Akhir Hidup Wikana, Tokoh Pemuda ‘Penculikan Rengasdengklok’ yang Berakhir Tragis
Nama Wikana dikenal sebagai salah satu pemuda Menteng 31. Sosok pemuda revolusioner yang berani menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok. Akhir hidupnya tragis.
Sosok kurus berkacamata itu kerap menghuni Menteng 31. Markas para pemuda revolusioner kala itu. Namanya Wikana. Sejak era kolonial Belanda, Wikana sudah bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan bergerak di bawah tanah.
Setelah pemberontakan PKI meletus tahun 1926 di Hindia Belanda, pemerintah kolonial melarang partai tersebut. Para aktivisnya pun bergerak secara kladestin. Termasuk Wikana.
-
Apa yang jadi titik balik karier Teuku Rifnu Wikana? Tahun 2004, kehidupan Rifnu menemukan titik baliknya. Ia debut sebagai aktor layar lebar di film Mengejar Matahari sebagai Teman Obet Besar.
-
Bagaimana Teuku Rifnu Wikana memulai karier aktingnya? Rifnu memulai kecintaannya dengan dunia seni peran sejak duduk di bangku kelas 4 SD. Pada saat itu ia bergabung dalam Teater 46 yang dikepalai oleh Teuku Rinaldi.
-
Siapa yang tewas di Rutan Cilodong? Seorang tersangka inisial RAJS (26) meninggal dunia, setelah mendekam di balik jeruji besi Rutan Cilodong Depok.
-
Dimana pemuda itu meninggal? Pemuda itu meninggal dunia usai dipatuk ular kobra pada bagian hidungnya.
-
Bagaimana Teuku Nyak Makam wafat? Ia kemudian mengalami pemancungan kepala, suatu bentuk hukuman yang sangat kejam. Tubuhnya juga mengalami penghancuran oleh para serdadu Belanda.
-
Kenapa Warok Singobowo terkenal? Mengunjungi Petilasan Warok Singobowo, Tokoh Penting dalam Sejarah Reog Ponorogo yang Tak Banyak Dikenal Orang
Menurut rekan Wikana di Menteng 31, AM Hanafi, Di zaman Jepang, Wikana bergabung bersama Ahmad Subardjo di Beppan, badan intelijen Jepang. Di sinilah keduanya banyak berinteraksi dengan Laksamana Maeda.
Saat Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu tanggal 15 Agustus 1945, kabar ini dengan cepat diterima para pemuda. Mereka tidak mau menunggu lagi janji-janji Jepang. Kemerdekan Indonesia harus segera diproklamasikan. Jangan sampai ada kesan kemerdekaan Indonesia adalah pemberian Jepang.
“Kami tidak mau ‘kemerdekaan hadiah’. Jangankan di kelak kemudian hari, janji besok pun kami tidak sudi menerimanya,” demikian sikap para pemuda seperti ditulis AM Hanafi dalam buku Menteng 31, Membangun Jembatan Dua Angkatan.
Tanggal 15 Agustus malam, para pemuda mendatangi rumah Sukarno. Mereka mendesak agar Sukarno segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia malam itu juga. Atau selambat-lambatnya tanggal 16 Agustus.
Wikana salah satu pemuda yang malam itu hadir. Dia mencoba menggertak Bung Karno dengan pisau di tangannya. Sukarno menggambarkan pemuda kurus itu mengancamnya dengan suara parau, sambil memegang pisau yang terhunus.
“Kami tidak ingin mengancammu Bung. Tapi revolusi sekarang ada di tangan kami dan Bung di bawah kekuasaan kami. Kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu…”
“Lalu apa?” Sukarno marah besar mendengar ancaman Wikana. Dia maju dan menyodorkan lehernya ke arah para pemuda itu. Balik menantang mereka.
“Ini leherku. Boleh potong! Hayo, boleh penggal kepalaku!” tantang Sukarno.
