Wartawan Jadi Pekerjaan Mematikan, Satu Jurnalis Dibunuh Setiap Empat Hari
Laporan UNESCO mengungkapkan peningkatan kematian jurnalis global sebesar 38 persen.
Kematian jurnalis di seluruh dunia mengalami peningkatan signifikan sebesar 38 persen pada tahun 2022-2023 dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Menurut laporan terbaru yang dirilis UNESCO pada Sabtu (2/11). tercatat 162 kematian jurnalis yang telah diverifikasi.
"Di tahun 2022 dan 2023, seorang jurnalis dibunuh setiap empat hari hanya karena menjalankan tugas vital mereka untuk mengejar kebenaran," jelas Direktur Jenderal UNESCO, Audrey Azoulay.
- Momen Kejutan Hadi Eks Panglima TNI Jadi Jurnalis di IKN, Teringat Jabatan Saat Bintang Satu
- Jurnalis Rico Sempurna Tewas Rumahnya Dibakar, ini Daftar Wartawan di Indonesia Dibunuh Terkait Pemberitaan
- Revisi UU Penyiaran: Sengketa Produk Jurnalistik Tidak Lagi Melalui Dewan Pers
- UNESCO Tetapkan Arsip Pabrik Indarung I Menjadi Memory of the World, Satu-satunya dari Industri Manufaktur
Berdasarkan laporan tersebut, lebih dari setengah kematian jurnalis terjadi di negara-negara yang sedang mengalami konflik bersenjata. Sebagian besar jurnalis yang dibunuh adalah warga negara asal mereka sendiri.
Selain itu, beberapa jurnalis juga tewas saat meliput kejahatan terorganisir, korupsi, atau saat melaporkan protes. Hal ini menunjukkan jurnalis sering kali menjadi sasaran akibat pekerjaan mereka yang berisiko tinggi.
Dari total kematian jurnalis pada tahun 2022-2023, terdapat 14 jurnalis perempuan yang terbunuh, yang berarti sekitar 9 persen dari keseluruhan. Hal ini menunjukkan jurnalis perempuan juga menghadapi risiko tinggi dalam menjalankan tugas mereka. Keberadaan perempuan dalam dunia jurnalisme sangat penting, namun mereka sering kali menjadi target dalam situasi yang berbahaya.
Kasus Kematian Tertinggi
Di tahun 2022, Meksiko mencatatkan jumlah kematian jurnalis tertinggi dengan 19 kasus. Namun, di tahun 2023, Palestina menjadi yang teratas dengan 24 kematian.
Secara umum, laporan tersebut menyebutkan kawasan yang paling berbahaya bagi jurnalis adalah Amerika Latin dan Karibia, serta negara-negara Arab. Sebaliknya, Amerika Utara dan Eropa Barat merupakan wilayah dengan risiko terendah, hanya mencatat enam kematian.
Laporan UNESCO juga menyoroti tingginya tingkat impunitas terkait kematian jurnalis. Sekitar 85 persen dari kasus yang diidentifikasi sejak 2006 masih belum terpecahkan atau ditinggalkan. Meskipun ada penurunan sedikit dibandingkan tahun 2018, di mana 89 persen kasus tetap tidak terpecahkan, tingkat impunitas tetap menjadi masalah serius.
"Kejahatan ini tidak boleh dan tidak dapat dibiarkan tanpa hukuman. Namun, hampir 85 persen dari mereka masih demikian," kata Azoulay.
Laporan dua tahunan yang dikeluarkan UNESCO ini menganalisis keadaan keselamatan jurnalis di seluruh dunia. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan wawasan tentang tantangan yang dihadapi oleh jurnalis, serta untuk mendorong tindakan dari pemerintah dan lembaga internasional. Keamanan jurnalis merupakan isu yang sangat penting dalam menjaga kebebasan pers dan akses informasi yang akurat bagi masyarakat.
Sumber: Deutsche Welle