Musafir adalah Orang yang Melakukan Perjalanan Jauh, Berikut Keringanan yang Didapat
Musafir adalah seseorang yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, yang biasanya jauh dari tempat tinggalnya. Karena musafir adalah orang yang sedang melakukan perjalanan jauh, maka Islam memberikan keringanan bagi mereka dalam menjalankan ibadah.
Sebagai kaum muslimin, Anda tentu sudah tak asing dengan istilah musafir. Musafir adalah seseorang yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, yang biasanya jauh dari tempat tinggalnya. Dalam Islam, topik tentang musafir adalah salah satu yang sering mendapat perhatian.
Dalam konteks Islam, musafir adalah seseorang yang melakukan perjalanan jauh yang memenuhi kriteria tertentu yang disebut dengan "safar". Kriteria ini meliputi jarak yang harus ditempuh dan lama perjalanan yang dihabiskan.
-
Bagaimana cara mengamalkan dzikir "Ya Jabbar"? Mengamalkan dzikir “Ya Jabbar” adalah sebuah praktik spiritual dalam Islam yang bertujuan untuk mengingat dan memohon kepada Allah SWT dengan menggunakan salah satu dari Asmaul Husna, yaitu “Al Jabbar” yang berarti “Yang Maha Perkasa”.
-
Siapa saja yang dapat mengamalkan dzikir "Ya Jabbar"? Cara mengamalkan Ya Jabbar ini perlu diketahui umat muslim.
-
Kapan dzikir "Ya Jabbar" dianjurkan untuk diamalkan? Dzikir “Ya Jabbar” adalah salah satu cara bagi umat Islam untuk mengingat dan memohon kepada Allah SWT dengan harapan bahwa-Nya akan memberikan apa yang mereka butuhkan sesuai dengan sifat-sifat-Nya yang agung.
-
Apa arti dari "Ya Jabbar" dalam konteks Asmaul Husna? "Ya Jabbar" adalah salah satu dari 99 Asmaul Husna, yang merupakan nama-nama baik dan indah Allah SWT dalam Islam. "Ya Jabbar" berarti "Wahai Tuhan yang Maha Perkasa" atau "Maha Gagah".
-
Kenapa Padi Salibu dilirik Pemprov Jabar? Padi dengan teknologi salibu saat ini tengah dilirik Pemprov Jabar sebagai upaya menjaga ketahanan pangan.
-
Siapa yang dilarang menyambung rambut dalam Islam? Nabi Muhammad SAW dengan tegas melarang umatnya untuk menyambung rambut, baik dengan rambut asli maupun rambut palsu. Hal ini berdasarkan beberapa hadis yang menyebutkan bahwa Allah mengutuk wanita yang menyambung rambut dan meminta untuk disambungkan.
Karena musafir adalah orang yang sedang melakukan perjalanan jauh, maka Islam memberikan keringanan bagi mereka dalam menjalankan ibadah. Namun, bukan berarti setiap orang yang melakukan perjalanan akan mendapat keringanan tersebut. Karena ada kriteria tertentu yang menjadikan musafir mendapat keringanan. Dalam artikel berikut, penjelasan apa itu musafir dan apa saja keringanan yang didapatnya selama melakukan perjalanan jauh.
Apa Itu Musafir?
Musafir adalah seorang individu yang melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, yang jauh dari tempat tinggalnya. Dalam konteks Islam, musafir adalah seseorang yang melakukan perjalanan jauh yang memenuhi kriteria tertentu yang disebut dengan "safar".
Diambil dari bahasa Arab, arti kata musafir adalah melakukan perjalanan. Dalam Bahasa Arab, kata musafir adalah isim Fa’il atau kata yang memiliki posisi sebagai subyek atau pelaku. Sedangkan secara pengertian bahasa, musafir adalah orang yang melakukan perjalanan.
Seorang musafir mendapatkan keringanan dalam menjalankan ibadah, seperti sholat dan puasa. Tapi, ada kriteria tertentu yang menjadikan mereka berhak untuk mendapatkan keringanan tersebut.
