Jam Gadang di Bukittinggi, Saksi Bisu Pembantaian Rakyat yang Dituduh Pro PRRI
Peristiwa pemberontakan PRRI menimbulkan luka mendalam di kalangan orang-orang Minang. Banyak menimbulkan korban jiwa di kalangan sipil.
Peristiwa pemberontakan PRRI menimbulkan luka mendalam di kalangan orang-orang Minang. Banyak menimbulkan korban jiwa di kalangan sipil.
Penulis: Hendi Jo
-
Apa yang terjadi di Kota Padang? Hujan deras melanda sebagian besar kawasan Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar) sejak Kamis (13/7) malam hingga Jumat (14/7) dini hari.
-
Bagaimana sejarah Waduk Sempor? Waduk Sempor diresmikan pada 1 Maret 1978 yang ditandai dengan adanya prasasti bertanda tangan Presiden Soeharto. Semula, waduk ini difungsikan sebagai sumber pengairan bagi sejumlah kompleks persawahan di sekitarnya. Namun lambat laun waduk itu menjadi destinasi wisata baru bagi warga sekitar.
-
Siapa yang berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Kota Padang? Bagindo Aziz Chan sendiri adalah tokoh penting bagi Kota Padang saat pihak kolonial Belanda menjajah wilayah tersebut.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Bagaimana abrasi terjadi di Padang? Dampak abrasi di Kelurahan Air Manis, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar) kian nyata. Daratan hingga rumah penduduk terancam hilang menjadi ancaman serius akibat abrasi yang terus terjadi, paling parah dirasakan warga sejak enam tahun terakhir.
-
Bagaimana sejarah Museum di Puro Mangkunegaran? Museum ini terletak tak jauh dari Balai Kota Solo, berdasarkan sejarahnya, museum ini sudah dibangun sejak tahun 1867 dan dulunya digunakan sebagai kantor untuk De Javasche Bank Agentschap Soerakarta.
Kenangan Sutan Iskandar (kelahiran 1947) masih segar mengingat kejadian itu. Saat itu usianya baru saja beranjak 12 tahun ketika sekelompok tentara pusat (sebutan orang-orang Minang kepada tentara pemerintahan Sukarno) menggiring ratusan lelaki dalam kelompok-kelompok kecil ke arah tugu Jam Gadang.
"Selanjutnya saya tidak menyaksikan lagi mereka diapakan, tapi memang saya mendengar tembakan berkali-kali dari arah Jam Gadang," kenangnya.
Pada 10 Februari 1958, tercetuslah yang disebut sebagai PRRI (Pemerintah Revolusiener Republik Indonesia). Pimpinan Letnan Kolonel Ahmad Husein (tokoh pejuang kemerdekaan Sumatera Barat) di Padang.
Awalnya, menurut sejarawan R.Z. Leirissa dalam PRRI Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, gerakan itu sebagai koreksi politik terhadap pemerintahan Presiden Sukarno yang dianggap berat ke sebelah kiri.
'Dikompori' kelompok-kelompok kiri, terutama Partai Komunis Indonesia (PKI), kritik dan permintaan untuk membubarkan kabinet Djuanda itu malah disikap Presiden Sukarno secara keras.
Presiden memerintahkan tentara menyerang Sumatera Barat. Maka diadakanlah Operasi 17 Agustus 1958 yang dipimpin oleh Kolonel Achmad Jani. Sejak itulah ranah Minang dibekap perang saudara yang memilukan.
187 Orang Dibunuh di Dekat Jam Gadang
Dalam buku PRRI: Pemberontakan atau Bukan? karya Syamdani, apa yang pernah disaksikan Sutan Iskandar adalah kenyataan sejarah adanya. Mengacu kepada sebuah artikel yang pernah dimuat surat kabar Singgalang pada 20 Januari 2000, ada 187 orang Minang yang pernah dibunuh di dekat tugu kebanggan masyarakat Bukittinggi tersebut.
Ironisnya, dari jumlah itu, hanya tujuh belas orang yang teridentifikasi sebagai gerilyawan PRRI, sedangkan seratus tujuh puluh lainnya merupakan warga sipil yang tidak mengerti apa-apa.
Selain Insiden Jam Gadang, pembunuhan, penyiksaan dan teror pun banyak dialami oleh rakyat Sumatera Barat kala itu. Betti Yusfa dalam sebuah makalah yang dikeluarkan oleh IKIP Padang pada 1998, ‘Kekerasan dalam Zaman PRRI di Tlatang Kamang 1958-1961’, menuliskan kisah pilu keluarga seorang ulama asal Kamang bernama Kari Mangkudung.
Dari hasil wawancara Betti dengan seorang tokoh masyarakat di Kamang, Z.Sutan Kabasaran, dituturkan bagaimana keluarga Kari Mangkudung musnah dibantai tentara pusat.
"Mereka hanya menyisakan seorang bayi berusia tiga bulan yang kemudian dibawa seorang tentara pusat dan sampai sekarang tidak diketahui lagi di mana rimbanya,” ungkap Sutan Kabasarn seperti yang dikutip oleh Betti dalam makalahnya.
Mayat Digulingkan dari Bukit
Betti juga mengungkap insiden di Desa Bansa pada 1959. Dari saksi sejarah bernama M. Datuk Manindieh dikisahkan tentang kisah sedih tiga pemuka masyarakat Desa Bansa. Yakni Datuk Kabasaran, Datuk Beco dan datuk Alam.
Tanpa sebab musabab, ketiga orang tua yang tak berdaya itu diperintahkan jalan ke Desa Pauh (berjarak 4 km dari Bansa) sambil diiringi oleh sekelompok tentara pusat.
Begitu sampai di Desa Pauh, para tentara itu menyuruh ketiga orang tua tersebut mendaki sebuah bukit. Sambil terseok-seok, ketiganya menuruti apa yang diperintahkan oleh para prajurit tersebut. Alih-alih dibebaskan, ternyata ketiganya hanya menjadi sasaran latihan tembak.
"Dari jarak yang cukup jauh, tentara pusat menembaki mereka satu persatu hingga mayat-mayat ketiganya bergulingan ke kaki bukit," ungkap Datuk Manindieh.
Tank Tembaki Rumah Warga
Teror juga dilakukan oleh tentara pusat terhadap orang-orang Kuala Tangkar. Kesaksian seorang penduduk bernama Sanur dalam surat kabar Singgalang, 2 Februari 2000 menyebutkan bahwa pernah karena orang-orang Kuala Tangkar dianggap pro PRRI, mereka menyerang desa itu dengan mengerahkan empat tank baja.
"Tank-tank itu menghujani rumah-rumah penduduk dengan peluru-peluru secara membabibuta hingga musnah terbakar," ungkap Sanur.
Pembantaian massal juga pernah dilakukan tentara pusat pada November 1959 di Kamang. Pada hari Senin saat diadakan hari pakan/pasar, sejak pukul 7 pagi, tak hentinya tentara pusat mengirimkan peluru-peluru mortir dari Bukittingi.
Tak cukup dengan menggunakan mortir, artileri berat dari Angkatan Darat pun ikut berbunyi disusul dengan serangan udara dari sebuah pesawat tempur. Akibatnya banyak rakyat bersimbah darah.