Ini alasan Kejagung banyak kasus temui jalan buntu
"Kehadiran saksi dan korban untuk beri keterangan berkualitas tentu jadi kebutuhan utama yang harus kita wujudkan."
Jaksa Agung M Prasetyo mengakui lambannya pengungkapan sebuah kasus lantaran adanya intervensi terhadap saksi dan korban. Sebab, keduanya kerapkali mendapat ancaman dari pihak-pihak tertentu.
"Seringkali dilakukan upaya mengungkap pidana menemui jalan buntu karena saksi dan korban nggak bisa beri keterangan secara bebas," ujar Prasetyo di Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (19/4).
Menurut dia, modus tindak pidana saat ini berkembang secara masif dan sistematis. Sehingga, keberadaan saksi atau pun korban sangat diperlukan untuk mengungkap sebuah tindak pidana.
"Kehadiran saksi dan korban untuk beri keterangan berkualitas tentu jadi kebutuhan utama yang harus kita wujudkan," ujarnya.
Lebih lanjut, Prasetyo mengapresiasi langkah pemerintah membentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Mengingat, pengungkapan sebuah kasus perlindungan terhadap para saksi atau pun korban sangat diperlukan.
"Untuk memberikan jaminan perlindungan yang seimbang bagi korban dan pelapor, saksi ahli dan saksi pelaku baik menyangkut keselamatan dirinya, keluarganya, maupun harta bendanya," pungkas Prasetyo.
Ada enam poin yang dicantumkan dalam nota kesepakatan tersebut. Berikut isi nota kesepakatan antara Kejagung dan LPSK.
Pada poin pertama, setiap saksi atau korban tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, pelanggaran HAM berat, pencucian uang serta tindak pidana lainnya berhak mendapat perlindungan dari ancaman yang membahayakan jiwa dari saksi dan korban itu sendiri.
Kedua, Kejagung harus memberikan perlindungan terhadap pelapor (informan whistleblower) dan saksi termasuk korban yang dijadikan saksi saat diminta keterangan dalam proses peradilan.
Ketiga, pelaksanaan perlindungan yang meliputi layanan bantuan pemenuhan hak korban dalam proses mendapatkan ganti kerugian dalam wujud ganti rugi atau restitusi dari pihak pelaku atau kompensasi dalam bentuk ganti rugi (restitusi) yang tidak dapat dipenuhi oleh pelaku, atau bantuan medis dan psikologi serta psikososial yang diberikan oleh negara.
Kemudian, Kejagung harus memberi bantuan hukum dan tindakan hukum lainnya baik di bidang perdata dan Tata Usaha Negara bagi setiap aktivitas perlindungan saksi dan korban.
Selanjutnya, Kejagung diminta meningkatkan kapasitas kelembagaan dalam aktivitas perlindungan saksi dan korban. Sementara pas poin terakhir, Kejagung juga harus memberikan perlindungan terhadap kegiatan saksi atau korban sesuai kesepakatan.
Nota kesepakatan ini berlaku sampai lima tahun ke depan. Hanya saja, nota kesepakatan ini dapat diperpanjang sesuai pertimbangan dari kedua belah pihak.