Hukum Puasa Tarwiyah sesuai Dalil, Begini Penjelasannya
Dalam 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini, ada yang dikenal dengan puasa Tarwiyah, yang dikerjakan di tanggal 8 Dzulhijjah, atau dua hari sebelum merayakan Idul Adha. Begini penjelasan hukumnya.
Umat Islam kini telah memasuki bulan ke 12 atau bulan yang terakhir dalam kalender Hijriyah. Bulan ini termasuk ke dalam salah satu bulan haram yang disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadisnya, yang artinya,
“Sesungguhnya waktu itu berputar sebagaimana keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun ada 12 bulan. Di antara bulan-bulan tersebut ada 4 bulan yang haram (berperang di dalamnya ). 3 bulan berturut-turut, yaitu: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Al Muharram, (dan yang terakhir) Rajab Mudhar, yaitu bulan di antara bulan Jumaada dan Sya’ban.” (HR. Bukhari).
-
Kenapa Padi Salibu dilirik Pemprov Jabar? Padi dengan teknologi salibu saat ini tengah dilirik Pemprov Jabar sebagai upaya menjaga ketahanan pangan.
-
Bagaimana Jaka Sembung melawan Ki Hitam? Akhirnya Jaka Sembung teringat pesan gurunya, Ki Sapu Angin yang menyebut jika ilmu rawa rontek bisa rontok saat pemiliknya tewas dan tidak menyentuh tanah. Di film itu, Jaka Sembung kemudian menebaskan parang ke tubuh Ki Hitam hingga terpisah, dan menusuknya agar tidak terjatuh ke tanah.
-
Kapan Rafathar potong rambut? 3 Namun, ternyata Raffi dan Nagita ingin anak mereka tampil berbeda menjelang Hari Raya Idul Fitri yang tidak lama lagi.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Raden Rakha lahir? Raden Rakha memiliki nama lengkap Raden Rakha Daniswara Putra Permana. Ia lahir pada 16 Februari 2007 dan kini baru berusia 16 tahun.
-
Apa itu jamak taqdim? Jamak Taqdim yaitu menggabungkan dua sholat dengan cara mengerjakannya di waktu sholat yang pertama.
Bulan Dzulhijjah juga sering disebut sebagai bulan Haji atau bulan Kurban, karena bulan inilah yang menjadi waktu utama disyariatkannya ibadah haji dan kurban.
Keistimewaan bulan Dzulhijjah tak sampai di situ saja. 10 hari pertama dari bulan ini juga memiliki keutamaan. Hal ini dijelaskan dalam hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berikut,
“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.“ (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Di hari-hari pertama bulan Dzulhijjah tersebut, tepatnya di tanggal 1-9, kita dianjurkan untuk melaksanakan puasa. Dan dalam 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini, ada yang dikenal dengan puasa Tarwiyah, yang dikerjakan di tanggal 8 Dzulhijjah, atau dua hari sebelum merayakan Idul Adha.
Namun sebelum melaksanakan puasa sunnah ini, Anda harus tahu bagaimana hukum puasa tarwiyah terlebih dulu. Hukum puasa tarwiyah akan membantu kita mengetahui apakah amalan tersebut dapat dikerjakan atau tidak.
Untuk itu, kami telah merangkum penjelasan tentang bagaimana hukum puasa tarwiyah berdasarkan dalilnya.
Hukum Puasa Tarwiyah
Penting untuk mengetahui bagaimana hukum puasa tarwiyah. Ini karena banyak umat Islam mengira bahwa hukum puasa tarwiyah adalah sunnah. Mengetahui hukum puasa tarwiyah, terdapat dalil yang menjadi landasan dalam melaksanakan puasa tarwiyah di tanggal 8 Dzulhijjah tersebut,
“Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni dosa setahun yang lalu. Sedangkan puasa hari Arafah (9 Dzulhijjah) akan mengampuni dosa dua tahun.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Abusy Syaikh dan Ibnu An Najjar dari Ibnu ‘Abbas.
Dilansir dari rumaysho.com, hadis ini tergolong dalam hadis yang tidak shahih menurut Ibnul Jauzi. Kemudian, Asy Syaukani juga mengatakan bahwa hadis ini tidak shahih karena dalam riwayatnya terdapat perowi yang pendusta. Sedangkan Syaikh Al Albani berpendapat bahwa hadis ini adalah dho’if (lemah).
Dan yang harus Anda tahu, jika hadis yang mendasari suatu ibadah adalah dho’if (lemah), maka ibadah tersebut tidak boleh diamalkan dengan sendirinya.
Hal ini juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah,
“Tidak boleh bersandar pada hadits-hadits dho’if (lemah) yang bukanlah hadits shahih dan bukan pula hadits hasan. Akan tetapi, Imam Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya membolehkan meriwayatkan hadits dho’if dalam fadhilah amal selama tidak diketahui hadits tersebut shahih atau hadits tersebut bukan diriwayatkan oleh perowi pendusta. Namun boleh mengamalkan isinya jika diketahui ada dalil syar’i yang mendukungnya. Jika haditsnya bukan diriwayatkan oleh perowi yang pendusta, boleh jadi pahala yang disebutkan dalam hadits tersebut benar. Akan tetapi, para ulama katakan bahwa tidak boleh menyatakan wajib atau sunnah pada suatu amalan dengan dasar hadits dho’if. Jika ada yang mengatakan bolehnya, maka dia telah menyelisihi ijma’ (kata sepakat para ulama).” (Al Majmu’ Al Fatawa).
Puasa Tanggal 8 Dzulhijjah
Dengan status hadis yang tidak shahih tersebut, bukan berarti kita tidak diperbolehkan berpuasa di tanggal 8 Dzulhijjah. Kita masih bisa berpuasa pada tanggal 8 Dzulhijjah, namun bukan karena hadis tentang puasa tarwiyah tadi.
Anda bisa berpuasa di tanggal 8 Dzulhijjah dengan mengingat keutamaan di awal-awal bulan Dzulhijjah. Karena pada waktu tersebut, ibadah puasa adalah sebaik-baiknya amalan yang dikerjakan pada saat itu.
Dalil yang menjelaskan keutamaan puasa di awal bulan Dzulhijjah adalah hadis dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, …” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini shahih).
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan bahwa ada pula sahabat yang mempraktekkan amalan puasa sembilan hari di awal bulan Dzulhijah tersebut, seperti Ibnu ‘Umar.