Kediri Dalam Lingkar Sejarah Kerajaan Nusantara
Kurun waktu antara abad X-XV Masehi adalah suatu submasa yang didominasi oleh peristiwa-peristiwa sejarah kerajaan, yang menjadikan bagian timur Jawa sebagai panggung sejarah dari kerajaan-kerajaan besar.
Kurun waktu antara abad X-XV Masehi adalah suatu submasa yang didominasi oleh peristiwa-peristiwa sejarah kerajaan, yang menjadikan bagian timur Jawa sebagai panggung sejarah dari kerajaan-kerajaan besar.
Semenjak pusat pemerintahan Kerajaan Mataram direlokasikan dari Jawa bagian tengah ke wilayah Jawa bagian timur pada tahun 929 Masehi di era Mpu Sindok, sederet kerajaan besar dari masa sesudahnya, seperti Jenggala-Kadiri (abad XI-XIII), Tumapel (abad XIII) dan Majapahit (abad XIII-XVI) menjadikan wilayah Jawa Timur sebagai pusat pemerintahan, wilayah kekuasan, dan sekaligus aktivitas sosial budaya dari warga kerajaannya.
-
Bagaimana KEK Singhasari memanfaatkan sejarah? Keunggulan lain dari KEK Singhasari yakni adanya sektor pariwisata dengan tema heritage and sejarah. Hal ini dilatarbelakangi nilai situs sejarah kerajaan Singhasari.
-
Kenapa Kekeyi sering dicibir? Sayangnya, terkadang momen heboh Kekeyi malah mendapat cibiran.dari sejumlah. Malahan ada beberapa komentar bernada body shaming padanya.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Apa yang menjadi ciri khas Gereja Merah Kediri? Gaya arsitektur gereja ini adalah Neo Gotik dengan denah persegi berukuran 30,75 x 10,6 meter Bangunan yang menghadap ke timur ini terkesan ramping, sementara tingginya memberikan kesan memukau. Gereja Merah terdiri dari lima ruangan yang melayani berbagai fungsi. Mulai ruang informasi, ruang utama, balkon, ruang konsistori, dan menara, serta sebuah ruang bawah tanah yang saat ini sudah ditutup.(Foto: Kemdikbud RI)
-
Apa judul skripsi Lesti Kejora? Judul skripsi Lesti adalah "Implementasi Digital Public Relations pada Label Musik Leslar Records untuk Mempublikasikan Lagu"
Di antara tempat-tempat di wilayah Jawa Timur yang menjadi panggung sejarah abad XXVI Masehi adalah daerah-daerah yang berada di aliran sungai-sungai besar, utamanya bengawan atau sungai Brantas dan bengawan Solo.
Kedua sungai ini secara geokultural maupun geososial mempunyai arti penting pada kehidupan sosial budaya masyarakat yang bermukim di daerah alirannya dari masa ke masa.
Daerah-daerah di sekitar aliran Sungai Brantas berdiri pusat pemerintahan (kadatwan) Kerajaan Kanjuruhan, Mḍaŋ, Pańjalu/Kaḍiri, Tumapel dan Majapahit.
Untuk waktu yang panjang Sungai Brantas menjadi prasarana komunikasi dan transportasi, penopang bagi kelangsungan pertanian palawija maupun rempah-rempah dan perdagangan serta ketahanan wilayah. Sutjipto Wirjosuparto (1958:6) menelaah geohistori daerah Kediri dan sekitarnya, yang wilayahnya dibelah oleh aliran Sungai Brantas, serta di area vulkanis Gunung Kelud.
Menurutnya keberadaan Sungai Brantas dan Gunung Kelud di daerah ini menjadi latar ekologis yang memberi kontribusi besar bagi pertumbuhan dan perkembangan peradaban di Jawa pada masa Hindu-Buddha.
Kediri merupakan toponim dari pada sebuah wilayah kuno yang bernama Kaḍiri, yang untuk pertama kalinya disebut sebagai suatu wilayah didokumentasikan dalam Prasasti Harinjing B (843S/921M) (…i Çri Maharaja mijilangkện cệtraka 3, i pamgat asing juru i Kaḍiri ikang riwilang…).
