Nama-Nama Gedung Parlemen pada Masa Orde Baru
Soeharto, sering membawa unsur kejawaannya dalam berpolitik, juga tidak lepas dari penamaan gedung-gedung parlemen dengan menggunakan bahasa Sanskerta.
Soeharto, sering membawa unsur kejawaannya dalam berpolitik, juga tidak lepas dari penamaan gedung-gedung parlemen dengan menggunakan bahasa Sanskerta.
Sejarah pembangunan kompleks parlemen itu sendiri bermula dari perintah Sukarno. Ide pembangunan gedung DPR/MPR awalnya tidak ditujukan untuk badan legislatif Indonesia, melainkan untuk Conference of The New Emerging Forces (Conefo).
- Kisah Pers Diberedel Habis pada Masa Soeharto
- Soeharto Diusulkan Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Ini Alasannya
- Potret 2 Politisi Perempuan Anak Cucu Soekarno & Soeharto Bertemu Akrab, Sampai Pelukan Erat Bak Kakak Adik
- Mengenang Petisi 50, Surat Protes Kepada Presiden Soeharto yang Ditandatangani 50 Tokoh di Indonesia
Konsep ini muncul dari ambisi Sukarno untuk menunjukkan keberadaan Indonesia di kancah internasional. Conefo adalah konferensi internasional untuk membentuk blok baru yang terdiri dari negara-negara berkembang guna menyaingi dua kekuatan blok yang sudah ada sebelumnya.Pada 19 April 1965 dibangunlah tiang pertama.
Namun, pembangunan terhenti karena Peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan Canefo pun tidak jadi dilakukan. Pada 9 November, Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Presidium Kabinet Ampera, menginstruksikan untuk melanjutkan pembangunan Conefo dengan mengalih fungsikan menjadi gedung parlemen.
Proses penyerahan gedung dilakukan secara bertahap kepada Sekretariat Jenderal DPR, dengan lima bagian yang diserahkan, yaitu Main Conference Building (1968), Secretariat Building dan gedung balai kesehatan (1978), Auditorium Building (1982), dan Banquet Building (1983).
Alasan Diubah Bahasa Sansekerta
Nama yang semula berbahasa Inggris itu akhirnya diubah menggunakan bahasa Sansekerta, yakni Grahatama, Lokawirabasha Tama, Pustakaloka, Grahakarana, dan Samania Sasanagraha.
Penamaan itu terbilang sulit diucapkan, bahkan bagi orang Jawa itu sendiri. Sampai pada akhirnya pemerintahan Orde Baru tumbang dan hal-hal yang berbau Orde Baru mulai dihilangkan.
Salah satunya adalah mengubah nama-nama gedung parlemen yang awalnya bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia. Hal ini bertujuan agar penamaan lebih sederhana dan mudah diingat .Salim Said, anggota MPR yang mengusulkan perubahan nama-nama gedung tersebut.
Dalam bukunya Dari Gestapu ke Reformasi, Salim Said mengungkapkan ia membuat dan mengedarkan petisi mengenai perubahan nama. Dan setelah berhasil mengumpulkan 300 tanda tangan anggota parlemen,
Akhirnya Nama Diganti
Salim Said menyerahkan petisi itu kepada Sekretaris Jenderal DPR/MPR, Afif Ma’roef.Pada rapat pimpinan DPR pada 18 November 1998, diputuskan untuk membentuk Tim Penggantian Nama Gedung MPR/DPR RI yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Korkesra, Fatimah Achmad.
Dan pada rapat terakhir tanggal 14 Desember 1998, disetujui perubahan nama gedung-gedung DPR/MPR, di mana perubahan nama yang dilakukan pada saat itu menghasilkan nama-nama yang masih digunakan hingga sekarang.
Perubahan namanya adalah sebagai berikut: Grahatama menjadi Gedung Nusantara, Lokawirasabha Tama menjadi Gedung Nusantara I, Ganagraha menjadi Gedung Nusantara II, Lokawirasabha menjadi Gedung Nusantara III, Pustakaloka menjadi Gedung Nusantara IV, Grahakarana menjadi Gedung Nusantara V, Samania Sasanagraha menjadi Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, dan Mekanik Graha menjadi Gedung Mekanik.
Reporter Magang: Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti