Eks Gerilyawan DI/TII Hidup Enak Usai Bantu TNI Buru PKI dan Pejabat era Sukarno
Angkatan Darat memberikan hadiah. Selain pembebasan dari dosa-dosa pemberontakan 1949-1962, mereka pun mendapatkan banyak kemudahan saat menjalankan bisnis.
Setelah terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965, orang-orang PKI diburu. Dalam perburuan tersebut, pihak Angkatan Darat memberdayakan orang-orang Darul Islam yang menjadi musuh bebuyutan kaum komunis di Indonesia.
Penulis: Hendi Jo
-
Bagaimana Suparna Sastra Diredja tergabung dalam PKI? Pergerakannya yang masif bersama rakyat membuatnya banyak terlibat di Partai Komunis Indonesia terutama setelah pemilihan 1955. Di sana ia menjadi anggota dewan yang mengurusi konstitusi baru pengganti undang-undang dasar semetara.
-
Siapa yang menjadi tokoh penting dalam pergerakan nasional Indonesia, yang juga terlibat dalam berdirinya PKI? Alimin bin Prawirodirjo, Tokoh PKI yang Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional Indonesia Seorang tokoh pergerakan nasional asal Surakarta ini terlibat aktif dalam pergerakan nasional Indonesia, organisasi politik maupun ikut serta dalam berdirinya PKI. Namanya mungkin tidak begitu dikenal masyarakat Indonesia, bahkan jarang sekali muncul di buku-buku sejarah. Namun, peran selama hidupnya cukup memberikan pengaruh besar terhadap bangsa dan negara ini.
-
Apa yang membuat tokoh PKI kebal peluru? Ada sejumlah tokoh PKI ternyata tak mempan ditembak. Mereka punya ilmu kebal peluru.
-
Siapa yang memimpin sidang PPKI? Sidang bersejarah itu dipimpin oleh Soekarno.
-
Siapa saja tokoh PKI yang dinyatakan kebal peluru saat pemberontakan Madiun? Komandan Batalyon Kala Hitam, Mayor Kemal Idris pun mengalami hal serupa.Dalam sidang kilat di Alun-Alun Pati, ada empat gembong PKI yang mendapat vonis hukuman mati. Ternyata, ada seorang tahanan yang kebal peluru.
-
Bagaimana Gedung Pancasila bisa menjadi markas PKI? Paska kemerdekaan, terjadi perpecahan antara nasionalis dan pihak komunis di Indonesia. Warga komunis kemudian membuat kelompok-kelompok kecil, yang kemudian dianggap sebagai pemberontakan terhadap negara.Gedung Pancasila di Losari ini kemudian dijadikan tempat pergerakan dari aktivis ideologi komunis hingga pemerintah menyita gedung tersebut.
Ketika Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) sedang gencar-gencarnya memusuhi pemerintah Sukarno pada 1950-an, Danu Muhammad Hasan dikenal sebagai salah satu orang dekat S.M. Kartosoewirjo yang menjadi buruan tentara.
Belakangan ketika pemberontakan kelompok sayap kanan itu bisa diakhiri pada 1962, Danu justru menjalin hubungan yang akrab dengan orang-orang Operasi Khusus (Opsus), kelompok intelijen Angkatan Darat pimpinan Ali Moertopo. Salah satunya adalah Aloysius Sugiyanto.
"Saya sering main ke rumah Danu di Situaksan, Bandung," kata Sugiyanto.
Usai terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965, kelompok-kelompok Islam menjalankan konsolidasi kekuatan. Pihak Angkatan Darat tentu saja tak berdiam diri melihat peluang itu. Mereka malah memfasilitasi kekuatan-kekuatan anti-PKI itu untuk ikut terjun secara langsung dalam operasi-operasi menumpas orang-orang komunis.
Mata-Matai Orang Dekat Sukarno
Para bekas anggota DI/TII, yang merupakan musuh bebuyutan PKI, termasuk pihak yang didekati oleh Angkatan Darat. Dalam The Second Front: Inside Asia’s Most Dangerous Terrorist Network, Ken Conboy menyebut pendekatan itu langsung dilakukan oleh Ali Moertopo.
