Alam Semesta Disebut Ilmuwan Tak Sanggup Serap Karbon
Para ilmuwan menyadari bahwa proses penyerapan karbon mengalami kegagalan yang terjadi lebih cepat daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Selama ini, manusia mengandalkan alam, seperti hutan, untuk menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Hal ini diharapkan dapat membantu mengatur suhu planet serta mengurangi perubahan iklim.
Namun, sebuah studi terbaru mengungkapkan temuan awal yang mengejutkan, bahwa pada tahun 2023 hampir tidak ada karbon dioksida yang diserap oleh alam. Penemuan ini dibahas dalam studi berjudul Low latency carbon budget analysis reveals a large decline of the land carbon sink in 2023.
-
Dimana panas matahari tidak bisa berpindah di luar angkasa? Tetapi, ruang angkasa adalah ruang hampa udara yang dasarnya kosong. Molekul gas di luar angkasa terlalu sedikit dan berjauhan untuk bertabrakan satu sama lain.
-
Apa itu pemanasan global? Pemanasan global, atau yang dikenal dalam bahasa Inggris sebagai global warming, merupakan fenomena peningkatan suhu rata-rata di atmosfer, lautan, dan daratan Bumi secara bertahap.
-
Bagaimana Bumi kehabisan oksigen? 'Kami menemukan deoksigenasi di masa depan adalah konsekuensi yang tak terhindarkan dari peningkatan fluks matahari.'
-
Siapa penyebab efek rumah kaca? Di mana aktivitas manusia menjadi faktor paling besar dalam memproduksi gas-gas yang menimbulkan pemanasan atmosfer.
-
Apa efek rumah kaca itu? Efek rumah kaca adalah proses yang terjadi ketika gas di atmosfer bumi memerangkap panas matahari.
-
Bagaimana kondisi kering Antartika mempengaruhi ilmuwan? Para ilmuwan yang bekerja di Antartika bahkan menyatakan bahwa udara yang sangat kering membuat makanan ringan seperti keripik kentang dan popcorn tidak akan pernah basi. Rambut dan handuk juga dapat kering dengan cepat setelah mandi, dan masalah jamur hampir tidak pernah terjadi.
Berdasarkan informasi dari IFL Science pada Senin (28/10), penelitian tersebut menunjukkan bahwa laju peningkatan emisi karbon dioksida mencapai sekitar 3,37 parts per million (ppm) yang teramati di Mauna Loa, Hawaii pada tahun 2023.
Laju peningkatan ini mencatatkan angka 86 persen lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, emisi karbon dioksida yang berasal dari bahan bakar fosil global hanya meningkat sebesar 0,6 persen.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa hutan dan tanah hampir tidak mampu menyerap karbon, disebabkan oleh jumlah karbon yang dihasilkan jauh lebih tinggi dibandingkan kemampuan alam untuk menyerapnya. Tidak hanya hutan yang terpengaruh, tetapi laut juga menunjukkan tanda-tanda ketidakmampuan dalam menyerap karbondioksida.
Gletser Greenland dan lapisan es Arktik mencair lebih cepat dari yang diperkirakan, yang berdampak pada arus laut Gulf Stream dan memperlambat penyerapan karbon oleh lautan.
Fenomena pencairan es laut ini membuat zooplankton pemakan alga terpapar lebih banyak sinar matahari. Menurut para ilmuwan, perubahan ini dapat menyebabkan zooplankton berada di kedalaman laut lebih lama, sehingga mengganggu migrasi yang berfungsi menyimpan karbon di dasar laut.
Kerusakan siklus serapan karbon pada tahun 2023 seharusnya bersifat sementara, namun tim peneliti menekankan bahwa hal ini menunjukkan kerapuhan ekosistem. Para ilmuwan mengakui bahwa kegagalan penyerapan karbon ini terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan dan tidak ditemukan dalam penelitian sebelumnya.
Oleh karena itu, tujuan nol emisi tidak dapat dicapai hanya dengan mengandalkan alam semata. Tanpa teknologi yang mampu menghilangkan karbon dari atmosfer dalam skala besar, hutan, padang rumput, rawa gambut, dan lautan yang luas di planet Bumi menjadi satu-satunya pilihan untuk menyerap polusi karbon manusia, yang mencapai rekor 37,4 miliar ton pada tahun 2023.
Cekungan Kongo
Menurut peneliti di Laboratorium Ilmu Iklim dan Lingkungan Prancis, hujan tropis utama di cekungan Kongo menjadi satu-satunya hutan yang masih menyerap karbon. Hutan ini memiliki kemampuan untuk menyerap lebih banyak karbon dibandingkan dengan oksigen bersih yang dilepaskannya ke atmosfer.
Keberadaan hutan ini sangat penting, terutama setelah hutan hujan Amazon mengalami kekeringan ekstrem dan penggundulan beberapa waktu lalu. Dengan demikian, hutan Kongo kini berfungsi sebagai salah satu benteng terakhir dalam upaya mitigasi perubahan iklim global.
Pentingnya menjaga dan melestarikan ekosistem hutan tidak bisa diabaikan. Hutan tidak hanya berperan dalam menyerap karbon, tetapi juga berkontribusi pada pemeliharaan biodiversitas dan stabilitas iklim.
Keberlangsungan hutan Kongo sangat krusial untuk mengatasi tantangan perubahan iklim yang semakin meningkat. Oleh karena itu, langkah-langkah untuk melindungi hutan ini harus menjadi prioritas dalam agenda lingkungan global.
Tahun Terpanas dalam Sejarah
Data dari Copernicus Climate Change Service (C3S) menunjukkan bahwa suhu rata-rata global pada tahun 2023 telah mencapai tingkat tertinggi yang pernah tercatat. Hal ini mengakibatkan terjadinya gelombang panas, kekeringan, dan kebakaran hutan yang lebih sering.
Akibatnya, berbagai masalah lingkungan mulai muncul, seperti mencairnya gletser, peningkatan frekuensi kebakaran hutan, dan pemanasan lautan. Dikutip dari Science Direct pada Jumat (25/10/2024), situasi ini mengganggu kemampuan alam dalam menyerap dan menyimpan karbon.
Contohnya, pada hutan, kondisi kekeringan dan kebakaran dapat menyebabkan pelepasan karbon dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan kapasitas hutan untuk menyerapnya. Meskipun demikian, hasil penelitian ini menekankan bahwa belum saatnya untuk menyimpulkan apakah alam benar-benar sudah tidak mampu menyerap karbon.
Penelitian tersebut mengindikasikan bahwa kebakaran hutan yang besar di belahan bumi utara pada tahun 2023 mungkin menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap penurunan kemampuan serapan karbon yang terjadi.