Mengenal Nyirib Tradisi Orang Sunda Jelang Puasa: Gotong Royong yang Bahagia
Bagi orang-orang Pasundan dahulu, menangkap ikan secara gotong royong merupakan kegembiraan tersendiri menjelang datangnya bulan puasa.
Bagi orang-orang Pasundan dahulu, menangkap ikan secara gotong royong merupakan kegembiraan tersendiri menjelang datangnya bulan puasa.
Penulis: Hendi Jo
-
Apa yang dimaksud dengan ucapan menyambut Ramadhan? Kata-kata ucapan menyambut Ramadhan 2024 dapat menjadi perekat silaturahmi, sekaligus disisipi doa-doa baik untuk Ramadhan esok.
-
Kenapa ucapan menyambut Ramadhan penting? Kata-kata ucapan menyambut Ramadhan 2024 dapat menjadi perekat silaturahmi, sekaligus disisipi doa-doa baik untuk Ramadhan esok.
-
Apa yang dimaksud dengan puisi menyambut Ramadan? Puisi menjadi sarana yang indah untuk mengekspresikan kegembiraan, kerinduan, dan antusiasme menyambut bulan Ramadan. Kata-kata yang dipilih dengan penuh perhatian dapat menciptakan atmosfer yang khusyuk dan mendalam, membangkitkan semangat beribadah dan merenungkan makna spiritualitas.
-
Kenapa kata-kata lucu penting saat bulan Ramadan? Kata-kata buka puasa lucu akan sangat menghibur orang lain jika khusus diberikan kepada orang yang terdekat. Hal itu karena kata-kata buka puasa lucu bisa dianggap sebagai bentuk rasa peduli terhadap orang yang sedang berpuasa.
-
Mengapa puisi menyambut Ramadan penting? Puisi menyambut Ramadan memiliki peran penting dalam memberikan pesan-pesan positif yang memotivasi umat Muslim untuk menjalani Ramadan dengan penuh kesadaran dan ketulusan.
-
Kenapa niat puasa Ramadan penting? Niat puasa Ramadan adalah pernyataan batin yang mengkonfirmasi keinginan dan komitmen seseorang untuk menjalankan ibadah puasa sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Ini adalah momen reflektif di mana seseorang menyatakan tujuannya untuk berpuasa, memisahkan diri dari kegiatan sehari-hari dan fokus pada spiritualitas dan disiplin diri.
Pada era 1980-an, orang-orang Sunda di pelosok desa masih memelihara kebiasaan unik menjelang puasa. Tiga hari sebelum munggah (sehari sebelum datangnya bulan Ramadan), mereka kerap menangkap ikan di sungai besar secara bersama-sama.
Aki Ucup masih mengingat rutinitas tahunan itu sebagai kegiatan nyirib (sering juga disebut marak dan nawu). Bertempat di Sungai Cimandiri, Sukabumi, dia bersama-sama orang-orang sekampung melaksanakan kegiatan tersebut dalam suasana penuh kekeluargaan dan riang gembira.
"Dari kecil hingga dewasa, nyirib itu adalah kegiatan yang sering kami tunggu-tunggu karena selain untuk hiburan, kami pun bisa bertukar kabar tentang kondisi masing-masing dengan sesama penghuni kampung," ujar lelaki berusia 95 tahun itu.
Nuansa Gotong Royong
Tradisi nyirib memang bukan hal yang asing di desa-desa Priangan. Menurut budayawan Sunda Aan Merdeka Permana, tradisi tersebut sejatinya sudah dilakukan sejak zaman kerajaan-kerajaan Sunda berjaya. Selain untuk pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari, nyirib juga dilaksanakan sebagai bentuk upaya penguatan sosial dan solidaritas di kalangan masyarakat Sunda.
"Saya pikir, aktivitas itu sesungguhnya lebih kental nuansa kegotongroyongannya," ujar Aan.
Kegiatan nyirib pada era kerajaan-kerajaan Sunda dilakukan pada setiap tutup tahun. Itu lantas berubah saat agama Islam menjadi anutan sebagian besar orang Sunda: nyirib dijalankan kala menjelang bulan ramadhan tiba. Pelaksanaan kegiatan ini pun termasuk merata. Artinya hampir sebagian besar masayarakat Sunda melakukannya, terutama mereka yang lingkungannya dekat dengan aliran sungai besar dan sedang.
Persiapan nyirib, umumnya dilakukan sejak pagi hari buta. Dimulai dengan ritual-ritual doa, para lelaki lantas mengondisikan leuwi (bagian terdalam sungai yang banyak ikannya). Caranya adalah dengan mengepung wilayah leuwi dengan batu-batu dan dedaunan serta mengalirkan air dari hulu ke hilir terjauh dengan metode dipekong (membuat beberapa saluran sungai kecil juga dengan menggunakan batu, tanah liat dan dedaunan).
Selesai pembendungan, arus air dari hulu lantasl dialihkan ke hilir terjauh, air yang tersisa di dalam bendungan lantas ditawu (dikeluarkan dengan menggunakan wadah sejenis ember) dengan melibatkan ratusan manusia. Begitu ribuan liter air sudah dikeluarkan dan keadaan sudah dianggap aman, maka pimpinan kegiatan (biasanya kepala dusun atau kepala desa) menyilakan orang-orang (termasuk anak-anak dan kaum perempuan) untuk terjun mencari ikan dengan berbagai cara.
Jelang Puasa, Semua Bahagia
R. Agus Thosin, berusia 72 tahun, termasuk orang yang masih mengalami masa-masa nyirib di wilayah Cianjur. Dia masih ingat bagaimana suka cita orang-orang sekampungnya saat melaksanakan kegiatan itu, terutama anak-anak kecil.
Dengan menggunakan berbagai jenis perangkat tradisonal untuk menangkap ikan, seperti sirib, lambit, kecrik, ayakan dan bubu) dalam tawa dan canda mereka berlomba-lomba menangkap ikan yang sudah tidak bisa lagi lari kemana-mana.
Hasil dari kegiatan nyirib ini biasanya memuaskan. Berbagai jenis ikan yang saat ini mungkin jarang ditemukan lagi, seperti senggal, tawes, udang, mujaer, gengehek, gabus, lele, kancra dan nama-nama ikan jadul lainnya berhasil mereka ambil dari sungai.
"Jumlahnya banyak sekali, sampai berkwintal-kwintal," ujar Agus.
Ikan-ikan itu lalu ditampung dalam suatu wadah yang sangat besar dan kemudian dibagi secara merata kepada semua orang kampung tak terkecuali para orang tua yang sudah tak mampu lagi terjun dalam kegiatan itu. Ketika dibagikan, lazimnya ikan-ikan itu dibungkus dengan daun pisang atau daun jati.
"Menjelang puasa, semua orang menjadi bahagia karena mereka bisa memasak ikan-ikan yang rasanya lezat luar biasa," kenang Agus.
Kini tradisi nyirib bisa dikatakan tinggal nama saja. Seiring tumbuhnya pabrik-pabrik dan maraknya perumahan di bantaran sungai-sungai, tradisi nyirib pun menghilang perlahan digerus zaman. Tak ada lagi ikan-ikan yang dibagikan secara suka cita. Alih-alih demikian, nama-nama ikan zaman dulu seperti kancra, tawes, senggal dan genggehek pun seolah telah sirna dari perbincangan anak-anak muda Priangan hari ini.