Jadi Simbol Toleransi, Ini 4 Pesona GPIB Magelang yang Sudah Berusia 2 Abad
Di pusat Kota Magelang, berdirilah sebuah bangunan megah. Dengan arsitektur bergaya Eropa, sekilas bangunan itu terlihat seperti istana atau kastil. Namun sebenarnya bangunan itu adalah sebuah gereja. Didirikan sejak era kolonial, kini gereja itu telah berusia 2 abad.
Di pusat Kota Magelang, Jawa Tengah, berdirilah sebuah bangunan megah. Letaknya tak jauh dari alun-alun kota. Dengan arsitektur bergaya Eropa, sekilas bangunan itu terlihat seperti istana atau kastil. Namun sebenarnya bangunan itu adalah sebuah gereja. Berdiri tahun 1817, bangunan itu merupakan tempat peribadatan umat Kristen Protestan yang dikenal dengan nama Gereja GPIB Beth-El Magelang.
Dilansir dari Pendekartidar.org, sejak awal pembangunannya GPIB Magelang memang sudah dirancang sebagai satu kesatuan tata ruang dan tata kota yang dibangun tak jauh dari alun-alun. Masih di kawasan alun-alun yang tak jauh dari gereja itu, berdiri pula bangunan Gereja Katolik, Masjid Agung, dan Klenteng.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Beji Sirah Keteng dibangun? Mengutip Instagram @purbosasongko_dalang, Situs Beji Sirah Keteng dibangun pada masa pemerintahan Raja Sri Jayawarsa.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Bagaimana cara membuat Jenang Saren? Mengutip Kemdikbud.go.id, bahan utama yang digunakan untuk membuat jenang saren adalah tepung ketan dan gula jawa.
-
Kenapa Candi Jago dibangun? Sejarah Candi Jago dibangun atas inisiasi Raja Kertanegara untuk menghormati mendiang sang ayah, Raja Sri Jaya Wisnuaedhana (1248-1268).
-
Bagaimana cara membuat kue jipang? Berasnya dimasukkan ke situ,” ungkap pemilik kanal YouTube Brent Sastro sembari menunjuk sebuah alat pemanas yang dihubungkan ke gas elpiji. Di sebelahnya, tampak sebuah wajan berisi air gula yang dicampur minyak sedang dipanaskan.
Bersama bangunan tempat peribadatan lainnya, GPIB menjadi simbol toleransi, terutama di tengah masyarakat Magelang. Lantas seperti apa kisah toleransi yang mewarnai perjalanan gereja itu? Berikut selengkapnya:
Simbol Toleransi Umat Beragama
©Pendekartidar.org
Bersama tiga tempat ibadah lainnya yang ada di sekitar Alun-Alun Magelang, Gereja GPIB Magelang menjadi simbol toleransi umat beragama. Dilansir dari Pendekartidar.org, adanya empat tempat peribadatan yang berdiri saling berdampingan ini menandakan bahwa para perancang kota saat dua abad silam sudah menyadari arti penting pluralisme, sehingga melalui tata ruang kotanya menanamkan pesan yang sangat kuat untuk bertoleransi antar umat beragama.
Selain itu, Gereja GPIB Magelang juga sudah menjadi ikon kota yang telah menjadi milik bersama semua warga kota tanpa memandang agama dan keyakinan. Oleh karena itu pelestarian bangunan warisan kolonial itu juga menjadi tanggung jawab bersama.
Terbuka untuk Umum
©Pendekartidar.org
Pada Oktober 2017, gereja ini genap berusia dua abad. Perayaan dua abad Gereja GPIB Magelang diadakan dengan mengusung misi pelestarian spirit kebersamaan dalam harmoni dan toleransi. Perayaan itu juga dikonsep dengan membuka gereja pada kalangan masyarakat yang lebih luas.
Tak hanya bagi umat Kristen, gereja dibuka untuk umum pada 22-27 Oktober 2017. Tak hanya itu, merekapun berkesempatan mempelajari secara lebih mendalam bangunan gereja itu. Salah satu yang meramaikan acara itu adalah Komunitas Kota Toea Magelang dan menjalin kerja sama dengan pengurus gereja.
Makna di Balik Arsitektur Gereja
©Pendekartidar.org
Dalam acara bertajuk “Jelajah Arsitektur Bangunan GPIB Magelang”, para peserta diajak berkeliling bangunan gereja dengan dipandu ahli arsitektur Ir. Priyo Pratikno, M.T dan membedah tiap bagian gereja secara tuntas.
Di samping ciri bangunan tinggi menjulang yang menyimbolkan perantara interaksi manusia dengan Tuhan, di sisi samping bangunan gereja itu juga dilengkapi dengan beberapa relung jendela besar yang dihiasi dengan ornamen kaca patri yang melukiskan berbagai fase perjalanan kerasulan Yesus.
Selain itu di sisi kiri kanan jendela terdapat ornamen berbentuk buah pala yang merupakan komoditas rempah utama. Karena komoditas pala inilah titik awal penyebaran ajaran Kristen di Nusantara yang diinisiasi oleh Bangsa Portugis.
Bentuk Interaksi antar Umat Beragama
©Pendekartidar.org
Tak hanya mengeksplorasi sisi luar, dalam kesempatan itu peserta juga berkesempatan masuk ke ruang utama di dalam gereja. Dalam sebuah pesan singkat, salah seorang pengurus gereja mengungkapkan bahwa setelah sekian lama warga Magelang hidup berdampingan, hampir tak pernah mereka saling bertegur sapa. Harapannya melalui peringatan dua abad GPIB Magelang, bisa terjalin saling sapa yang lebih intens antar umat beragama.
“Tahun ini di GPIB, tahun depan di Masjid Agung, kemudian di Klenteng, lalu di Gereja Katolik, dan seterusnya. Harapannya keberadaan bangunan-bangunan itu tak hanya menjadi tempat ibadah para penganutnya masing-masing, namun juga bisa menjadi jembatan perekat umat dan masyarakat menuju persaudaraan yang sejati,” kata salah seorang pengurus GPIB itu, dikutip dari Pendekartidar.org pada 23 Oktober 2017.