Misteri Sosok Gadis dalam Puisi Cinta Soe Hok Gie
Soe Hok Gie memang sangat mencintai perempuan itu. Begitu juga sebaliknya.
Bagaimana seorang demonstran memiliki cerita cinta yang begitu tragis dan memilukan.
Penulis: Hendi Jo
-
Di mana Soe Hok Gie meninggal? Detik-detik meninggalnya Soe Hok Gie terjadi pada tanggal 16 Desember 1969 di Gunung Semeru, Jawa Timur.
-
Bagaimana Soe Hok Gie memperlihatkan minatnya di bidang sastra dan sejarah? Di sana, ia mulai menunjukkan minatnya pada bidang sastra dan sejarah, serta mengembangkan sikap kritis dan oposisional terhadap pemerintahan Soekarno.
-
Mengapa Soe Hok Gie sangat kritis terhadap pemerintahan Soekarno? Ia dikenal sebagai orang yang paling vokal mengkritik kinerja pemerintahan era Soekarno, yang menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin yang dianggap sebagai kemunafikan dan kepicikan.
-
Kapan Soe Hok Gie meninggal dunia? Detik-detik meninggalnya Soe Hok Gie terjadi pada tanggal 16 Desember 1969 di Gunung Semeru, Jawa Timur.
-
Bagaimana Soeharto menghadapi serangan hoaks? Soeharto menganggap, pemberitaan hoaks yang menyerang dirinya dan keluarganya sebagai ujian. "Tapi tidak apa-apa, ini saya gunakan sebagai suatu ujian sampai di mana menghadapi semua isu-isu yang negatif tersebut. Sampai suatu isu tersebut sebetulnya sudah merupakan penfitnahan," ungkap Soeharto. Meski sering diserang hoaks, Presiden Soeharto memilih berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ditambah dengan senyum dan canda tawa.
-
Apa yang Soeharto katakan tentang berita hoaks yang mengarah ke Tapos? Memberitakan dengan tujuan negatif, karena mereka tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya dari Tapos ini," jelas Soeharto dikutip dari akun Instagram @jejaksoeharto. Karena memikirkan ini peternakan dari Presiden, padahal bukan peternakan Presiden, ini sebenarnya punya anak-anak saya yang saya mbonceng untuk mengadakan riset dan penelitian," kata Soeharto menambahkan.
Dalam historiografi Indonesia, Soe Hok Gie dikenal sebagai aktivis mahasiswa dan penulis yang sangat galak mengkritik kekuasaan. Soe (panggilan akrabnya) juga seorang demonstran aktif dalam berbagai momen. Termasuk pada 1966, terlibat dalam upaya penggulingan Presiden Sukarno.
"Dia itu kalau lagi demonstrasi bisa nekat. Pernah saat beraksi di depan Istana Negara, dia memimpin sekelompok mahasiswa untuk mengadang tank baja dengan cara berbaring di tengah jalan," tutur Rudy Badil, sahabat Soe Hok Gie.
Ada sisi lain dari Soe Hok Gie. Ternyata dia sosok yang romantis. Pada 1 April 1969, dalam beberapa lembar di catatan harian, dia sempat menulis satu puisi yang menyatakan perasaan terakhir-nya untuk seorang gadis.
SEBUAH TANYA
akhirnya semua akan tiba
pada pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.
apakah kau masih berbicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku.
(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi.
kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
apakah kau masih membelaiku selembut dahulu
ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra,
lebih dekat.
(lampu-lampu berkerlipan di Jakarta yang sepi
kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta
(haripun menjadi malam
kulihat semuanya menjadi muram
wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang tidak kita mengerti
seperti kabut pagi itu)
manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru.
Siapakah gadis itu?
Rudy tak menyebut namanya. Namun dia memastikan jika Soe Hok Gie memang sangat mencintai perempuan itu. Begitu juga sebaliknya. Namun bagi lelaki Tinghoa tersebut, cinta bukanlah soal saling membutuhkan, namun lebih dari itu. Ada saling pengertian, tanggungjawab dan kemerdekaan menyatakan keinginan, termasuk keinginan untuk mencintai itu sendiri. Soal terakhir itu memang menjadi masalah buat Soe, mengingat hubungan mereka yang tak direstui orangtua sang gadis.
"Mereka selalu dihalangi untuk bertemu," kenang Arief Budiman (kakak Soe Hok Gie) dalam kata pengantar buku Catatan Seorang Demosntran (catatan harian Soe Hok Gie).
Soe bukannya tidak berupaya meyakinkan orangtua sang gadis. Menurut Arief, sudah beberapa kali Soe bicara dengan ayahnya, seorang pengusaha kaya di Jakarta.
Sebagai seorang yang tidak setuju dengan berbagai ketidakberesan di Indonesia saat itu, ayah sang gadis menyatakan kekagumannya kepada Soe Hok Gie yang selalu berani melakukan kritik di koran-koran terhadap para pejabat yang dianggap tidak benar.
"Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti akan menolak. Terlalu besar risikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya," ungkap Soe kepada Arief.
Kandasnya Cinta
Keresahan Soe semakin bertambah saat dia sendiri tak melihat ketegasan hati dari sang kekasih. Mungkin karena usianya yang masih muda dan terbiasa hidup nyaman, sang kekasih tak memiliki keberanian untuk melawan pendirian orangtuanya itu.
"Saya katakan bahwa soal ini soal berat, karena ia harus bertempur sendirian di rumah. Kalau ia tak berani bertempur untuk hal tadi maka soalnya menjadi sulit. I can only give my support. Kemungkinan kedua adalah kita memutuskan hubungan sebelum semuanya berkembang menjadi terlalu jauh," tulis Soe Hok Gie dalam catatan hariannya bertanggal 4 April 1969.
Takdir memutuskan keduanya memilih mengkandaskan hubungan cinta mereka. Karena merasa sudah terlambat untuk menjadi 'dua sahabat', keduanya lantas sepakat untuk saling menjauhkan diri.
"Si Gie pastinya sedih. Walau dia tak ngomong apa-apa ke gue, tapi gue tau pada hari-hari itu dia sedih," kenang Rudy.
Soe Hok Gie bisa jadi tak memiliki kawan yang banyak untuk dia curhati. Namun dia memiliki buku harian yang senantiasa 'setia mendengar keluhannya'.
"Soal ini telah lama saya sadari. Tetapi pada waktu itu datang sebagai kenyataan, rasanya pedih sekali. Tetapi saya tak menjadi emosional. Saya pikir, saya jauh lebih tenang dan dewasa," tulis Soe dalam catatan hariannya bertanggal 5-6 April 1969.
Delapan bulan kemudian, dalam kegalauan dan ketidakjelasan hubungan mereka, Soe gugur di Puncak Mahameru pada 16 Desember 1969, sehari sebelum usianya tiba di angka ke-27.