Kisah Gedung Karesidenan Banten yang Bergaya Kerajaan Belanda, Saksi Bisu Runtuhnya Pemerintahan Sultan
Dari bangunan megah berbentuk kerajaan Belanda ini dapat dilihat perubahan pemerintahan Banten dari kesultanan menjadi karesidenan.
Dari bangunan megah berbentuk kerajaan Belanda ini dapat dilihat perubahan pemerintahan Banten dari kesultanan menjadi karesidenan.
Kisah Gedung Karesidenan Banten yang Bergaya Kerajaan Belanda, Saksi Bisu Runtuhnya Pemerintahan Sultan
Tidak banyak bangunan kuno peninggalan masa kolonial yang bisa bertahan hingga sekarang. Sebagian besar gedung tua itu runtuh atau berganti menjadi tempat baru, sehingga nilai sejarahnya hilang. Namun hal ini tidak berlaku bagi gedung Karesidenan Banten di Kota Serang.
Memiliki gaya khas kerajaan Belanda, gedung ini masih bertahan sejak pertama kali didirikan pada 1822. Tak banyak yang berubah dari bangunan bercat putih megah ini. Renovasi hanya dilakukan sebagai perbaikan ringan, tanpa mengubah bentuk asli bangunan.
-
Bagaimana Kesultanan Banten dibangun? Dari hasil pajak cukai barang-barang yang diperjual belikan mampu membuat kota itu berdaulat dan mendorong lahirnya Kesultanan Banten lewat kepemimpinan Sultan Maulana Hasanudin.
-
Siapa pendiri Kerajaan Banten? Walau sebagai peletak pondasi berdirinya Kerajaan Banten, namun Sunan Gunung Jati diketahui tak pernah menjadi raja di sana hingga wafatnya.
-
Apa pusat peradaban Kerajaan Banten? Pada masanya dulu, Banten merupakan salah satu pusat peradaban Islam di Pulau Jawa.
-
Kapan Kerajaan Banten didirikan? Setelah wilayah Banten dan sebagian Jawa Barat berhasil dikuasai Demak, Sultan Trenggono lantas menjadikan Syarif Hidayatullah untuk mendirikan kerajaan bercorak Islam di tanah Banten pada 1527.
-
Dimana letak kerajaan kuno Banten Girang? Kerajaan itu letaknya berada di hulu teluk Banten.
-
Apa yang dibangun Sultan Hasanuddin di Banten? Agar misi penyebaran agama Islam bisa berjalan maksimal, maka Sultan Hasanuddin mendirikan sebuah masjid yang ternyata bukan sekedar sebagai tempat salat dan berdakwah, namun juga simbol kerukunan dan keberagaman di Banten.
Taman di sekitar gedung juga dipelihara agar suasana sejuk dan hijau bisa terus terjaga. Pemeliharaan gedung secara rutin dilakukan oleh pihak terkait.
Kabarnya, gedung ini menjadi saksi bisu runtuhnya pemerintahan Sultan Banten yang kemudian berganti menjadi pemerintahan khas Eropa kolonial bernama karesidenan. Bagamaimana kisahnya? Berikut informasinya.
Bermula dari Kemunduran Kerajaan Banten
Merujuk laman Kemdikbud, tanda-tanda kemunduran Kerajaan Banten sebenarnya sudah terlihat sejak abad ke-17.
(Foto: Kemdikbud)
Kala itu, pemerintahannya dipegang oleh Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa.
Sayangnya, kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa justru dikacaukan oleh sang anak yang bernama Sayyidi Syaikh Maulana Masyuruddin. Ia berambisi untuk menduduki takhta kerajaan Banten untuk segera menggantikan sang ayah.
Namun, cara yang dilakukan adalah bekerja sama dengan VOC dan Inggris sehingga menimbulkan perpecahan.
Dalam buku “Sultan Ageng Tirtajasa: Musuh Besar Kompeni Belanda” disebutkan bahwa Sayyidi Syaikh Maulana Masyuruddin berhasil merebut kursi kerajaan setelah menggempur pasukan ayahnya.
Ia dipersenjatai Inggris dan Belanda, kemudian berhasil naik takhta dan mendapat gelar nama Sultan Abu Nashar Abdul Qahar atau lebih dikenal sebagai Sultan Haji.
Sultan Haji rupanya juga memantik perang saudara di lingkungan istana, dengan kemenangan mutlak karena persenjataan yang modern dan bekingan pemerintah kolonial.
Penandatanganan kerja sama dengan Belanda dan Inggris dilakukan pada 17 April 1684. Saat itu Kesultanan Banten yang sebelumnya berdaulat otomatis runtuh karena dimonopoli VOC.
(Foto: Reruntuhan Keraton Surosowan)
Kerajaan Banten Dilawan Rakyatnya Sendiri
Harapan kemerdekaan Kesultanan Banten setelah Belanda ikut campur harus kandas.
