Potret Kehidupan di Probolinggo pada Zaman Kerajaan, Perbatasan Dua Kerajaan Besar yang Jadi Lokasi Perang Saudara
Seiring perkembangan politik kenegaraan/kekuasaan pada zaman Kerajaan Majapahit, pemerintahan di Banger mengalami perubahan.
Daerah ini dulunya hanya padukuhan kecil.
Potret Kehidupan di Probolinggo pada Zaman Kerajaan, Perbatasan Dua Kerajaan Besar yang Jadi Lokasi Perang Saudara
Pada zaman kerajaan, Kabupaten Probolinggo masih berupa padukuhan kecil bernama Banger. Seiring berjalannya waktu, daerah yang merupakan kawasan perbatasan dua kerajaan besar ini berkembang pesat.
-
Dimana pertempuran terjadi? Pertempuran demi pertempuran pun bergejolak di mana-mana. Tentara Indonesia yang sebagian besar terdiri dari orang pribumi ini berjuang keras demi mempertahankan kemerdekaan dan tanah kelahiran mereka. Salah satu peristiwa penting yang tak lekang oleh waktu adalah Pertempuran Lima Hari Lima Malam yang terjadi di Kota Palembang, Sumatra Selatan.
-
Apa kerja sama Pajajaran dan Portugis? Bentuk kerja sama itu antara lain, Portugis diizinkan membangun benteng di wilayah Kalapa. Pajajaran memberikan 1.000 karung lada, yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang dibawa oleh kapal-kapal Portugis dari luar negeri.
-
Di mana pertempuran Palagan Ambarawa terjadi? Pertempuran ini merembet ke berbagai tempat, salah satunya di Ambarawa. Di sana, pertempuran terjadi begitu sengit yang hingga sekarang dikenal dengan nama pertempuran Palagan Ambarawa.
-
Dimana perang Belasting terjadi? Perang Belasting yang berlangsung di Kamang ini kemudian disebut juga dengan peristiwa Perang Kamang yang terjadi sekira tahun 1908.
-
Dimana perang terjadi menurut Moro Kogoya? Moro membenarkan bahwa perang itu terjadi di kawasan Mulia, Puncak Jaya, Papua.
Sejarah
Pada zaman Pemerintahan Prabu Radjasanagara (Sri Nata Hayam Wuruk), raja Majapahit yang ke IV (1350-1389), Probolinggo dikenal dengan nama Banger. Saat itu, Banger merupakan pedukuhan kecil di bawah pemerintahan Akuwu di Sukodono. Nama Banger dikenal dari buku Negarakertagama karangan Mpu Prapanca, pujangga Kerajaan Majapahit yang terkenal.
Seiring perkembangan politik kenegaraan/kekuasaan pada zaman Kerajaan Majapahit, pemerintahan di Banger mengalami perubahan. Awalnya merupakan pedukuhan kecil di muara sungai Banger, kemudian berkembang manjadi Pakuwon yang dipimpin seorang Akuwu, di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit.Lokasi Perang Saudara
Pada saat Bre Wirabumi (Minakjinggo), Raja Blambangan berkuasa, Banger yang merupakan kawasan perbatasan antara Majapahit dan Blambangan juga dikuasai oleh Prabu Wikramawardhana (Majapahit). Bahkan Banger menjadi lokasi perang saudara antara Bre Wirabumi (Blambangan) dengan Prabu Wikramawardhana (Majapahit) yang dikenal dengan “Perang Paregreg”.
Sejarah ProbolinggoMasa Kolonialisme
Pada tahun 1743 penguasa lokal menyerahkan Banger kepada VOC. Pada tahun 1746 VOC mengangkat Kiai Djojolelono sebagai Bupati Pertama Banger, dengan gelar Tumenggung. Kabupatennya terletak di Desa Kebonsari Kulon.
Kompeni menerapkan politik adu domba untuk memengaruhi Kiai Djojolelono agar membunuh Panembahan Semeru, Patih Tengger, keturunan Untung Suropati yang juga memusuhi kompeni. Panembahan Semeru akhirnya terbunuh oleh Kiai Djojolelono. Setelah menyadari kekhilafannya akibat terbuai politik adu domba kompeni, Kiai Djojolelono menyesali tindakannya. Apalagi ia mewarisi darah ayahnya yang menentang keras kompeni. Sebagai tanda sikap permusuhannya terhadap kompeni, Kiai Djojolelono meninggalkan istana dan jabatannya sebagai Bupati Banger pada tahun 1768.
Pemimpin Favorit Rakyat
Mengutip setwan.probolinggokota.go.id, kompeni mengangkat bupati baru untuk memimpin Banger. Mereka memilih Raden Tumenggung Djojonegoro, putra Raden Tumenggung Tjondronegoro, Bupati Surabaya ke-10. Kompeni lagi-lagi pakai politik adu domba. Alhasil, Kiai Djojolelono yang tetap memusuhi kompeni ditangkap oleh Tumenggung Djojonegoro. Jenazah bupati pertama Banger itu dimakamkan di pasarean Sentono yang dianggap masyarakat sebagai makam keramat.
Di bawah pimpinan Tumenggung Djojonegoro, daerah Banger semakin makmur, penduduk bertambah banyak. Ia juga mendirikan Masjid Jami’. Ia mendapat sebutan Kanjeng Djimat karena sangat disenangi masyarakat.Pada tahun 1770, Kanjeng Djimat mengganti nama Banger o menjadi “Probolinggo” (Probo : sinar, linggo tugu, badan, tanda peringatan, tongkat). Dengan demikian, Probolinggo diartikan sebagai sinar yang berbentuk tugu, gada, tongkat. Setelah wafat, Kanjeng Djimat dimakamkan di pasarean belakang Masjid Jami’.