Kemudian pada tahun 937 S (1015 M), diketahui adanya seorang raja wanita yang berkuasa di Kaḍiri, hal ini disebutkan dalam Prasasti Carama (973 S/1015 M) lempeng 1 baris 43.
"Kediri atau Kadiri yang berada di wilayah Kota Kediri ini banyak meninggalkan situs bersejarah," kata Arkeolog Dwi Cahyono.
Kakawin Nagarakrtagama (LXVIII: 1-3) memberikan informasi pembagian kerajaan Raja Airlangga yang dilakukan oleh Mpu Baradha pada tahun 974 Çaka (Riana, 2009: 333).
Istilah Dahana ditulis dengan huruf besar pada bagian depan atas dalam Prasasti Pamwatan, yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga pada 19 Desember 1042 Masehi.
Nagara Daha merupakan Ibu Kota Kerajaan Pańjalu. Prasasti Hantang yang dikeluarkan oleh Çri Maharaja Sang Mapañji Jayabhaya Çri Warmecwara Madhusudanawataranandita Sukŗtsingha Parakrama Digjayotunggadewanama pada tahun 1057 Çaka (1135 Masehi) dituliskan dengan huruf kwadrat besar istilah 'Pańjalu Jayati' yang artinya Pańjalu menang. Istilah Janggala-Pańjalu kian lama diganti dengan istilah Janggala-Kaḍiri.
Kerajaan Kaḍiri dan Masa Keemasan Karya Sastra
Para pujangga menjadikan Kediri sebagai pusat literasi. Sebutlah pujangga Pu Panuluh dan Pu Sedah yang pada masa pemerintahan Sri Maharaja Jayabhaya bersama-sama menggubah kakawin Barathayuda. Pu Panuluh juga menggubah kakawin Hariwangsa, serta kakawin Gatotkacasraya.
Keberadaan Kediri sebagai pusat literasi terjadi hingga awal abad ke-19 , meski mengalami rentang waktu yang panjang sejak abad ke 11-12 Masehi. Yakni berdirinya Boekhandel Tan Khoen Swie di Jl Dhoho 105 Kota Kediri (Toko Surabaya, depan Hotel Penataran).
Di era Prabu Jayabaya ini pula diduga kuat Islam sudah mewarnai wilayah Kediri, yakni keberadaan Syaikh Syamsuddin al-Wasil atau Sulaiman Wasil Syamsuddin, yang terletak di kompleks makam Setana Gedong, Kota Kediri.
Menurut hasil survei epigrafi Islam yang dilakukan Louis-Charles Damais dalam laporan berjudul L'epigraphie Musulmane Dans le Sud-est Asiatique, inskripsi kuno di makam Setana Gedong di Kediri menyebutkan makam seorang 'al-Imâm al-Kâmil', yang epitafnya diakhiri dengan keterangan 'al-syâfi'î madzhaban al-'arabî nisban wa huwa tâdj al-qudhâ(t)". Namun tidak terdapat tanggal tepat tentang inskripsi tersebut, [agus sunyoto, atlas walisongo, 2017].
Inskripsi di makam Setana Gedong di Kediri itu terdiri dari tiga bidang empat persegi; satu di atas yang lain, dengan tiap bidang berisi dua baris tulisan mendatar; berarti keseluruhannya ada enam baris. Namun, permukaan lempengan itu rusak pada bidang kedua, di akhir baris pertama dan sisi kiri baris kedua, sedangkan di bidang ketiga hanya tampak beberapa huruf di awal baris pertama serta sekelompok huruf terpisah di paruh kiri baris kedua. Menurut Claude Guillot dan Ludvik Kalus dalam L'enigmatique Inscription Musulmane du Maqam de Kediri, perusakan itu seperti disengaja terbukti dari pukulan-pukulan yang dilakukan oleh orang beragama Islam yang paham bahasa Arab, karena para perusak tidak merusak nama Nabi dalam al-hijrah al-nabawiyah setelah tanggalnya. Kelihatannya, bagian yang rusak itu pernah sengaja dimartil, artinya tulisan itu sengaja dihapus.
