Kisah Pers Diberedel Habis pada Masa Soeharto
Sejumlah pers diberedel pada masa Orde Baru karena mengkritik pemerintah.
Sejumlah pers diberedel pada masa Orde Baru karena mengkritik pemerintah. Padahal, pada masa awal pemerintahan orde baru pers Indonesia merasakan kebebasan yang sangat besar.
Setelah sebelumnya beberapa media pers diberedel oleh pemerintahan Orde Lama. Puncak dari pemberedelan dilakukan pasca peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974.
Beberapa pers yang sempat diberedel Sukarno kembali mendapatkan kebebasannya setelah Soeharto naik tahta. Sayangnya, kebebasan dunia pers tidak berlangsung lama karena sejak tahun 1970-an pemerintah Orde Baru mulai memberedeli pers-pers yang mengkritik pemerintah.
Mengutip dari jurnal Pemberedelan Pers Pasca Peristiwa Malapetaka 15 Januari (MALARI) 1974 karya M. Rifki Jum’at dan Dede Wahyu Firdaus, disebutkan bahwa pemberedelan pers yang dilakukan Orde Baru dimulai sejak 1970 hingga 1974.
Di tahun 1970-an, mahasiswa sangat aktif menyuarakan kritik mereka kepada pemerintah. Misalnya, di tahun 1970 banyak aksi dan protes dari mahasiswa.
Gelombang protes ini muncul karena berbagai masalah di era Soeharto, mulai dari isu pendidikan, inflasi yang tinggi, korupsi yang semakin merajalela, sampai soal masuknya modal asing yang dianggap sudah kebablasan.
Pers juga ikut-ikutan mengkritik, tapi dampaknya pers pun kena imbasnya. Pemerintah mulai menutup beberapa surat kabar, seperti Harian Kami dan Duta Masyarakat yang dibredel pada 1971, Majalah Sendi yang dibredel tahun 1972, dan Sinar Harapan yang juga dilarang terbit tahun 1973.
12 Pers Dicabut Izinnya
Pemerintah Orde Baru semakin gencar menertibkan pers dan mahasiswa sesaat setelah peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974. Mereka mengambil langkah-langkah yang lebih tegas, bahkan bisa dibilang represif.
“Setidaknya ada 12 penerbit yang dicabut izinnya untuk terbit,” tulis M. Rifki Jum’at dan Dede Wahyu Firdaus.
Beberapa dari 12 surat kabar yang dibredel pasca peristiwa Malari antara lain Harian KAMI, Abadi, Nusantara, Mingguan Senang, The Jakarta Times, Pemuda Indonesia, Pedoman, Majalah Berita Mingguan Ekspres, Seluruh Berita (Surabaya), Indonesia Pos (Ujung Pandang), dan Mahasiswa Indonesia.
Pemberedelan yang dilakukan berupa mencabut Surat Izin Terbit (SIT) dan pencabutan Surat Izin Cetak (SIC).Selain membredel perusahaan pers, pemerintah juga mempersulit para jurnalis bekas media yang dibredel untuk pindah ke perusahaan penerbit lain.
Jurnalis yang dianggap menghina pemerintah masuk daftar hitam. Contohnya, mantan jurnalis dari Pedoman dan Indonesia Raya yang mencoba bergabung dengan Cahaya Kita, media yang tidak terkena dampak pemberedelan, tidak bisa diterima.
Direktorat Jenderal mengeluarkan aturan bahwa semua mantan jurnalis dari media yang dibredel harus punya surat izin klasifikasi khusus dari Direktorat Jenderal untuk bisa bekerja di penerbit lain.
Reporter Magang: Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti