Kisah Sakiko yang Dicintai Bung Karno
Sebelum Naoko Nemoto (Ratna Sari Dewi), Sukarno telah menjalin hubungan serius dengan perempuan Jepang lain bernama Sakiko Kanasue.
Sebelum Naoko Nemoto (Ratna Sari Dewi), Sukarno telah menjalin hubungan serius dengan perempuan Jepang lain bernama Sakiko Kanasue.
Penulis: Hendi Jo
-
Dimana Soekarno diasingkan? Penganan Pelite rupanya juga menjadi kue favorit Bung Karno saat berada dipengasingan di Kota Muntok sekitar tahun 1949.
-
Bagaimana Soekarno mempelajari bahasa Sunda? Inggit didapuk jadi penerjemah Bahasa Sunda masyarakat, dan membantu Soekarno saat kesulitan mengucap Bahasa Sunda.
-
Apa pekerjaan pertama Soekarno di Surabaya? Kota Surabaya menjadi tempat pertama kali belajar agama, menikah, dan bekerja. Kisah Presiden Soekarno Menyatakan Cinta pada Siti Oetari di Jembatan Peneleh Surabaya, Sederhana tapi Romantis Kisah cinta Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno dengan istri pertamanya, Siti Oetari, tak terlalu mendapat sorotan. Masih ada banyak fakta yang belum terungkap ke publik terkait hubungan asmara tersebut. Kasih Sayang Soekarno Kota Surabaya jadi saksi di mana Soekarno pertama kali bekerja untuk menghasilkan uang. Pekerjaan pertamanya yakni sebagai petugas kereta api di Stasiun Semut.
-
Apa yang dilakukan oleh Presiden Soekarno untuk mendukung kemerdekaan Aljazair? Satuan Elite Kapal Selam ALRI Diperintahkan Menyelundupkan Senjata ke Aljazair. Jumlah Senjata yang Dikirim Cukup Banyak. ""Cukuplah. Lebih kurang dua kapal selam penuh," kata Bung Karno.
-
Di mana Soekarno belajar untuk memimpin? Soekarno, yang tinggal di Surabaya pada era 1920-an, belajar untuk menundukkan hati rakyat dan menjadi inspirasi bagi mereka dalam melawan penjajah serta mencapai kemerdekaan Indonesia.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
JIKA bicara tentang istri Presiden Sukarno yang berasal dari Jepang, maka mayoritas orang akan menyebut nama Naoko Nemoto alias Ratna Sari Dewi. Anggapan itu tentu saja tidak keliru. Bagi Sukarno, Naoko merupakan salah satu istri yang paling berpengaruh dalam kehidupan politiknya, terutama di hari-hari kala kekuasaan Si Bung Besar mulai meredup.
"Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, bisa dikatakan Dewi adalah salah satu penasehat politik paling penting bagi Sukarno," ungkap sejarawan Aiko Kurosawa.
Tetapi dalam kenyataannya, Dewi bukanlah perempuan Jepang satu-satunya yang pernah singgah di hati Bung Karno. Menurut seorang penulis Jepang bernama Masashi Nishihara dalam The Japanese and Sukarno's Indonesia, empat tahun sebelum menikahi Dewi, Sukarno pernah menjalin ikatan cinta dengan seorang perempuan Jepanglain bernama Sakiko Kanasue.
"Ia adalah seorang model fesyen," ungkap Nishihara.
Tapi berbeda dengan Nishihara, majalah Vanity Fair Vol. 55 Tahun 1992 menyebut Sakiko pernah bekerja sebagai pramuria di klub malam bernama Benibasha, sebuah klub malam di pusat kota Tokyo.
Pertemuan pertama Bung Karno dengan Sakiko sendiri terjadi di Kyoto. Sejak pandangan pertama, Si Bung nampak sudah merasa tertarik dengan Sakiko. Kode asmara sang presiden rupanya tidak disia-siakan oleh Kinoshita, sebuah perusahaan Jepang yang memiliki kepentingan menggarap berbagai proyek pembangunan Indonesia dari hasil pampasan perang Jepang. Jadilah Sakiko 'dibawa' oleh grup Kinoshita sebagai bagian dari lobi bisnis tingkat tinggi di Indonesia.
Sukarno memang benar-benar jatuh cinta kepada Sakiko. Tidak perlu waktu panjang, pada 1958, dia menikahi gadis Jepang tersebut di Hotel Daiichi, Ginja. Dia kemudian memutuskan masuk Islam dan berganti nama menjadi Saliku Maesaroh.
Di penghujung 1958, Sakiko didatangkan secara diam-diam ke Jakarta bersama ibunya. Sebagai kamuflase dia diklaim sebagai 'guru anak-anak ekspatriat Jepang' di Jakarta dan menempati sebuah rumah mewah di wilayah elite Menteng. Para tetangganya mengenal Sakiko sebagai Nyonya Basuki.
Seiring waktu berjalan, Sukarno yang sibuk mengurusi soal pampasan perang masih rutin pulang-pergi ke Jepang. Saat itulah, menurut Aiko Kurosawa, Sukarno bertemu dengan Naoko Nemoto, gadis cantik berusia 19 tahun. Sang orator pun lantas kembali jatuh cinta. Tanpa disadari, Naoko ternyata merupakan andalan grup Tonichi (saingan Kinoshit) untuk memuluskan jalur bisnis mereka di Indonesia.
Sukarno kembali dimabuk asmara. Dengan suka cita dia lantas mengundang gadis pujaannya itu untuk datang ke Indonesia. Gayung bersambut. Naoko menyambut baik ide itu. Maka pada 14 September 1959, Naoko datang ke Jakarta. Menurut penulis C.M. Chow, Naoko tidak sendiri. Dia didampingi dua gadis Jepang cantik lainnya.
"Mereka ditempatkan di rumah yang disediakan secara khusus oleh perusahaan Tonichi di Jakarta," tulis CM Chow dalam Autobiography as told to Atoh Matsuda.
Kedatangan Naoko tercium oleh Sakiko. Rasa marah dan cemburu membakar dia punya hati. Merasa frustasi dan terbuang di negeri orang, dua minggu sesudah kedatangan Naoko, Sakiko Kanasue berlaku nekad: mengakhiri hidup dengan cara mengiris urat nadi sendir.
"Dia merasa malu karena Naoko menjadi kekasih favorit Sukarno," ungkap Lambert Giebels dalam Paradoks Revolusi Indonesia.
Sukarno kaget dan berurai air mata mendengar berita duka itu. Dia kemudian meminta para bawahannya untuk mengurus pemakaman istri Jepang-nya itu dengan baik dan tanpa menarik perhatian orang-orang. Menurut Aiko, kematian Sakiko memang disembunyikan sedemikian rupa dari penciuman pers dan khalayak. Bisa jadi itulah mungkin yang menyebabkan upacara pemakaman dilakukan pada waktu malam dan tidak dihadiri begitu banyak orang.
"Sakiko dimakamkan di Blok P, namun sekitar akhir tahun 1970-an, kerangka Sakiko dipindahkan oleh keluarga besarnya ke Jepang…" ujar Aiko.
Bagaimana kabar selanjutnya mengenai Sukarno? Dukanya ternyata cepat sembuh. Obatnya, apalagi jika bukan Naoko yang lebih cantik dan muda dibanding Sakiko. Sejarah mencatat, tiga tahun setelah kematian Sakiko, Naoko akhirnya resmi menjadi pendamping Sukarno.
(mdk/noe)