Peduli Lingkungan, Warga Sumedang Mengolah Limbah Tahu Jadi Biogas
“Dulunya dari 11 pabrik yang ada di sini itu membuang limbahnya ke Sungai Cileuweung semua. Kemudian banyak yang protes dari kalangan warga yang tinggal di hilir, karena limbah pekat dari tahu menimbulkan bau tidak sedap”
Isu lingkungan selalu menjadi persoalan utama di wilayah industri termasuk pangan. Kabupaten Sumedang, lewat komoditas tahunya yang masif turut menimbulkan pencemaran. Sehingga mengganggu hak masyarakat terhadap lingkungan yang sehat sesuai pasal 65 bab 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
Menyiasati ini, warga setempat kemudian mengelolanya agar tidak menimbulkan bau dan ternyata bisa menghasilkan energi alternatif biogas. Langkah inspiratif ini bisa dilihat tak jauh dari gapura masuk Dusun Giriharja, Desa Kebonjati, Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
-
Apa isi dari surat kabar *Bataviasche Nouvelles*? Mengutip dari berbagai sumber, isi konten tulisan yang ada di surat kabar Bataviasceh Nouvelles ini mayoritas adalah iklan. Ada pula beberapa terbitannya juga memuat aneka berita kapal dagang milik VOC.
-
Kenapa berita hoaks ini beredar? Beredar sebuah tangkapan layar judul berita yang berisi Menteri Amerika Serikat menyebut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bodoh usai Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 diserang hacker beredar di media sosial.
-
Kapan nama surat kabar Benih Merdeka diubah? Akhirnya pada tahun 1920, ia mengubah nama menjadi "Mardeka".
-
Apa nama surat kabar pertama yang terbit di Jogja? Melalui sebuah unggahan pada 9 Mei 2024, akun Instagram @sejarahjogya menampilkan dua surat kabar yang pertama kali terbit di Jogja. Koran satu bernama “Mataram Courant” dan satunya lagi bernama “Bintang Mataram”.
-
Apa kabar terbaru dari Nunung? Nunung bilang badannya sekarang udah sehat, ga ada keluhan lagi dari sakit yang dia alamin. Kemo sudah selesai "Nggak ada (keluhan), karena kemo-nya sudah selesai sudah baik, aman, Alhamdulillah," tuturnya.
-
Apa isi dari surat kabar Soenting Melajoe? Terbit pertama kali pada 10 Juli 1912, isi dari surat kabar Soenting Melajoe ini seperti tajuk rencana, sajak-sajak, tulisan atau karya mengenai perempuan, hingga tulisan riwayat tokoh-tokoh kenamaan.
Sebagai daerah dengan banyak pabrik tahu, kampung tersebut berupaya mencegah terbuangnya limbah pekat sisa produksi ke Sungai Cileuweung, karena mencemari lingkungan. Setiap masa produksi, warga dari hilir kerap mendatangi pabrik-pabrik tahu di Giriharja untuk melakukan aksi protes.
Mereka meminta agar pencemaran itu bisa dikendalikan, sehingga limbahnya tidak melintas di pemukiman mereka. Kejadian ini dibenarkan oleh Sekretaris Kelompok Perajin Tahu Giriharja, Asep Efendi saat ditemui Merdeka, Jumat (13/1).
“Dulunya dari 11 pabrik yang ada di sini itu membuang limbahnya ke Sungai Cileuweung semua. Kemudian banyak yang protes dari kalangan warga yang tinggal di hilir, karena limbah pekat dari tahu menimbulkan bau tidak sedap” katanya.
Ini yang kemudian menggerakkan tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI (sekarang BRIN) untuk membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan media produksi biogas, yang juga didukung oleh Nanyang Technological University (NTU) Singapore. Kini pengelolaannya dilakukan secara penuh dan mandiri oleh warga Dusun Giriharja.