Prof. Dr. Habib Mustopo, guru besar Universitas Negeri Malang yang melakukan penelitian dengan basis data historis dan arkeologis menyimpulkan bahwa tokoh Syaikh Syamsuddin al-Wasil yang dikebumikan di makam Setana Gedong adalah ulama besar yang hidup pada abad ke-12, yaitu pada masa Kerajaan Kediri.
Jika nama al-Wasil tercantum pada inskripsi Setana Gedong, nama Syamsuddin dicatat dalam historiografi Jawa yang tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Di dalam historiografi Jawa tersebut, tokoh Syaikh Syamsuddin al-Wasil disebutkan sebagai ulama besar asal Negeri Ngerum/Rum (Persia), yang datang ke Kediri untuk berdakwah dan atas permintaan Raja Kediri Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya membahas Kitab Musyarar yang berisi ilmu pengetahuan khusus seperti perbintangan (ilmu falak) dan nujum (ramal-meramal).
Naskah Serat Jangka Jayabhaya yang muncul pada abad ke-17 yang diyakini masyarakat Jawa sebagai karya Sri Mapanji Jayabhaya dalam meramal masa depan Nusantara. [agus sunyoto, atlas walisongo, 2017].
Catatan Historiografi Jawa yang menyebut bahwa tokoh Syaikh Syamsuddin al-Wasil berasal dari Persia, dibenarkan oleh inskripsi yang menunjuk pada kata al-Abarkuhi yang berhubungan dengan kota kecil Abarkuh di Iran (Persia).
Kemudian pada masa Sri Maharaja Kameswara, ada Pu Darmaja yang menggubah kakawin Smaradahana. Pada masa akhir Kerajaan Kaḍiri, mengenal kakawin Sumanasantaka karya Pu Monaguna, serta kakawin Krsnayana karya Pu Triguna.
Selain dalam bentuk kakawin, karya sastra juga dapat dilihat dari peninggalan puluhan prasasti yang telah diketemukan kembali dari para raja di Kediri.
Pada tahun 1144 Saka, Kerajaan Pańjalu runtuh karena serangan Çri Ranggah Rajasa dari Tumapel. Pada masa Kerajaan Tumapel, kerajaan di Kediri diserahkan kepada keluarga penguasa Tumapel. Sehingga statusnya menjadi salah satu kerajaan bagian dari Tumapel.
Sri Jayakatwang pada tahun 1214 Saka memerdekakan diri dari kekuasaan Kerajaan Tumapel. Pasukan Sri Jayakatwang meyerang Tumapel dengan mengibarkan bendera Merah dan Putih. Ia sebelum menjadi Raja di Daha adalah penguasa dari Kerajaan Glang–Glang dari tanah Wurawan.
Sehingga Kerajaan Glang–Glang yang awalnya berpusat di Kota Glang–Glang di tanah Wurawan, memindahkan pusat kekuasaan ke Kota Daha atau Kediri. Nama kerajaannya tetap Glang-Glang, sesuai isi Prasasti Kudadu (1216 Saka).
Kerajaan Glang-Glang yang berdaulat dengan pusat pemerintahannya di Kota Daha hanya berusia sekitar satu tahun saja. Pada tahun 1215 Saka, Pasukan Mongol dari Dinasti Yuan berkoalisi dengan Pasukan Majapahit menyerang Istana Sri Jayakatwang di Kota Daha.
Pada tahun 1216 Saka, Nararyya Sangramawijaya menjadikan Majapahit sebagai kerajaan yang berdaulat. Kota Daha di Bumi Kadiri kemudian menjadi salah satu kerajaan bagian dari Majapahit.
Pada masa kekuasaan Majapahit, penguasa Kota Daha menggunakan lambang kenegaraan berupa sadahakusuma, lambang yang bermakna bunga pemerintahan atau kembang api.
Pada akhir kekuasaan Majapahit, pusat pemerintahan berada di Daha, hal ini dapat dilihat pada laporan Duarte Barbosa (dalam Poesponegoro, M.D. & Notosusanto, N.2010:478) yang menyebutkan bahwa Majapahit dipimpin oleh Pate Udara.