Bantargebang di Titik Nadir
Kapasitas maksimum Bantargebang mencapai 40 juta ton. Seiring berjalannya waktu, produksi sampah terus meningkat. Hingga membuat kapasitas tampung semakin sedikit. Total sampah di Bantargebang berada di angka 30 juta ton. Artinya, kapasitas tersisa 10 juta ton.
Aktivitas di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, sangat sibuk pada Selasa (6/8) siang pekan lalu. Sepuluh truk oranye berlogo Pemprov DKI Jakarta mengantre untuk ditimbang di pos penimbangan.
Ada dua pos di titik penimbangan. Satu pos untuk menimbang truk bermuatan sampah. Pos lainnya, menimbang truk dalam keadaan kosong setelah melakukan pembuangan di sejumlah zona.
-
Apa yang dilakukan Syahrini di Jakarta? Tidak ada perubahan, Syahrini selalu terlihat anggun dan menenangkan sekali.
-
Kenapa Jogja sekarang darurat sampah? Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan masih ditutup dan akan terus berlangsung dalam beberapa hari ke depan.
-
Siapa Jhony Saputra? Merupakan Pengusaha Muda Jhony Saputra, yang disebut sebagai pengusaha muda berkecukupan, menjabat sebagai komisaris utama di PT Jhonlin Argo Raya (JARR), sebuah perusahaan yang tergabung dalam Jhonlin Group milik Haji Isam.
-
Siapa saja yang diarak di Jakarta? Pawai Emas Timnas Indonesia Diarak Keliling Jakarta Lautan suporter mulai dari Kemenpora hingga Bundaran Hotel Indonesia. Mereka antusias mengikuti arak-arakan pemain Timnas
-
Di mana kemacetan parah di Jakarta sering terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
Hari itu, hampir semua truk terlihat dipadati sampah. Bagian bak ditutupi terpal. Tujuannya agar sampah tak beterbangan dan mengotori jalan dilalui.
Satu persatu truk selesai ditimbang naik ke titik buang satu. Lokasinya berada di sisi kiri setelah gerbang penimbangan, agak sedikit menanjak. Truk kemudian berhenti. Bagian bak diarahkan ke tumpukan dan sampah dikeluarkan.
Sementara di gunungan sampah, tiga excavator sudah bekerja sejak pagi. Secara estafet, excavator mengeruk sampah baru dibuang, dipindahkan ke tengah lalu dibawa ke bagian puncak. Di pucuk gunungan, terlihat sejumlah pemulung dengan keranjangnya sudah menunggu sampah yang mungkin bisa dipilah untuk dijual ke pelapak.
"Siang begini memang jam sibuk. Makanya lalu lintas truk cenderung lebih padat," kata Pak Asan, salah satu petugas keamanan di TPST Bantargebang, saat berbincang dengan merdeka.com.
Pria berseragam keamanan itu sudah lama bekerja di Bantargebang. Sejak tempat pembuangan sampah itu dikelola pihak swasta. Namun pada 2016 lalu, Pemprov DKI memutuskan mengambil alih dan mengelola secara mandiri.
Di awal keberadaannya tahun 1989, Bantargebang dengan luas lahan 100 hektare belum dihuni banyak sampah seperti sekarang. Saat ini, lima zona pembagian titik buang sudah dipenuhi gunungan sampah.
Data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, produksi sampah di Jakarta mencapai 7000 ton lebih setiap hari. Semua bermuara ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Kota Bekasi.
Jumlah ini bikin ngeri. Apalagi jika tak ada solusi berarti. Siap-siap saja Bantargebang menutup diri.
"Semua ketinggiannya sudah di atas 25 meter, ada 25 - 40 meter. Itu sudah sangat luar biasa," kata Kepala Unit Tempat Pengelola Sampah Terpadu Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto, saat berbincang dengan merdeka.com, akhir pekan lalu di kantornya.
