Ribuan pengungsi Rohingya diduga mengidap HIV/AIDS
Diduga kuat penyebaran HIV/AIDS di antara pengungsi Rohingya sudah terjadi sejak mereka masih berada di Myanmar. Menurut pengakuan sejumlah pasien, mereka mengatakan ketika sakit di Myanmar selalu diberi obat dengan cara disuntik oleh dokter setempat. Mereka tidak tahu apakah jarum suntik dipakai baru atau bekas.
Ternyata ribuan pengungsi Rohingya dikabarkan mengidap HIV/AIDS. Diduga selama ini banyak orang Rohingya tidak mengetahui atau sengaja menutupi kalau mereka terjangkit penyakit mematikan itu.
Menurut dokter di rumah sakit di wilayah Cox's Bazar, Bangladesh, dr. Shaheen Chowdhury, hingga saat ini dia sudah menemukan 62 kasus HIV yang sebagian besar pengidapnya merupakan perempuan dan anak-anak yang tertular saat di dalam kandungan. Salah satu pasiennya dikabarkan meninggal di kamp pengungsian. Mereka semua mengaku tidak sadar kalau mengidap penyakit itu.
"Kalau ingin melihat skala masalah sebenarnya bakal menakutkan. Kami memperkirakan sekitar 5000 orang Rohingya yang datang ke Bangladesh sejak 25 Agustus lalu positif HIV," kata dr. Chowdhury, seperti dilansir dari laman RFA, Selasa (14/11).
Petugas medis pemerintah Bangladesh lainnya di lokasi pengungsian Rohingya, Adus Salam, mengatakan saat ini ada sekitar dua ribu dokter tetap dan magang sedang berusaha memastikan berapa banyak orang Rohingya terjangkit HIV/AIDS. Menurut Salam, sebagian besar dari mereka memang tidak sadar mengidap penyakit itu. Lainnya mengetahui tetapi terpaksa menyembunyikannya karena pandangan miring yang melekat terkait HIV/AIDS.
Dari 60 pasien HIV/AIDS merupakan orang Rohingya ditangani, dr. Chowdhury mengatakan mereka semua sudah dalam tingkat tiga. Kemungkinan besar mereka tak bakal bertahan lama. Namun, rumah sakit setempat juga memberikan bimbingan kejiwaan terhadap pasien dan pendampingnya supaya mereka tetap bisa berpikir positif.
"Semua pasien HIV termasuk yang stadium tiga, datang ke rumah sakit buat diberi obat antiretroviral, lalu kembali ke pengungsian," ujar dr. Chowdhury.
Menurut dr. Chowdhury, diduga kuat penyebaran HIV/AIDS di antara pengungsi Rohingya sudah terjadi sejak mereka masih berada di Myanmar. Menurut pengakuan sejumlah pasiennya, mereka mengatakan ketika sakit di Myanmar selalu diberi obat dengan cara disuntik oleh dokter setempat. Mereka tidak tahu apakah jarum suntik dipakai baru atau bekas.
"Ada kemungkinan rumah sakit di Myanmar sengaja melakukan itu buat membahayakan populasi Rohingya. Namun, saya tidak tahu apa itu benar. Hal itu belum bisa dibuktikan," lanjut dr. Chowdhury.
Salah satu pasangan suami istri Rohingya mengidap HIV adalah Mohammad Shajahan dan Senoara Khatun. Senoara dua pekan lalu baru saja melahirkan seorang anak perempuan diberi nama Renu. Apa yang dia khawatirkan memang terbukti, buah hatinya terpapar HIV/AIDS sejak dalam kandungan.
Menurut Shajahan, sejak tiba di Bangladesh mereka selalu rutin memeriksakan kandungan ke rumah sakit setempat. Namun, dia diberitahu kalau istrinya mengidap HIV/AIDS, dan anaknya dipastikan tertular. Dia juga mengaku selama tiga tahun belakangan selalu rutin jatuh sakit.
"Setiap kami berobat ke rumah sakit (di Negara Bagian Rakhine, Myanmar), dokter selalu menyuntik dan sesudah itu meminta kami pulang. Namun, istri saya tidak pernah membaik. Kami tidak pernah tahu apa itu HIV sampai kami sampai di Bangladesh," kata Shajahan.
Shajahan mengatakan dia kini sudah diajari cara menolong orang mengidap HIV/AIDS, termasuk dia beserta istri dan anaknya. "Saya hanya berusaha supaya anak dan istri tetap bahagia dan bisa hidup selama mungkin," ujar Shajahan.