Dekat dengan Rakyat, Ini Kisah Soemitro Kolopaking saat Jadi Bupati Banjarnegara
Pada tahun 1926, Soemitro diangkat menjadi Bupati Banjarnegara menggantikan ayahnya. Soemitro terkenal dengan Bupati Banjarnegara tiga zaman, yaitu zaman kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, dan masa Republik Indonesia.
Sepulang dari pengembaraannya keliling Eropa, pada tahun 1915 Soemitro Kolopaking Poerbonegoro pulang ke tanah air dengan membawa segudang pengalaman. Di tanah air, ia kemudian masuk sekolah kepolisian dan bertugas sebagai seorang polisi di Kota Bandung.
Pada tahun 1926, Soemitro diangkat menjadi Bupati Banjarnegara menggantikan ayahnya. Soemitro terkenal dengan Bupati Banjarnegara tiga zaman, yaitu zaman kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, dan masa Republik Indonesia.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Beji Sirah Keteng dibangun? Mengutip Instagram @purbosasongko_dalang, Situs Beji Sirah Keteng dibangun pada masa pemerintahan Raja Sri Jayawarsa.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Bagaimana cara membuat Jenang Saren? Mengutip Kemdikbud.go.id, bahan utama yang digunakan untuk membuat jenang saren adalah tepung ketan dan gula jawa.
-
Kenapa Candi Jago dibangun? Sejarah Candi Jago dibangun atas inisiasi Raja Kertanegara untuk menghormati mendiang sang ayah, Raja Sri Jaya Wisnuaedhana (1248-1268).
-
Bagaimana cara membuat kue jipang? Berasnya dimasukkan ke situ,” ungkap pemilik kanal YouTube Brent Sastro sembari menunjuk sebuah alat pemanas yang dihubungkan ke gas elpiji. Di sebelahnya, tampak sebuah wajan berisi air gula yang dicampur minyak sedang dipanaskan.
Selama menjabat sebagai Bupati, Soemitro dikenal dekat dengan rakyat, khususnya warga Banjarnegara yang tinggal di pedesaan. Lantas bagaimana kisah Soemitro saat menjadi Bupati Banjarnegara?
Turun ke Desa-Desa
©Cagarbudayambanjar.id
Pada waktu itu, Kabupaten Banjarnegara terbagi atas 250 desa dan 50 penatusan. Sebagai bupati, Soemitro membina hubungan baik dengan desa-desa dan menciptakan rasa persaudaraan. Bahkan sering kali ia mengadakan kunjungan pribadi yang sifatnya sangat rahasia. Penduduk yang dikunjungi secara pribadi biasanya dipilih dari setiap penatusan sebanyak 1-3 orang.
Karena sifatnya rahasia, Soemitro berpakaian sederhana dalam kunjungan itu. Datang tanpa menyertakan pengawal, dia ke rumah warga dengan berjalan kaki sejauh 5-10 km dengan membawa sedikit oleh-oleh seperti kue, tempe keripik, dan lain-lain.
Dilansir dari Cagarbudayambanjar.id, kunjungan itu selalu mengejutkan sehingga banyak orang berdatangan untuk melihat wajah bupatinya. Dalam kunjungan itu, Soemitro tidak banyak bicara melainkan mendengar laporan-laporan tidak resmi dari mulut rakyatnya.
Perintis Kerajinan Keramik di Banjarnegara
©Cagarbudayambanjar.id
Di samping dekat dengan rakyat, Soemitro ternyata seorang juru penerang pertanian yang berhasil. Bahkan dia menjadi perintis kerajinan keramik di Banjarnegara. Waktu menjadi bupati, ia berhasil menemukan sebuah desa yang memiliki tanah liat yang bagus untuk kerajinan. Ia kemudian memeriksakan tanah liat itu ke Bandung dan meminta penjelasan lengkap tentang kemungkinan pemanfaatannya.
Pada tahun 1933, Prof. van Vollenhaven, Guru Besar Universitas Leiden, Belanda, berkunjung ke Banjarnegara dan menemui Soemitro. Prof. van Vollenhaven merupakan salah satu sosok idola Soemitro dan juga mendapat julukan Bapak Ilmu Hukum Adat di Indonesia. Dalam perbincangan itu, Prof. van Vollenhaven menyampaikan pesan yang isinya ternyata tak jauh berbeda dengan apa yang pernah dinasehatkan oleh orang tua Soemitro.
Pada waktu itu, van Vollenhaven berpesan agar tidak terlalu mendewakan pangkat yang tinggi, tak terlalu bangga dengan trah kebangsawanannya, dan tidak mengejar popularitas kosong. Pada April tahun 1933, sang Guru Besar itu meninggal dunia setelah memberikan pesan-pesan terakhir pada Soemitro.
Falsafah Hidup Soemitro
©Cagarbudayabanjar.id
Menurut Soemitro, kehidupan manusia itu seperti hukum spiral, kadang naik kadang turun. Oleh karena itu, ia berpesan bahwa setiap orang hendaknya belajar sendiri dengan cara mengamati sesuatu yang terjadi di sekitarnya.
Baginya, belajar tidak selalu pada guru saja, melainkan juga pada petani, maupun “wong cilik” yang tinggal di pedesaan. Selain itu menurutnya tolong-menolong merupakan kewajiban hidup seseorang.
Dalam hal ini dia selalu memegang ucapan ucapan Dr. dms. Albert Schweiter dan Rabindranath Tagore sebagai berikut:
“Kalau saat dalam kesulitan hidup saya ditolong dengan kerelaan hati oleh orang lain, wajiblah seumur hidup saya ingat akan kebaikan itu. Kalau saya mendapat kesempatan untuk menolong orang lain yang berada dalam kesengsaraan, janganlah saya membicarakan jasaku itu, bahkan saya harus cepat-cepat melupakannya. Mengapa? Sebab bantuan itu tidak lain dan tidak bukan adalah suatu kewajiban hidup.”