Banjir Darah di Parentas
Dianggap sebagai desa yang tidak patuh pada aturan DI/TII, 51 penduduk di kaki Gunung Galunggung itu dibantai secara brutal.
Dianggap sebagai desa yang tidak patuh pada aturan DI/TII, 51 penduduk di kaki Gunung Galunggung itu dibantai secara brutal.
Penulis: Hendi Jo
-
Bagaimana sejarah Waduk Sempor? Waduk Sempor diresmikan pada 1 Maret 1978 yang ditandai dengan adanya prasasti bertanda tangan Presiden Soeharto. Semula, waduk ini difungsikan sebagai sumber pengairan bagi sejumlah kompleks persawahan di sekitarnya. Namun lambat laun waduk itu menjadi destinasi wisata baru bagi warga sekitar.
-
Di mana sejarah terasi dapat ditelusuri? Sejarah terasi di kawasan Cirebon dapat ditelusuri hingga masa kekuasaan Pangeran Cakrabuana, yang memainkan peran penting dalam perkembangan kawasan tersebut.
-
Bagaimana Asisi Suharianto menyajikan kisah-kisah sejarah? Asisi dan sang istri pun mendapatkan pengalaman luar biasa selama keliling dunia. Keduanya bertemu dengan saksi mata maupun para korban perang masa lalu di beberapa negara.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Bagaimana sejarah Lembah Anai terbentuk? Konon, dulunya air terjun ini menjadi saksi bisu pergerakan rakyat Minang dalam melawan penjajahan. Pada masa kolonial, masyarakat setempat dipaksa untuk menjadi pekerja membangun jalan lintas Sumatera yang menghubungkan antara Kota Padang dan Padang Panjang via Lembah Anai.Masyarakat Minang yang bekerja dalam proyek pembangunan jalan tersebut harus menempuh jarak yang cukup jauh, bahkan bisa berhari-hari dari tempat mereka tinggal menuju lokasi pembangunan jalan.
-
Bagaimana KEK Singhasari memanfaatkan sejarah? Keunggulan lain dari KEK Singhasari yakni adanya sektor pariwisata dengan tema heritage and sejarah. Hal ini dilatarbelakangi nilai situs sejarah kerajaan Singhasari.
Rabu, 16 Agustus 1961. Malam itu suasana di Desa Parentas, Kecamatan Cigalontang, Tasikmalaya, penuh suka cita. Kaum lelaki sibuk membuat persiapan pesta hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-16 untuk besok hari-nya. Sementara para ibu meninabobokan anak-anaknya.
Menjelang tengah malam semua persiapan selesai. Semua pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat. Eya yang kebagian piket, melangkah ke arah Kancah Nangkub, sebuah bukit kecil yang dijadikan pos untuk satu seksi pasukan Kodam Siliwangi dari Batalyon 304 pimpinan Letnan Dua Murad.
Baru saja beberapa langkah, dari arah Pasir Kopo terdengar teriakan orang-orang diiringi rentetan tembakan. Ternyata para gerilyawan Tentara Islam Indonesia (TII). Mereka menyasar pos tentara. Sadar mendapat serangan, brengun dari pihak anak buah Letnan Murad pun menyalak. Tetapi pos terlanjur sudah terkepung. Posisi para prajurit pun terjepit.
"Saya langsung menyelamatkan diri ke arah Sampalan, karena mau lari ke pos, jaraknya terlalu jauh," kenang Eya.
Sementara kawan-kawan-nya mengepung pos tentara, sekelompok gerilyawan TII lainnya merambah ke permukiman penduduk yang terletak di satu lembah. Selain menjarah dan membakar rumah-rumah, mereka pun membantai orang-orang Parentas yang ditemui. Tak peduli lelaki-perempuan, tua atau muda. Semua dihabisi.
"Anak kecil dan kakek-kakek juga mereka bunuh," ungkap Eya.
Kasa bin Sukadma termasuk salah satu anak kecil yang akan mereka bunuh malam itu. Ketika gorombolan (sebutan orang Jawa Barat kepada gerilyawan TII) mulai menyerbu, dia lari ke arah rimbunan padi yang sudah menguning dan langsung bertiarap, menyembunyikan diri.
Namun dasar sial, enam gerilyawan TII memeriksa setiap kotak sawah secara teliti. Mereka akhirnya menemukan Kasa dan langsung membacoknya dengan menggunakan sebilah golok panjang.
"Nyawa saya selamat, karena begitu tangan saya putus langsung pingsan dan dianggap sudah mati," ujar lelaki yang saat ini berprofesi sebagai petani itu.
Akibat penyerangan itu, 51 warga Parentas tewas seketika dan ratusan rumah menjadi puing. Rerata orang-orang Parentas yang menjadi korban meninggal akibat dibacok, disembelih atau dilemparkan ke kobaran api.
"Termasuk seorang ibu yang tengah hamil tua," ungkap Kasa.
Pihak tentara sendiri kehilangan 3 prajuritnya. Sementara di pihak gerilyawan DI/TII hanya ditemukan satu orang tewas dengan lubang peluru di kepala. Lantas mengapa Desa Parentas diperlakukan secara kejam oleh para gerilyawan DI/TII?
Menurut Eya itu terjadi karena orang-orang Parentas sudah tidak mau lagi memberikan upeti dan makanan kepada para gorombolan. Selain itu, secara politik orang-orang Parentas juga mayoritas adalah pendukung PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Bung Karno, orang yang sangat dibenci oleh DI/TII.
(mdk/noe)