Situasi berubah. Para pemuda itu diam. Sukarno menguasai keadaan malam itu dan para pemuda pulang dengan perasaan jengkel. Demikian dikisahkan dalam buku biografi Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Sang Pembocor Rengasdengklok
Para pemuda tersebut tidak puas dengan penolakan Sukarno. Mereka kemudian menculik Sukarno-Hatta dan membawa para pemimpin bangsa itu ke Rengasdengklok tanggal 16 Agustus dini hari.
Dalam pikiran pemuda, membawa Bung Karno dan Bung Hatta adalah upaya untuk menjauhkan kedua pemimpin itu dari pengaruh Jepang. Mereka berharap Revolusi segera berkobar di Jakarta dan Bung Karno mau segera membacakan proklamasi.
Aksi itu berhasil membuat semua orang kebingungan, termasuk Jepang. Semua bertanya-tanya kemana Sukarno dan Hatta?
Para pemuda menutup mulut rapat-rapat. Namun justru Wikana yang ‘membocorkan’ lokasi tersebut pada Ahmad Subardjo. Di tengah kabar yang tak pasti dari Rengasdengklok, Wikana tak tahan menyimpan rahasia saat didesak oleh Ahmad Subardjo.
Begitu mengetahui lokasi penculikan Sukarno-Hatta, Ahmad Subardjo dan Sudiro segera tancap gas menjemput Sukarno. Para pemuda yang tahu mencoba mengejar mobil tersebut, namun sudah tak terkejar. Aksi mereka gagal total dan saat petang, Sukarno-Hatta sudah dijemput kembali ke Jakarta oleh Ahmad Subardjo.
Kontan para pemuda marah besar pada Wikana. AM Hanafi dan Chaerul Saleh mengaku ‘menggasak’ Wikana habis-habisan.
“Dengan muka pucat, dia mengaku bersalah. Untunglah dia masih berani mengakui kesalahannya,” kenang Hanafi yang puluhan tahun setelahnya pun merasa masih gemas dengan ulah sekondannya tersebut.
Dari Menteri Hingga Lenyap
Awal-awal kemerdekaan adalah puncak karir Wikana. Pemuda revolusioner itu sempat menjadi menteri urusan pemuda dalam kabinet Sjahrir. Karirnya meredup setelah pemberontakan Musso di Madiun tahun 1948.
Di saat triumvirat DN Aidit, MH Lukman dan Njoto memimpin kebangkitan PKI di tahun 1950an, Wikana tak masuk dalam ring satu partai komunis tersebut. Dia tersisih dari elite PKI.
“Aidit menganggap Wikana generasi komunis tua yang berpikiran kolot dan tidak revolusioner,” kata sejarawan Hendi Jo saat dihubungi merdeka.com.
Tua di sini jelas bukan soal umur. Secara usia, keduanya hanya berbeda sembilan tahun. Wikana kelahiran 1914, sementara DN Aidit 1923. Keduanya pun pernah sama-sama aktif sebagai aktivis Menteng 31.
“Sejak zaman pergerakan, Wikana ini dekat dengan kalangan intelijen. Aidit mungkin khawatir memasukkan tokoh bergaya intel ke dalam CC PKI yang dipimpinnya,” kata Hendi.
Wikana memang masih menjabat anggota MPRS. Tapi dia tidak memiliki kekuasaan sama sekali di partai.
Saat G30S PKI meletus, Wikana tengah berkunjung ke Peking bersama beberapa tokoh PKI lain. Dia segera kembali ke tanah air. Tak perlu menunggu lama, dia dikabarkan dijemput tentara di rumahnya.
“Wikana hilang, tidak diketahui nasibnya seperti banyak tokoh kiri saat itu,” beber Hendi Jo.
Keberadaan Wikana tidak diketahui sampai hari ini. Setiap menjelang 16 Agustus, namanya disebut sejenak terkait peristiwa Rengasdengklok. Setelah itu kembali dilupakan.