(Foto: Ruang Utama Keraton Surosowan/Wikipedia)
Rupanya perang saudara & kepemimpinan Sultan Haji juga menjadi sasaran empuk kolonial.
Upaya pecah belah terus dijalankan Belanda sampai tahun 1700-an. Pergantian kepemimpinan ini juga gagal mengembalikan kondisi menjadi lebih baik. Sampai muncul rasa tidak puas dari masyarakat dan memunculkan perlawanan dari rakyat.
Upaya kedaulatan kemudian kembali diupayakan oleh pemerintahan Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin atau Sultan Ishaq. Di masa ini, ia mencoba memberontak dan menolak arahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di tahun 1804, Herman Willem Daendels.
Ketika itu, Daendels akan membangun jalan raya pos dari Anyer sampai Panarukan di Situbondo, Jawa Timur. Namun permintaan pembebasan lahan tidah dituruti, hingga raja Banten tersebut diculik dan diasingkan ke Batavia.
Pada 1808, pemerintah Belanda mengumumkan bahwa Banten secara penuh jatuh kepada Belanda dan Keraton Surosowan juga dihancurkan sebagai pusat pemerintahan.
Runtuhnya Keraton Surosowan
Kekacauan politik masih berlanjut, terutama setelah masuknya Inggris yang menduduki sebagian wilayah pulau Jawa. Belanda terpaksa mundur usai pemerintahan dipegang oleh Inggris.
Saat itu Kerajaan Banten terus dipertahankan melalui sultan-sultan selanjutnya, namun hanya mampu bertahan hingga tahun 1813.
Pemerintahan Inggris yang memiliki kuasa lantas berhasil menguasai Banten beserta pelabuhannya sebagai pusat ekonomi.
Di saat yang bersamaan, Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles memerintahkan pasukannya untuk melucuti sultan Banten yang berkuasa yakni Muhammad Bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin.
Seketika kerajaan Banten runtuh, dan pemerintahan kemudian menggunakan sistem kolonial yakni Karesidenan Banten yang menaungi asisten-asisten residen di wilayah-wilayah serupa kabupaten dan kota saat ini.
“Jadi terbentuknya Karesidenan Banten ini semacam lembaga pemerintah, yang sekarang setara dengan provinsi,” ucap Arkeolog Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah VIII, Juliardi, mengutip YouTube Pemprov Banten.
Dibangunnya Gedung Karesidenan Banten yang Bergaya Kerajaan Belanda
Tahun 1814 jadi titik awal perubahan status wilayah Banten, dari yang sebelumnya kerajaan menjadi karesidenan.
Untuk itu, pemerintahan Belanda lantas menyiapkan skema pemerintahan baru dengan mendirikan gedung khusus yang megah.
Letak gedung ini sejak awal berada di sekitar Alun-Alun Kota Serang, dan dirancang secara megah untuk mengatur pemeritahan pada 1822. Desain bangunannya juga megah dan tinggi menjulang khas kerajaan Belanda.
Ciri ini ditandai dengan berdirinya delapan pilar besar di halaman depan untuk menopang bagian atap. Kemudian jendela dan pintunya juga bergaya khas kolonial yang juga tinggi menjulang, dan berdaun ganda.
Saat ini, gedung berbentuk persegi panjang yang menghadap ke timur tersebut difungsikan sebagai gedung negara untuk pertemuan pemerintah setempat dengan tamu-tamu penting.
“Gedung ini melalui pemerintahannya saat ini membawahi asisten residen yang saat ini setingkat dengan kabupaten,” terang Juliardi lagi.
Jacobus de Bruin Diangkat Sebagai Pemimpin Karesidenan Banten Pertama
Setelah Banten memulai dengan sistem pemerintahan baru, Gubernur Jenderal Hindia Belanda langsung menetapkan pemimpin karesidenan yang pertama di Banten yakni Jacobus de Bruin.
Dari catatan yang ada, Jacobus hanya memimpin selama satu tahun yakni dimulai pada 1817 sampai 1818. Jacobus kemudian membawahi sejumlah asisten residen atau kabupaten di Banten seperti Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.
“Saat itu salah satu asisten residen yang sangat terkenal adalah Eduard Douwes Dekker atau Multatuli,” kata Juliardi.
Keindahan gedung sebenarnya dapat dilihat juga dari bentuk atap limasan, dengan lantai berbentuk marmer yang sejak awal tidak pernah diganti. Di kanan dan kiri terdapat rumah-rumah kecil yang diperkirakan sebagai kantor-kantor divisi dari karesidenan tersebut.
Gaya The Empire Style atau Kerajaan Belanda ini semakin kuat dengan keberadaan ruangan mirip penjara di sisi belakang gedung.
Gedung ini kemudian menjadi salah satu saksi sejarah peralihan pemerintahan kerajaan Banten yang berasaskan Islam menjadi pemerintahan kolonial yang berlandaskan hukum kenegaraan.