Sisi Lain Presiden RI: Dari Ngutang Sopir Taksi Hingga Minta Traktir Jenderal TNI
Selama hidupnya Bung Karno jarang sekali memegang uang dalam jumlah besar. Jangankan ratusan juta (apalagi miliaran), sekadar uang receh saja kadang tak ada di sakunya. Bung kerap meminta dari ajudan, sopir atau orang terdekatnya.
Cerita mengenai pemikiran dan sepak terjang Sukarno banyak ditulis di berbagai literasi. Sering pula dijadikan bahan diskusi. Namun jarang yang mengulas kisah sisi lain dari sang proklamator.
Di balik nama besarnya, Sukarno punya sisi lain yang manusiawi. Kisah unik dan menarik, sejak masih terlibat dalam kelompok pergerakan kemerdekaan hingga saat menjadi Presiden. Cerita tentang isi dompet Bung Besar.
-
Dimana Soekarno diasingkan? Penganan Pelite rupanya juga menjadi kue favorit Bung Karno saat berada dipengasingan di Kota Muntok sekitar tahun 1949.
-
Siapa yang bersama Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia? Pada tanggal 17 Agustus 1945, Hatta bersama Soekarno resmi memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta.
-
Bagaimana reaksi Soekarno saat bertemu Kartika? Bung Karno yang mengetahui kedatangan istri dan putrinya, seketika mengulurkan tangan dan seolah-olah ingin mencapai tangan Kartika.
-
Bagaimana Soekarno mempelajari bahasa Sunda? Inggit didapuk jadi penerjemah Bahasa Sunda masyarakat, dan membantu Soekarno saat kesulitan mengucap Bahasa Sunda.
-
Apa yang dimaksud dengan kata-kata Soekarno tentang bangsa yang besar? "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya."
-
Di mana Soekarno belajar untuk memimpin? Soekarno, yang tinggal di Surabaya pada era 1920-an, belajar untuk menundukkan hati rakyat dan menjadi inspirasi bagi mereka dalam melawan penjajah serta mencapai kemerdekaan Indonesia.
Selama hidupnya Bung Karno jarang sekali memegang uang dalam jumlah besar. Jangankan ratusan juta (apalagi miliaran), sekadar uang receh saja kadang tak ada di sakunya. Bung kerap meminta dari ajudan atau sopir.
"Tidak aneh jika semua orang yang ada di dekatnya pada suatu kesempatan sering diminta bayarin jika di suatu tempat dia jajan buah-buahan atau makanan yang dia inginkan," kenang Maulwi Saelan, eks Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa.
Minta Traktir Jenderal TNI
Pengakuan mantan pengawal Bung Karno itu dibenarkan mantan Jaksa Agung Priyatna Abdurrasyid. Bung Besar tak segan meminta para bawahannya untuk mentraktir.
Ceritanya, Bung Karno memiliki langganan tukang sate ayam di Jalan Asia Afrika, Bandung. Setiap berkunjung ke kota kembang, Bung Karno pasti menyempatkan diri makan di warung sate itu.
Dalam otobiografinya, Dari Cilampeni ke New York: Mengikuti Hati Nurani (disusun oleh Ramadhan K.H.), Priyatna menceritakan, Bung Karno akan keluar setelah maghrib. Dengan menumpang jeep dan memakai kaos putih oblong, celana pendek dan sandal. Bung Karno didampingi komandan Resimen Tjakarabirawa Brigjen Sabur.
Sebelum pergi, Bung Karno terlebih dahulu menemui Panglima Kodam Siliwangi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie di Pakuan. Sesaat melihat wajah Adjie, Bung Karno dari dalam jeep berteriak tanpa ragu-ragu:
"Djie coba beri aku uang seribu rupiah! Aku mau makan sate nih…"
Adjie merogoh saku celananya dan langsung memberikan uang ribuan kepada Bung Karno.
Minta Uang Buat Bayar Utang
Kisah lain datang dari T.D. Pardede, seorang pengusaha nasional asal Medan, pernah menceritakan pengakuan Bung Karno yang memikirkan utang. Itu terjadi di akhir masa jabatan Sukarno. Bung Besar memanggil Pardede.
"Hey Pardede aku butuh duit buat bayar utang dan beli cat," katanya seperti dikisahkan oleh eks ajudannya Mangil Martowidjojo dalam buku Kesaksian tentang Bung Karno, 1945-1967.
Tanpa banyak bertanya, Pardede langsung memberikan uang sejumlah USD1.000. Bung Karno justru kaget.
"Apa kurang, Pak?" tanya Pardede.
"Wah, banyak amat!" jawab Bung Karno dengan polosnya.
Ngutang Sopir Taksi
Jauh sebelum menjadi Presiden, Sukarno kerap kesulitan masalah uang. Saat masih sibuk dalam organisasi pergerakan kemerdekaan, Sukarno harus mondar mandir yang tentu mengeluarkan banyak uang.
Seorang sopir taksi bernama Arief menceritakan ketika Bung Karno terpaksa ngutang karena tak mampu membayar ongkos.
"Ngelamun, Bung?" tanya seorang anak muda usia sekira 20-tahunan.
Si Tampan agak terkejut mendengar sapaan tersebut. Begitu menoleh, dia langsung tersenyum senang. Matanya berbinar.
"Ah kamu Arief… Saya cari kamu sedari tadi," kata Bung Karno.
"Mau kemana, Bung?" tanya anak muda yang dipanggil Arief itu seraya membawa tas besar yang dibawa Si Tampan.
"Biasa. Mau kemana lagi?" jawab sang pemuda.
"Ke Gang Kenari?"
"Iya dong. Kemana lagi… Tapi eeehmm, uang saya pas-pasan. Bagaimana ya?" tanya pemuda itu.
"Soal uang pas-pasan, jangan dipikirin Bung. Saya tahu orang pergerakan memang pas-pasan hidupnya," jawab Arief sambil menghidupkan mesin mobil.
Arief memang akrab dengan lelaki perlente bernama Sukarno itu. Dia sudah bergaul rapat dengan Si Bung sejak dirinya masih berprofesi sebagai supir taksi pada awal 1930.
Bahkan bisa dikatakan, taksi yang dikemudikan Arief adalah langganan Sukarno jika dirinya tengah berkunjung ke Gang Kenari, kediamannya tokoh pergerakan asal tanah Betawi: Husni Thamrin.
Suatu hari, Arief mengantar Bung Karno dari Gambir ke Gang Kenari. Begitu sampai di tujuan, pintu mobil dibuka dan Bung Karno keluar. Dia kemudian menjulurkan sebagian kepalanya ke dalam mobil lewat kaca jendela depan. Sambil tersenyum dia berkata:
"Rif, biasa…Ngutang dulu ya…"
"Nggak apa-apa, Bung. Lalu besok dijemput?"
"Ya besok dijemput juga di tempat ini. Jangan lupa besok pun masih ngutang lagi," ujar Bung Karno seraya menepuk pundak Arief.
"Bung jangan berkata itu terus. Bikin malu saja.Sampai besok pagi, Bung!" kata Arief sambil menjalankan mobilnya, kembali menuju Stasiun Gambir.