Asep menambahkan, dengan luasan tersebut, kapasitas maksimum Bantargebang mencapai 40 juta ton. Seiring berjalannya waktu, produksi sampah terus meningkat. Hingga membuat kapasitas tampung semakin sedikit. Total sampah di Bantargebang berada di angka 30 juta ton. Artinya, kapasitas tersisa 10 juta ton.
"Perhitungan kami, kapasitas maksimumnya akan tercapai di 2021," kata Asep.
Jika mengacu pada prediksi tersebut, usia Bantargebang tinggal dua tahun lagi. Namun, kata Asep, hal itu bukan untuk ditakutkan. Semua harus berusaha menyelamatkan Bantargebang, tidak sekadar berpasrah.
"Kita tidak boleh meributkan 2021. yang bisa kami lakukan adalah bagaimana sampah Jakarta masih bisa masuk dengan menata gunungan sampah itu. Pertama, kami melakukan terasering terhadap gunungan sampah, jadi kita jaga bentuk dan kemiringannya supaya tidak terjadi longsor terutama saat musim hujan. Kedua, kita tutupi dengan geomembran, kita tutupi sampah itu kemudian sampah menyusut. Dan gas metan yang kita pakai menjadi energi listrik. Atau kita tutup dengan tanah merah," jelasnya.
"Jadi pelan-pelan, mudah-mudahan kita bisa nambah lagi area buat sampah," sambung Asep
Selain itu, pihaknya juga mulai melakukan landfill mining. Landfill mining itu sendiri dapat dimaknai menambat gunungan sampah lama untuk dikelola menjadi RDF, yaitu refuse deravative fuel, bahan bakar pengganti batubara.
"Jadi kita mulai ngeduke gunungan sampah itu, gunungan sampah kita bongkar, mana yang masih punya nilai jual plastik, besi, segala macamnya kita pisahkan. Kemudian yang sudah membusuk kita jadikan kompos, kemudian yang sudah tidak bisa diapa-apakan lagi kita balikkan ke landfill," katanya.
Di luar upaya itu, katanya, pemerintah tidak berniat memperluas area TPST Bantargebang karena sejumlah hal. Pihaknya memilih fokus mengoptimalkan Bantargebang sambil menunggu pembangunan intermediate treatment facility (ITF) di kawasan Sunter, Jakarta Utara, sekaligus terus mengedukasi masyarakat agar mau memilah sampah.
"Makanya tidak ada niatan memperluas Bantargebang, lebih baik bangun ITF," tutup Asep.
Produksi Sampah Warga Jakarta
Mayoritas sampah dihasilkan warga Jakarta tidak berbeda dengan daerah lainnya. Sampah organik berada di angka 55-60 persen. Saat diambil petugas, sampah dalam keadaan tercampur organik dan nonorganik. Tidak ada proses pemilahan.
"Kesulitan pengelolaan di Jakarta itu adalah sampah tidak pernah berkurang dari tahun ke tahun, justru selalu naik. Kita juga kewalahan," kata Asep.
Pada tahun 2013, sampah Jakarta masuk ke Bantargebang berjumlah 5.600 ton per hari. Lalu meningkat menjadi 5.664 ton pada 2014. Di tahun 2015 menjadi 6.400 ton. Kemudian 2016 menjadi 6.500 ton dan 2017 sebanyak 6.875 ton. Terus meningkat di 2018 menjadi 7.500 ton dan saat ini pertengahan 2019 di angka 7.800.
Terus meningkatnya produksi sampah di Jakarta sayangnya tak dibarengi dengan pengelolaan maksimal. Masyarakat belum teredukasi secara baik manfaat pilah sampah. Sampah bernilai ekonomis seperti plastik atau wadah makanan justru digabungkan dengan sampah rumah tangga. Kondisi tersebut membuat nilai jual sampah plastik menjadi hilang. Akhirnya, semua berakhir di Bantargebang.
Misalnya di RT 02, Kelurahan Kebon Melati, Kecamatan Tanah Abang. Sebelum tahun 2000-an, kampung ini jauh lebih bersih. Bahkan sampah daun hampir tak ada. Warga menjaga agar lingkungan hunian mereka bebas dari sampah.
