Mengenal Koto Gadang, Tempat Lahir Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia
Koto Gadang berasal dari kata Tanah Nan Gadang yang artinya tanah yang besar. Kemudian nama itu disempurnakan menjadi Koto Gadang hingga saat ini.
Koto Gadang merupakan sebuah desa indah nan permai terletak di kaki Gunung Singgalang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Daerah ini dihiasi dengan hamparan sawah yang merupakan tempat lahirnya tokoh hebat berdarah minang.
Sebagaimana dikatakan Azizah dan kawan-kawan dalam buku Koto Gadang Masa Kolonial, asal-usul nagari Koto Gadang dimulai seketika sekelompok masyarakat umum yang berasal dari Pariangan Padang Panjang di bawah pasukan Niniak Datuak Katumanggungan dan Niniak Datuak Papatiah Nan Sabatang memerintah mendirikan nagari baru di seluruh wilayah Minangkabau.
-
Apa saja tempat wisata populer di Surabaya yang bisa dikunjungi untuk merasakan sejarah kota? Tempat wisata di Surabaya yang menyajikan bangunan yang ikonik dan bersejarah adalah kawasan kota tua. Wisata kota tua ini menjadi saksi sejarah perjuangan muda-mudi dalam merebut kemerdekaan.Meskipun bangunan di Kota Tua sudah kuno dan berumur, bangunan ini masih memancarkan kemegahannya yang karismatik.
-
Dimana tempat wisata yang cocok untuk belajar sejarah budaya? Kawasan ini memiliki daya tarik yang unik, memadukan suasana kolonial masa lalu dengan unsur modern.
-
Dimana tempat wisata sejarah di Jakarta yang memiliki penjara bawah tanah? Menariknya, di bawah museum fatahilah ini terdapat berbagai penjara bawah tanah yang bisa kamu kunjungi dan dapat merasakan bagaimana di dalam penjara tersebut.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Apa yang ditemukan di situs sejarah di Desa Ngloram? Di tengah situs itu terdapat tumpukan batu yang berundak. Di sana terdapat makam yang tak diketahui pemiliknya. Di bawahnya terdapat tumpukan bata yang membatasi punden dengan bidang kosong. Di sebelah kiri agak ke bawah terdapat gundukan bata yang disebut dengan Punden Ngloram.
-
Kenapa tempat wisata sejarah di Jakarta cocok untuk ngabuburit? Nah, untuk masyarakat Jakarta, momen ngabuburit menjadi aktivitas yang menarik untuk dilakukan dengan berpergian ke beberapa destinasi wisata. Di tengah gemerlapnya pusat kota Jakarta yang modern, terselip berbagai tempat wisata bersejarah yang menjadi saksi bisu perkembangan kota ini dari masa ke masa.
Setelah menyusuri nagari, terlihatlah puncak sebuah bukit dengan hamparan tanah yang elok untuk ditempati. Kemudian rombongan tersebut berteriak kepada anggotanya 'Koto Tanah Nan Gadang', yang artinya tanah yang besar. Kemudian nama itu disempurnakan menjadi Koto Gadang hingga saat ini.
Lisa Septri Melina
Koto Gadang di Masa Kolonial
Azizah juga menjelaskan, rentetan kisah pada masa era kolonial menghiasi Koto Gadang. Pada tahun 1825 Koto Gadang dijadikan sebagai Ibu Nagari Kelarasan IV Koto dalam Onderafdeeling Oud Agam (Agam Tua).
Selanjutnya pada tahun 1906 didirikan perhimpunan Julius oleh anak Koto Gadang yang belajar pada sekolah Belanda di Fort de Kock. Perhimpunan ini mengharuskan anggotanya berbicara dalam bahasa Belanda selama di luar kelas, dan bagi yang melanggar akan dikenakan denda berupa uang.
Kemudian pada tahun 1910, anak nagari Koto Gadang diberangkatkan keluar negeri untuk menempuh pendidikan di Belanda dan 30 pemuda juga dikirim ke Pulau Jawa untuk belajar pelbagai jurusan.
Selanjutnya pada tahun 1912-1929, di Koto Gadang didirikan sekolah HIS (Hollands Inlandse School) berbahasa Belanda yang diurus oleh Vereeniging Studieffonds Koto Gadang. Kemudian pada tahun 1934, HIS Koto Gadang diubah menjadi sekolah standar yang terdiri dari kelas untuk belajar Bahasa Belanda.
Setelah tamat dari HIS, siswanya bisa melanjutkan pendidikan ke Uitgebreid Lager Onderwijs (Mulo), Algemeene Middelbare School (AMS), hingga Hoogescholen.
Lisa Septri Melina
Tempat Lahir Jurnalis Perempuan Pertama Indonesia
Di desa indah nan sejuk yang diapit gunung, ngarai, lembah serta hamparan sawah ini juga menjadi saksi bisu lahirnya perempuan pertama Indonesia asal Sumatera Barat yang bergerak di bidang jurnalistik. Dia bernama Reohana Kueddoes atau Ruhana Kuddus.
Dia merupakan seorang wartawati pertama Indonesia kelahiran 20 Desember 1884 di Koto Gadang, Kabupaten Agam Sumatera Barat dan meningal 17 Agustus 1972 di Jakarta. Dia anak dari Mohamad Rasad Maharadjo Soetan dan Kiam.
