Taktik Taufik kurangi kewajiban pengembang di proyek reklamasi
Taufik berkelit dan membantah melobi Kepala Bappeda untuk menurunkan angka kewajiban pengembang.
Kamis (31/3) malam sekitar pukul 20.00 WIB, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiba-tiba menyambangi gedung DPRD DKI Jakarta. Aksi penyidik bersamaan dengan tertangkapnya anggota DPRD DKI Jakarta M. Sanusi saat menerima suap dari perantara perusahaan properti ternama di tanah air, PT Agung Podomoro Land. Penyidik memasang garis KPK berwarna merah hitam. Dua ruangan disegel yakni ruang Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik yang berada di lantai 9 dan ruangan Komisi D.
Bukan tanpa alasan KPK menggeledah kemudian menyegel ruangan M Taufik. Kakak kandung Sanusi itu diduga terlibat dalam pusaran kasus suap yang juga menjerat Presiden Direktur Agung Podomoro Ariesman Widjaja sebagai tersangka.
-
Bagaimana KPK mengembangkan kasus suap dana hibah Pemprov Jatim? Pengembangan itu pun juga telah masuk dalam tahap penyidikan oleh sebab itu penyidik melakukan upaya penggeledahan. "Penggeledahan kan salah satu giat di penyidikan untuk melengkapi alat Bukti," ujar Alex.
-
Apa yang jadi dugaan kasus KPK? Pemeriksaan atas dugaan pemotongan dan penerimaan uang, dalam hal ini dana insentif ASN Bupati Sidoarji Ahmad Muhdlor Ali diperiksa KPK terkait kasus dugaan pemotongan dan penerimaan uang, dalam hal ini dana insentif ASN di lingkungan BPPD Pemkab Sidoarjo.
-
Kapan Atang Sendjaja meninggal? Pada 29 Juli di tahun itu menjadi hari duka bagi AURI.
-
Kapan kasus pungli di rutan KPK terungkap? Kasus tersebut rupanya dilakukan secara terstruktur oleh salah satu mantan pegawai KPK bernama Hengki. Di saat yang bersamaan, penyidik KPK yang juga mengusut kasus pungli tersebut telah mengumumkan Hengki sebagai tersangka.
-
Kapan P.K. Ojong meninggal? Sebulan kemudian, Ojong meninggal dunia pada 31 Mei 1980.
-
Kapan Adi Suryanto meninggal? Kabar duka datang dari salah satu instansi pemerintah, Lembaga Administrasi Negara (LAN). Kepala LAN, Prof Dr. Adi Suryanto, meninggal dunia di Yogyakarta pada Jumat (15/12).
Dugaan keterlibatan itu terungkap setelah Kepala Bappeda, Tuty Kusumawati membeberkan pembahasan rapat raperda zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) dan raperda tata ruang strategis Jakarta Utara dengan Badan Legislasi Daerah (Balegda) pada 8 Maret 2016.
Saat itu Bappeda disodorkan kertas yang berisi usulan penyelarasan pasal raperda tata ruang kawasan strategi pantai utara Jakarta. Salah satu usulan dari Balegda pada Bab XII Pasal 110 ayat 5 huruf c soal kontribusi pengembang di mana semula kewajibannya 15 persen dari NJOP diberikan kepada Pemprov DKI, diusulkan diubah menjadi hanya 5 persen saja. Kewajiban 15 persen rupanya memberatkan pengusaha.
"15 Persen kali NJOP kali saleable area (lahan yang bisa dijual) itu rumusan tambahan kontribusi yang diusulkan oleh pihak eksekutif, lalu kemudian dari pihak Balegda mengusulkan tidak demikian," kata Tuty
Dalam rapat perdana itu hadir Ketua Balegda M Taufik dan beberapa anggota sekretaris dewan. Taufik yang menyerahkan kertas usulan itu. DPRD meminta penghitungannya diubah sesuai pengertian mereka. Jika usulan itu dikabulkan maka nilai kewajiban pengembang jauh lebih rendah dibanding usulan Pemprov.
Tuty kemudian menyampaikan kertas usulan dari DPRD itu pada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa Ahok. Ahok langsung naik pitam. Dalam kertas usulan yang diterima dari Tuty, Ahok menuliskan pesan berisi: Gila kalau seperti ini bisa pidana korupsi.