"Dulu itu ada pemilahan sampah di tiap rumah. Masyarakat sadar pentingnya mengurus sampah. Ada rumah kompos di setiap RW, ada bak sampah juga diletakkan hampir di setiap rumah," kata Agung selaku wakil RT 02, saat ditemui akhir pekan lalu.
Kala itu, Agung menceritakan, kepedulian warga terhadap sampah sampai berbuah penghargaan. Yakni Piala Adipura, Piala Gubernur, dan beberapa lainnya. Sayang, keberhasilan itu tidak melecut semangat warga terus menjaga kebersihan.
"Udah bikin kerja bakti tapi gak ada yang partisipasi, kan susah juga untuk jaga tetap bersih. Kesadaran masyarakat tetap ada, tapi udah berkurang daripada dulu ketika saya masih kecil," jelas Agung.
Sebanyak 30-40 kepala keluarga tinggal di RT 02. Setiap rumah menghasilkan sampah dalam 10-15 plastik kantong ukuran sedang per hari. Semuanya dalam kondisi tercampur. Artinya, jika dikalikan dengan jumlah rumah, maka total sampah dari RT 02 mencapai 300 – 600 plastik.
"Kebanyakan sampahnya ya sampah dapur bekas pada masak, ada juga bungkus-bungkus koran, ada juga emang plastik," tutur Agung.
Ratusan kantong sampah diangkut setiap hari dan dibuang ke tempat pembuangan sementara di dekat tempat tinggal mereka. Kemudian dilakukan pemilihan organik dan nonorganik sebelum akhirnya dibawa truk sampah menuju Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. Biasanya, truk datang setiap dua sampai tiga kali dalam sepekan.
"Kita biasanya iuran sampah rata-rata Rp 10.000-25.000," katanya.
Hunian mewah Pulomas Residence, di kawasan Jakarta Timur, juga tak luput dari persoalan sampah. 10 Kubik sampah dihasilkan dari 200 unit rumah dua lantai setiap harinya. Mayoritas, sampah dapur sisa memasak.
Para penghuni sudah memiliki kesadaran untuk memisah sampah dapur dengan sampah nonorganik agar mempermudah pengolahan selanjutnya. Khusus sampah daun, dikelola menjadi kompos. Sampah warga diangkut pihak vendor untuk dikirim Bantargebang.
"Tiap rumah udah misahin sampah, baru habis itu sama vendor diambil dan diolah. Tapi sampah daun bisa jadi kompos, nah itu kita pakai untuk tanam pohon- pohon di sini," kata Ketua Pengelola Lingkungan Pulomas Residence, Sugeng.
Kondisi tak jauh berbeda juga dilakukan Apartemen Taman Rasuna. Pihak manajemen menyerahkan pengangkutan sampah ke CV Kencana Agung. Petugas vendor mengangkut 10-12 kubik dari 3.065 unit apartemen setiap harinya.
"Biasanya satu hari bisa 10 sampai 12 kubik sampah, itu dari seluruh tower yang ada di apartemen ini," ungkap Ilham HR, selaku Senior Staff Housekeeping Apartemen Taman Rasuna saat berbincang dengan merdeka.com.
Mayoritas sampah diangkut petugas vendor dalam keadaan tercampur. Hanya sedikit penghuni memilih sampah organik dan nonorganik. Alasannya, mereka sudah membayar iuran untuk keberishan.
"Jarang penghuni sini yang misahin sampah sendiri, tapi semuanya sudah meletakkan sampah di plastik-plastik sampah jadi pengumpulannya mudah," jelas Ilham.
Namun begitu, Ilham menambahkan, di antara ribuan penghuni ada beberapa orang tergerak membuat bank sampah di kompleks apartemen. "Penghuni tersebut menjadi aktivis bank sampah yang datang ke Apartemen Taman Rasuna setiap Rabu dan Minggu untuk mengambil sampah non-organik," kata dia.