Menjawab Persoalan Limbah di Giriharja
©2023 Nurul Diva Kautsar/Merdeka.com
Dituturkan Asep, pembangunan IPAL biogas ini sudah mulai dilakukan sejak tahun 2011 silam. Saat itu, peneliti LIPI menemukan fakta bahwa 11 pabrik tahu yang beroperasi di Giriharja kerap menghasilkan limbah hingga puluhan ton, setiap harinya.
Jumlah ini didapat dari proses produksi tahu, mulai penggilingan kacang kedelai, hingga di tahap pemasakan dan pencetakan di mana air yang terkandung di adonan terbuang hingga tahu mengeras dengan sendirinya.
“Jadi saat itu ada pihak dari LIPI (sebelum jadi BRIN), yang memiliki program untuk mendaur ulang limbah pekat tahu. Surveinya dimulai tahun 2011, yang dilanjut penelitian melalui alur produksi, mulai dari berapa banyak penggilingan kacang kedelai, kemudian menghasilkan berapa kilo adonan, hingga muncul angka sebanyak 20-25 ton limbah dalam satu hari proses produksi dari 11 pabrik itu. Dari sana kemudian bisa diolah menjadi biogas” kata Asep.
©2023 Nurul Diva Kautsar/Merdeka.com
Setelah IPAL ini dibangun, limbah-limbah itu tidak lagi dialirkan ke sungai, melainkan ke bak penampungan di sekitar reaktor untuk diolah. Setelah IPAL ini dibangun, masyarakat hilir pun disebut sudah tidak melakukan protes.
Pembangunan instalasi tersebut mulanya hanya untuk memurnikan limbah menjadi air jernih, namun dari proses itu ternyata bisa menghasilkan biogas.
“Dari proses pembangunan kemudian terjadilah proses penjernihan limbah, hingga jadi biogas dan air yang dibuang ke Sungai Cileuweung jadi jernih dan tidak berbau.” katanya
Hasilkan Biogas untuk Masyarakat
©2023 Nurul Diva Kautsar/Merdeka.com
Setelah IPAL tersebut berhasil dibangun, limbah-limbah tahu kemudian dikumpulkan di dua buah bak penampungan limbah yang terintegrasi dari 11 pabrik. Kemudian dialirkan ke enam tabung reaktor besar sebagai tempat pemisahan limbah pekat menjadi air yang menghasilkan gas.
Dari sana terdapat satu unit tabung besar yang mengalirkan gas ke rumah-rumah warga. Total luas area IPAL sendiri mencapai 500 meter persegi.
Di tahun 2016, pembangunan IPAL kemudian selesai, dan langsung diserahterimakan kepada masyarakat di sana. Di tahun-tahun itu, masyarakat juga mendapat sosialisasi dari pihak LIPI, termasuk warga yang menjadi pengurus. IPAL tersebut sudah resmi berdiri.
Setelah dilakukan penyerahan, otomatis pengelolaan dilakukan secara penuh oleh warga termasuk memperbaiki segala bentuk kerusakan yang terjadi di mesin dan sarana penunjang biogas ke masyarakat.
“Karena sudah diserahkan kepada kami, maka segala macam bentuk kerusakan kami yang menangani. “ lanjut Asep.
©2023 Nurul Diva Kautsar/Merdeka.com
Untuk saat ini, jumlah pabrik yang masih menyalurkan limbah sebanyak 9 unit. Seluruh hasil biogasnya kemudian disalurkan kepada sebanyak 59 rumah warga di sana. Biogas dialirkan ke dapur-dapur menggunakan pipa besi yang ditanam di dalam tanah.
Masyarakat Terbantu dengan Adanya Biogas
Salah satu warga di Giriharja, Romlah yang mengaku terbantu dengan adanya biogas dari limbah tahu ©2023 Nurul Diva Kautsar/Merdeka.com
Hadirnya IPAL yang menghasilkan biogas ini turut dirasakan manfaatnya oleh warga di RW 05 dusun tersebut. Mereka mengaku terbantu dengan adanya energi alternatif karena harganya yang murah.