Setelah usulan awal itu ditolak, Balegda dan Bappeda kembali bertemu. Selain Taufik, hadir pula ketua fraksi di DPRD. Dari pengakuan Tuty, usulan pasal itu dibahas lagi. Namun Pemprov DKI tetap menolak. Pemprov DKI bertahan pada kewajiban pengembang sebesar 15 persen.
Ahok membeberkan perjalanan panjang pengusulan perubahan kewajiban pengembang sampai terjadilah negosiasi dengan DPRD DKI hingga kasus suap yang melibatkan pengembang ternama Agung Podomoro Land dan anggota DPRD DKI M Sanusi. Awalnya, dalam Keppres no 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, pengembang hanya berkewajiban memberikan kontribusi sebesar 5 persen.
Kontribusi itu dimaksudkan untuk membangun Jakarta dan daerah sekitar reklamasi. Menurut Ahok, kewajiban ini terlalu ringan, sehingga kewajiban itu diubah melalui raperda dan ditetapkan angka 15 persen.
"Mulai dari mewajibkan seluruh pulau reklamasi dibuat sertifikat hak pengelolaan (HPL) atas nama DKI, fasilitas umum dan fasilitas sosial harus kasi 40-50 persen, dan setiap tanah yang mereka jual, hak guna bangunan dan hak pengelolaan yang mereka jual, maka DKI dapat 15 persen dari NJOP. Dalam bentuk apa? Bisa bentuknya jalan inspeksi, buat bangun rusun, jembatan dan macam macam," jelas Ahok.
Ahok menduga kewajiban 15 persen ini yang berat dipenuhi pengembang. Dia tahu upaya yang dilakukan pihak pengusaha dan DPRD menurunkan angka kewajiban yang harus dipenuhi. Ahok bergeming karena mengaku takut dipenjara.
"Saya pengen 5 persen itu tanah DKI, 15 persen penjualan itu buat bangun apartemen. Supaya karyawan karyawan pegawai pegawai tukang bersih yang tinggal di pulau, pulau itu jangan diisi orang kaya dong. Kan masih ada sopir, pekerja-pekerja pembantu tinggal di mana? Masa mesti datang dari Bekasi Depok?" jelas Ahok.
Mantan Bupati Belitung Timur ini juga mengaku mendapat laporan upaya Balegda melobi Sekda dan Kepala Bappeda Pemprov DKI. Merasa DPRD mencoba mencari celah, Ahok langsung mengeluarkan ancaman pada anak buahnya. Dia mengancam akan mempersoalkan anak buahnya yang menurunkan angka kewajiban pengembang.
"Berarti korupsi, ada deal, lalu mereka bilang bagaimana kalau enggak disetujui engga mau putuskan gimana? Enggak usah diterusin, emang saya pikirin, sampai ganti DPRD 2019 saja kalau mereka engga mau putuskan," tegasnya.
Taufik berkelit dan membantah melobi Kepala Bappeda untuk menurunkan angka kewajiban pengembang. "Enggak ada. Karena apa? Tambahan kontribusi itu enggak ada aturannya. Enggak ada di Perda (simulasi kontribusi pengembang). Baca dulu yang betul. Jangan dengar dari orang," kata Taufik di DPRD DKI, Senin (4/4).
Politikus Gerindra itu mengaku, sejak awal DPRD tidak ada mempermasalahkan besaran kewajiban pengembang menyediakan 15 persen NJOP kontribusi kepada Pemrov DKI. Yang dipermasalahkan legislatif, lanjutnya, hanya masalah perizinan.
"Pergub kan bisa berubah. Kita tanya kepastiannya. Kalau mau, saya kira lebih tegas aja di Perda bunyiin (simulasi kontribusi pengembang). Kan Di perda kan enggak ada bunyinya persentasenya. Ada simulasi yang disampaikan eksekutif, ini kalau ngambil di sini, ke sini ngambil dari sini begini. Kita tanya rasionalitasnya kayak apa," paparnya.
Baca juga:
Hari ini KPK periksa Sanusi saksi tersangka bos Agung Podomoro
Cerita Ahok murka dua kali coret usulan DPRD DKI
Kasus reklamasi, KPK bakal panggil Fauzi Bowo dan Ahok
Fadli Zon sebut Prabowo sangat kecewa Sanusi ditangkap KPK
Sepak terjang Aguan di bisnis properti Tanah Air