Salah satunya adalah syarat jarak yang harus ditempuh. Mayoritas ulama menyebutkan bahwa 85 km adalah syarat minimal seseorang dapat disebut sedang melakukan safar sehingga mendapatkan kemudahan ibadah.
Jarak yang Disebut Safar
Sebenarnya, ada perbedaan pendapat tentang batasan jarak sehingga dapat disebut safar. Ketika seseorang memenuhi batasan jarak safar ini, maka diperbolehkan bagi dirinya untuk mengqashar salatnya.
©2012 Merdeka.com
Mengutip dari rumaysho.com, terdapat 3 pendapat terkait syarat jarak seseorang disebut melakukan safar:
Jika telah mencapai 48 mil atau 85 km.
Inilah pendapat dari mayoritas ulama dari kalangan Syafi’i, Hambali dan Maliki. Dalil pendukung pendapat ini adalah hadis,
“Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad).
Namun, hadis di atas tidak menunjukkan batasan jarak disebut bersafar sehingga boleh mengqashar shalat.
Jika telah melakukan perjalanan selama tiga hari tiga malam.
Inilah pendapat dari ulama Hanafiyah. Dalilnya adalah hadis dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah seseorang itu bersafar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kemudian ada pula hadis ‘Ali, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.” (HR. Muslim).
Namun sekali lagi, dua hadis di atas tidak menunjukkan adanya batasan jarak safar.
Tidak ada batasan untuk jarak safar.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa tidak ada batasan jarak safar, jadi selama sudah disebut safar, maka sudah boleh mengqashar shalat. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan madzhab Zhahiri.
Pendapat ini didukung dengan hadis yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menempuh jarak kurang dari yang telah disebutkan sebelumnya, dan beliau sudah mengqashar salat.
“Dari Yahya bin Yazid Al Huna-i, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Anas bin Malik mengenai qashar salat. Anas menyebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh –Syu’bah ragu akan penyebutan hal ini-, lalu beliau melaksanakan salat dua rakaat (qashar shalat).” (HR. Muslim).
Ibnu Hajar Al Asqolani menyatakan,
“Itulah hadits yang paling shahih yang menerangkan masalah jarak safar untuk bisa mengqashar salat. Itulah hadits yang paling tegas.”
Namun, mayoritas ulama yang menyelisihi pendapat di atas menyebutkan bahwa jarak yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah jarak saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai qashar, bukan jarak tujuan yang ingin dicapai.
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat ketiga. Yaitu selama suatu perjalanan disebut safar, baik dengan jarak dekat maupun jauh, maka boleh mengqashar salat. Tapi jika sulit untuk menentukan apakah Anda melakukan safar ataukah tidak, maka pendapat mayoritas ulama bisa digunakan, yaitu dengan memakai jarak minimal 85 km dan telah keluar dari batas kota.
Keringanan Musafir
©2023 Merdeka.com/Pexels/Tima Miroshnichenko
Seperti yang telah disebutkan, musafir mendapatkan keringanan dalam melakukan ibadah selama perjalanan mereka. Berikut adalah beberapa keringanan tersebut:
- Mengqashar salat, yaitu sholat 4 rakaat diringkas menjadi 2 rakaat.
- Menjamak salat, yaitu menggabungkan dua sholat untuk dikerjakan di salah satu waktu. Yang boleh digabungkan adalah salat zuhur dengan salat ashar, dan salat maghrib dan salat isya’. Namun, menjamak sholat ketika bepergian lebih utama untuk ditinggalkan kecuali memang ada kebutuhan untuk menjamaknya.
- Tidak berpuasa pada bulan Ramadan jika memang safarnya membuatnya kesulitan. Namun jika safarnya tidak ada kesulitan, maka puasa bisa jadi tetap wajib.
- Mengerjakan salat sunnah di atas kendaraan dengan menghadap ke arah yang dituju oleh kendaraan.
- Bertayamum.