Berbenah Diri dengan Pilah Sampah
Jumlah fantastis sampah yang dihasilkan ini sebenarnya bisa dikurangi, asalkan membudayakan pilah sampah dari sumbernya.
"Kami sangat menggencarkan agar masyarakat mau pilah sampah, karena sumbernya adalah masyarakat enggan pilah sampah," kata Kepala Unit Tempat Pengelola Sampah Terpadu Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto, saat berbincang dengan merdeka.com, akhir pekan lalu di kantornya.
Sayangnya, sampah organik itu dicampur dengan sampah non-organik seperti plastik hingga botol yang sebenarnya masih punya nilai ekonomis untuk dijual. Asalkan keadaanya layak, tidak kotor oleh sisa makanan.
"Saat bercampur, kemudian sampah organik membusuk, maka sampah nonorganik tidak memiliki nilai jual dan menjadi sampah, tidak lagi memiliki nilai ekonomis," jelas Asep.
Padahal, katanya, banyak sekali industri membutuhkan sampah daur ulang. Andai kata dilakukan pemilahan akan berdampak pada sampah Jakarta dibuang ke Bantargebang lebih sedikit.
"Pengusaha daur ulang bilang sampah Jakarta itu gak kepilah. Mereka bilang je saya, cobalah Bapak minta warga Bapak untuk pilah sampah, kalau bisa di rumah tangga, pasti sampah plastik saya ambil, hidup recycle saya," tuturnya.
Mengingat persoalan sampah kian meresahkan, Asep mengaku terus berupaya mengedukasi masyarakat agar mau memilah sampah. Salah satu caranya, dengan membentuk Lembaga Pengolah Sampah (LPS) yang ada sampai tingkat RW.
"Jadi nantinya LPS ini yang akan mengedukasi warganya untuk melakukan pengolahan sampah di kawasannya atau lingkungannya masin-masing" jelasnya.
Saat ini, terdapat 22 RW percontohan yang melakukan pilah sampah di masing-masing rumah. Tentu jumlahnya sangat sedikit, mengingat terdapat ribuan RW di Jakarta.
Cara lainnya, kata Asep, sesuai instruksi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, telah dibuat program Kegiatan Strategis Daerah (KSD) untuk menanggulangi masalah sampah. KSD meliputi pengurangan sampah dari sumber, optimalisasi TPS di Bantar Gebang, dan pembangunan ITF.
"Kita konsen merealisasikan tiga KSD tersebut. Harapannya di 2021, kalau pola itu semua sudah terbangun, maka kita tidak lagi mengirim sampah ke Bantar Gebang seperti sekarang ini, yang dikirim hanya residu-residu," ungkap pria berkacamata ini.
Asep berharap peran serta masyarakat menanggulangi masalah sampah. Tanpa kerja sama dari masyarakat, sulit sekali mendapat sampah sudah terpilah.
"Kalau bisa mengurangi sampah di sumber, maka yang kirim sampah ke Bantar Gebang pun maka otomatis berkurang. Jadi kita memang lagi sangat concern ke arah sana, kalau kita mau memperpanjang usia Bantar Gebang, itu yang kita lakukan," jelas Asep.
"Karena Pak Gubernur ingin 2020 pengolahan sampah di Jakarta mulai terlihat berubah," tutup Asep.
Baca juga:
Indonesia Diimbau Tiru Singapura dan Jepang Soal Pengelolaan Sampah
13 Tahun Tertunda, Anggaran Saringan Sampah Disetujui Rp197 Miliar
ITF Sunter Bakal Rampung 2022, Jakarta Tak Lagi Bergantung pada TPST Bantargebang
Pemprov DKI Adopsi Saringan Sampah Otomatis dari Australia
Pemprov DKI Punya 3 Terobosan Jitu Atasi Ketergantungan pada TPST Bantargebang
Sempat Viral, Begini Kondisi Tumpukan Sampah di Kolong Tol Wiyoto-Wiyono
DPRD DKI Pangkas Anggaran Tenaga Ahli Pengelolaan ITF dari Rp10 M menjadi Rp6 M