Mencicipi Kembang Waru, Kue Jadul Kotagede Favorit Kerajaan Mataram
Jajanan tradisional ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Islam. Kala itu, kue berwarna cokelat ini menjadi primadona. Makanan mewah yang disajikan untuk para raja dan menjadi favorit keluarga kerajaan.
Dari rumah sederhana yang terletak di Kampung Bumen, Kotagede Yogyakarta harum aroma kue tercium. Aroma harum kue yang manis ini membuat perut ingin segera mencoba kue ini. Tak sembarang kue, Kembang Waru merupakan makanan khas Kotagede yang legendaris.
Jajanan tradisional ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Islam. Kala itu, kue berwarna cokelat ini menjadi primadona. Makanan mewah yang disajikan untuk para raja dan menjadi favorit keluarga kerajaan.
-
Apa yang digambarkan dalam foto yang beredar? Dalam foto yang beredar memperlihatkan orang-orang mengangkut balok batu berukuran besar.
-
Mengapa foto Bumi pertama dari luar angkasa dianggap penting? Foto hitam-putih yang buram merupakan tonggak penting di zaman ketika teknologi belum maju.
-
Di mana foto gurita raksasa itu pertama kali dibagikan? Foto yang diunggah di Facebook, disertakan narasi sebagai berikut: "⚠️ BESAR 🦑 Seekor gurita yang sangat raksasa ditemukan di lepas pantai Bali, Indonesia," tulis akun Gumaro Cedillo pada 5 Juni 2024.
-
Siapa yang terlihat gagah mengenakan seragam dinas dalam foto pertama yang dibagikan? Sementara itu sang suami, Jenderal TNI Maruli Simanjuntak berdiri gagah mengenakan seragam dinasnya.
-
Apa itu gambar toong? Gambar toong bisa dikatakan sebagai bioskop keliling sederhana.
-
Kapan Tari Lawet pertama kali ditampilkan? Dilansir dari Budaya-Indonesia.org, kemunculan Tari Lawet berawal dari keinginan Bupati Kebumen pada tahun 1989 untuk menampilkan pentas tari massal khas Kebumen untuk membuka acara Jambore Daerah Jawa Tengah yang diadakan di bukit perkemahan Widoro, Kebumen.
Namun seiring dengan perkembangan zaman jajanan ini dapat di nikmati masyarakat biasa. Kembang Waru sampai saat ini dapat di jumpai di Pasar Kotagede. Dinamakan kembang waru karena dulu para sahabat keraton membuat kue ini di daerah Kotagede yang banyak terdapat pohon waru.
©2021 Merdeka.com/Fajar Bagas Prakoso
Dulu bak primadona, kini kepopulerannya mulai memudar. Terganti dengan jajanan berkemasan yang lebih modern dan kekinian. Pembuat Kembang Waru pun banyak yang gulung tikar. Tinggal beberapa orang yang bertahan membuat Kembang Waru.
Salah satunya Pak Basis Hargito. Dari rumah pria lanjut usia ini, sejumlah kilogram adonan berwarna putih tertuang di cetakan. Siap dipanggang di perapian tradisional, menghasilkan jajanan Kembang Waru yang melegenda.
©2021 Merdeka.com/Fajar Bagas Prakoso
Kue basah ini terbuat dari telur ayam, tepung terigu, gula pasir, soda vanili, dan susu. Cara membuatnya pun cukup sederhana, cukup mencampurkan bahan-bahan tersebut kemudian di panggang hingga berwarna kuning kecokelatan.Setidaknya butuh waktu 1-2 jam untuk membuat Kembang Waru.
Dalam proses pembuatannya menggunakan alat tradisional. Semuanya mengandalkan kekuatan tangan dan tanpa tersentuh mesin. Alat pemanggang kue masih tradisional. Dengan arang bara api yang menyala di atas dan di bawah perapian. Nantinya, adonan kue dipanggang pada tengah perapian.
©2021 Merdeka.com/Fajar Bagas Prakoso
Tanpa pemanis buatan, Kembang Waru ini terasa lembut memanjakan lidah. Pinggir kelopak renyah. Aromanya harum. Hmmm, benar-benar nikmat.
Makanan tradisional ini seringkali tersedia di acara hajatan seperti pernikahan, selapanan, dan lain sebagainya. Diketahui Pak Bas sudah memproduksi Kembang Waru sejak 1983. Ia menjual Kembang Waru seharga Rp 1.000 ribu.
Sebenarnya, beberapa daerah juga ada yang memproduksi Kembang Waru, namun rasa Kembang Waru Kotagede punya khasnya sendiri. Rasa Kembang Waru khas Kotagede diklaim lebih empuk karena mengocok adonan mengandalkan kekuatan tangan.
©2021 Merdeka.com/Fajar Bagas Prakoso
Tak banyak yang tahu, makanan khas Kotagede ini syarat dengan makna filosofi. Kembang waru, kembang dengan 8 kelopak ini punya melambangkan 8 jalan utama Hasto broto. Diibaratkan 8 elemen penting yaitu matahari, bulan, bintang, mega (awan), tirta (air), kismo (tanah), samudra, dan maruto (angin).
Oleh karena itu siapa yang makan kembang waru harus bisa menjiwai dan mengamalkan 8 delapan jalan utama. Mengingat bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa 8 elemen tadi.
Dulu menjadi primadona, kini kue kembang waru tak lagi banyak dijual di pasar tradisional. Bukan hanya karena sepi peminat, tetapi pembuat makanan khas Yogyakarta ini juga kian berkurang.
(mdk/Tys)