Diungkap salah satu warga bernama Rohimah, dirinya bisa menghemat pengeluaran yang sebelumnya dianggarkan untuk membeli gas elpiji. Menurutnya, dalam satu bulan bisa mengeluarkan anggaran hingga Rp50 sampai Rp60 ribu untuk membeli gas melon, namun dengan adanya ini ia hanya mengeluarkan uang iuran bulanan sebesar Rp20 ribu.
“Perbedaannya lumayan sih, lebih irit pakai ini (Biogas). Kalau pakai elpiji kan sebulan itu pengeluarannya bisa Rp50- Rp60 ribu.” katanya
Sebelumnya ia langsung tertarik setelah mendapat sosialisasi dari para pengurus, termasuk tim dari LIPI terkait manfaat biogas untuk keperluan masak sehari-hari.
©2023 Nurul Diva Kautsar/Merdeka.com
Hal yang sama juga dirasakan oleh warga lain bernama Romlah, bahwa ia merasa terbantu dengan adanya biogas ini. Apalagi proses perawatannya mudah, dan akan dibantu oleh pengurus, sehingga untuk peralatan kompor semuanya gratis.
“Kalau disuruh milih ya mending biogas lah, lebih murah, dan ini kalau rusak suka ada perbaikan dari pengurusnya, tapi saya belum pernah rusak sih dari awal kemarin” katanya.
Warga pun berharap agar operasional biogas ini bisa berjalan terus, dan tidak ada kendala dari penyalurannya kepada masyarakat.
Kurang Mendapat Dukungan
©2023 Nurul Diva Kautsar/Merdeka.com
Berhasilnya pengelolaan limbah tahu menjadi biogas, tidak berbanding lurus dengan dukungan pemerintah setempat. Masyarakat di sana merasa kerepotan mengelola IPAL biogas sendirian. Untuk biaya operasional saja, pengelola masih mengeluarkan uang pribadi, lantaran biaya iuran bulanan dirasa masih belum menutupi kebutuhan perawatan.
Mesin-mesin yang digunakan pun sudah semakin tua, termasuk fasilitas pagar dan area setempat yang tampak sudah butuh perbaikan.
Menurut salah satu teknisi, Pepen Supendi, upaya perbaikan harus dilakukan demi kelancaran operasional dari IPAL tersebut. Terlebih area IPAL bisa menjadi salah satu aset pariwisata di Sumedang, sehingga penanganan butuh serius termasuk perhatian dari pemerintah.
“Jadi selama ini belum ada perhatian dari pemerintah setempat, baik pemda, bupati, katanya ini kan aset wilayah Sumedang, nah sementara bangunan yg ada di lokasi, sekarang harus sudah direnovasi.” Terangnya
Teknisi lainnya yang juga menjembatani dengan warga, Lilis Juaningsih menambahkan bahwa IPAL ini sebenarnya bisa dinikmati penuh oleh masyarakat di sini. Namun saat ini masih belum maksimal lantaran faktor pendukungnya yang tidak stabil seperti cuaca dan ketersediaan limbahnya.
Selain itu, kendala lainnya adalah soal kurangnya alat ukur penyaluran gas. Menurut dia alat ini penting karena bisa mengukur keterpakaian biogas yang mengalir ke tiap-tiap rumah, sehingga pembayaran dari warga bisa disesuaikan dengan seberapa banyak yang dipakai.
Saat ini tidak ada perhitungan khusus, sehingga warga dikenakan biaya secara merata, baik yang pemakaian sedikit maupun banyak.
“Saat ini kendala di tiap rumah itu nggak ada meteran bakunya, jadi mau yang pakainya sedikit atau banyak ya biayanya tetap sama. Karena alat penghitungnya mahal, sekitar Rp3 jutaan. Ini juga yang sering dikeluhkan warga karena kadang gasnya tidak keluar, atau kecil” kata Lilis.