok, bahan bangunan, peralatan medis yang biasanya diimpor dari China mulai langka.
"Para pengusaha China tidak mau lagi mengekspor karena rakyat Birma memboikot produk-produk mereka dan menuduh Beijing mendukung junta," kata Htwe Htwe Thein, profesor bisnis internasional di Universitas Curtin Australia.
Junta Kaya Raya
Meski kondisi ekonomi ambruk, junta militer masih tutup mata dengan penderitaan rakyat Myanmar.
Junta masih menikmati keuntungan berkat konglomerasi yang mereka kuasai, dari mulai sektor transportasi, pariwisata, perbankan. Mereka menghasilkan miliaran dolar sejak 1990, kata Amnesty International.
Amerika Serikat dan Inggris sudah menjatuhkan sanksi kepada junta namun banyak negara lain yang berbisnis dengan Myanmar menolak melakukan hal sama.
(mdk/pan)