Ali meyakinkan para mantan gerilyawan DI/TII untuk berdiri di kubunya dalam menghadapi PKI sebagai musuh bersama. Lewat beberapa orang kepercayaannya (di antaranya adalah Aloysius Sugiyanto dan Pitut Soeharto), Ali lantas menjanjikan fasilitas dan pengampunan total jika para eks pemberontak itu mau bekerja sama dengan pihak Angkatan Darat.
Gayung bersambut. Ajakan Opsus itu langsung diamini oleh para pemimpin DI/TII. Bahkan, menurut Conboy, mereka sangat antusias. Itu dibuktikan dengan segeranya mereka bergerak usai kesepakatan terjadi.
"Danu dan kelompok kecil pendukungnya menjelajah Jakarta guna membongkar persembunyian para pejabat rezim Sukarno," tulis Conboy.
Bahkan secara khusus, Danu mendapat order dari Opsus untuk memburu Soebandrio, eks Wakil Perdana Menteri (Waperdam), bekas kepala Badan Poesat Intelijen (BPI) sekaligus orang dekat Presiden Sukarno yang dianggap pro PKI.
"Danu saya tugaskan memata-matai gerak-gerik Soebandrio," ungkap Sugiyanto.
Selain di Jakarta, orang-orang eks DI/TII juga diberdayakan di Jawa Barat. Menurut Sugiyanto, saat menjalankan penumpasan, para eks gerilyawan itu sepenuhnya difasilitasi secara penuh oleh Kodam VI Siliwangi.
Namun soal itu dibantah oleh Adah Djaelani, salah satu tokoh terkemuka DI/TII. Dalam buku NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia karya Solahudin, Adah mengaku jika orang-orangnya membiayai sendiri operasi penumpasan PKI.
"Adah bilang saat menghabisi orang-orang PKI, eks anggota DI hanya mendapatkan bantuan pinjaman senjata," ungkap Solahudin.
Eks DI/TII Hidup Enak
Kerja sama itu ternyata berlangsung sukses. Tidak ingin disebut ingkar janji, maka Angkatan Darat memberikan hadiah. Selain pembebasan dari dosa-dosa pemberontakan 1949-1962, mereka pun mendapatkan banyak kemudahan saat menjalankan bisnis.
Sebagai contoh Ateng Djaelani, salah satu dedengkot DI/TII yang ikut dalam penumpasan orang-orang PKI. Selain mendapat modal usaha, dia pun malah diangkat sebagai ketua Gabungan Perusahaan Minyak dan Gas (Gapermigas) Kotamadya Bandung.
Sementara Danu sendiri direkrut Ali Moertopo untuk bekerja di Badan Koordinasi Intelijen (Bakin). Dia mendapat fasilitas rumah dinas, mobil dinas dan gaji bulanan. Menurut Solahudin, situasi mapan itu menjadikan para eks anggota DI/TII sejenak melupakan cita-cita mereka untuk mendirikan sebuah Negara Islam.
"Saat itu kami tak berpikir sama sekali untuk menghidupkan kembali gerakan DI/TII," ujar Adah Djaelani seperti dikutip dalam buku karya Solahudin.
Tidak hanya memberikan fasilitas perorangan, pada 21 April 1971 pemerintah Orde Baru pun (lewat Bakin) memfasilitasi pertemuan reuni akbar eks anggota DI/TII di Situaksan, Bandung. Sekira 3.000 eks anggota DI/TII hadir dalam pertemuan yang dihadiri juga oleh para pejabat Bakin seperti Pitut Soeharto.
Dalam acara itu, ada ajakan dari Pitut kepada para peserta untuk bergabung dengan Golongan Karya, partai politik yang didukung pemerintah Orde Baru. Menyikapi hal tersebut, para eks anggota DI/TII pun menjadi terbelah.
"Ada yang menyambut baik, ada pula yang langsung menolaknya mentah-mentah," ujar Solahudin.