Reohana Kueddoes terlahir dari seorang ayah yang merupakan seorang pegawai pemerintahan Belanda yang mengawali karir sebagai juru tulis yang akhirnya menjabat sebagai Hofd Djaksa.
Reohana Kueddoes tercatat sebagai perempuan pertama yang berkiprah di bidang jurnalistik, sekaligus pendiri surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang bernama Soenting Melajoe (Sunting Melayu) yang merupakan surat kabar berorientasi perempuan di Minangkabau.
Fitriayanti Dahlia dalam buku yang berjudul Biografi Roehana Koeddoes Perempuan Menguak Dunia mengatakan, Reohana Kueddoes merupakan perempuan yang suka menulis artikel, surat hingga puisi. Dia juga terkenal sebagai perempuan yang gemar membaca koran terbitan Medan, Singapura serta Belanda.
Dalam buku tersebut juga dijelaskan, perempuan berdarah minang itu mendirikan Soenting Melajoe, yang merupakan surat kabar kaum perempuan yang Pimpinan Redaksinya langsung dipimpin oleh Reohana Kueddoes yang berkedudukan di Koto Gadang, serta Ratna Djoewita dan Zahara sebagai redaktur pelaksana di Kota Padang, yang terbit dari 10 Juli 1912 hingga tahun 1921 silam.
Soenting Melajoe memiliki makna yang mendalam, Soenting berarti Perempuan dan Melajoe maksudnya di Tanah Melayu yang artinya surat kabar yang diperuntukan untuk perempuan di tanah melayu. Pada halaman muka bagian tengah terpampang tulisan Seorat Chabar Perempoean di Alam Minangkabau.
Surat kabar ini awalnya terbit satu kali dalam seminggu, yang kemudian seiring waktu terbit 3 kali dalam seminggu yang berukuran seperti tabloid. Tulisan Reohana Kueddoes dalam surat kabar berisi tentang syair yang hadir mendobrak dunia kelam kaum perempuan.
Soenting Melajoe terbit selama 9 tahun, mulai 10 Juli 1912 hingga tahun 1921 hingga 1921. Dalam buku itu dijelaskan, surat kabar ini terhenti karena tidak adanya penerus, mulai dari yang redaksinya sibuk menerbitkan surat kabar lain bahkan ada yang merantau.
Bergelar Pahlawan Nasional
Pada tahun 2019, perempuan berdarah minang tersebut ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional yang tetuang dalam Surat Menteri Sosial Rl nomor: 23/MS/A/09/2019. Diketahui, 2 tahun setelah penetapannya sebagai pahlawan nasional, Reohana Kueddoes muncul dalam Google Doodle pada 8 November 2021.
Tidak hanya itu saja, semasa hidup dia juga dikenal sebagai perempuan yang gigih memperjuangkan hak-hak kaum perempuan serta mendorong perekonomian kaum perempuan, salah satunya mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia di tanah kelahiranya.
Sekolah kerajinan ini dikhususkan untuk kaum perempuan. Kerajinan Amai Setia merupakan satu-satunya organisasi wanita pertama di Minangkabau.
Koto Gadang Masa Kini
Pada Selasa (27/2) pagi, merdeka.com mendatangi desa yang menjadi saksi bisu perjuangan jurnalis perempuan pertama di Indonesia.
Peninggalan-peninggalan Reohana Kueddoes masih melekat kuat dalam pandangan, mulai dari replika Kerajinan Amai Setia yang saat ini dijadikan museum serta rumah Ruhana Kudus yang berdiri kokoh di Kota Gadang.
Tidak hanya itu saja, desa ini juga terbilang jauh dari kata bising. Hamparan rumah-rumah berusia ratusan tahun yang terbuat dari kayu semakin memperkuat sisi sejarah nagari Koto Gadang.
Kerajinan Amai Setia
Ketua II Kerajinan Amai Setia Koto Gadang Yusna Farida mengatakan, awal mula Kerajinan Amai Setia ada pada 11 Februari 1911 yang digagas oleh 3 perempuan asli Kota Gadang, dan Ruhana Kuddus sebagai direktur utamanya.
"Kerajinan Amai Setia diperuntukan kepada kaum perempuan. Ruhana Kuddus mendirikan kerajinan ini bersama dua orang temannya yaitu Rekna Puti dan Hadisah," tuturnya di wawancara di Museum Kerajinan Amai Setia di Kota Gadang, Selasa, (28/2).
Pada masa itu, pendidikan untuk perempuan di Koto Gadang sangat terbatas sehingga dengan kecerdasan pemikirannya, Reohana Kueddoes mendirikan Kerajinan Amai Setia.
"Pada masa itu, di Kerajinan Amai Setia perempuan tidak hanya diajarkan untuk menyulam saja, tetapi juga baca tulis serta sopan santun dalam pergaulan," ujar dia.
Saat ini rumah Kerajinan Amai Setia terdiri dari dua lantai dengan beberapa kali renovasi dan penambahan ruang bagian depan. "Lantai saru digunakan sebagai pusat bisnis Kerajinan Amai Setia Koto Gadang, mulai dari pernak-pernik Koto Gadang, selendang sulam serta baju adat. Sementara lantai dua digunakan sebagai museum yang memuat tentang Reohana Kueddoes," tandasnya.
(mdk/gil)