Nasib Perajin Desa Wisata Gamplong, Alami Pasang Surut Usaha
Pada masanya, Desa Gamplong terkenal akan kerajinan tenunnya. Banyak pengunjung dari luar daerah datang ke sana untuk membeli hasil kerajinan warga setempat. Namun dalam dua tahun belakangan ini usaha kerajinan warga Gamplong mengalami masa-masa sulit.
Desa Gamplong merupakan desanya para perajin tenun. Keberadaan para perajin tenun di Gamplong sudah diakui sejak zaman Belanda. Pada awalnya, mereka menenun bagor. Bahkan waktu itu bagor mereka gunakan untuk pakaian.
“Makanya pada zaman Jepang itu sangat menindas sekali. Pakaian saja pakai bagor,” kata Giyono (50), ketua paguyuban usaha “Tegar” yang anggotanya adalah para perajin tenun di Desa Gamplong, Kecamatan Moyudan, Sleman.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Apa itu Jaran Kepang? Asal usul Jaran Kepang adalah salah satu seni pertunjukan yang berkembang di berbagai daerah di Jawa, termasuk Malang.
-
Kenapa publik jadi perhatian sama kabar Jeanneta? Jeanne jadi perhatian publik gara-gara kabar cerai ini.
-
Bagaimana bentuk Jurig Jarian? Mulai dari perempuan berambut panjang, sosok bertubuh tinggi dan besar sampai yang menyerupai tuyul karena ukurannya yang kecil dan berkepala botak.
-
Kenapa berita hoaks ini beredar? Beredar sebuah tangkapan layar judul berita yang berisi Menteri Amerika Serikat menyebut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bodoh usai Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 diserang hacker beredar di media sosial.
Paguyuban perajin tenun “Tegar” didirikan pada tahun 2001. Pada awalnya, pendirian kelompok itu bertujuan untuk menyamakan harga antar perajin.
Pada masa jayanya, banyak orang yang menyukai produksi kerajinan tenun para perajin Desa Gamplong. Maka tahun 2004, Dinas Pariwisata Sleman menetapkan Gamplong jadi desa wisata.
“Waktu itu kami belum tahu desa wisata itu seperti apa. Masak seperti ini dibilang wisata. Setahu saya wisata itu seperti Borobudur, Prambanan, dan lain-lain,” lanjutnya.
Sempat Mengalami Krisis
©Merdeka.com/Shani Rasyid
Giyono mengatakan, dari 53 usaha kerajinan tenun di Gamplong, 21 di antaranya bergabung dengan Paguyuban Tegar. Berdasarkan catatan pihak Bank Rakyat Indonesia (BRI), Paguyuban Tegar merupakan salah satu kelompok binaan BRI.
Terkait dengan hubungannya dengan BRI, Giyono mengaku pernah meminjam uang Rp10 juta pada tahun 2005. Pinjaman itu ia bayarkan dalam jangka waktu 3 tahun.
Ia menilai saat ini usaha kerajinan tenun di Gamplong sedang mengalami masa krisis. Pengunjungnya tak sebanyak dulu. Begitu pula barang kerajinan yang diekspor menurutnya mengalami penurunan.
“Soalnya sejak ada Perang Rusia-Ukraina banyak ekspor berhenti. Jadi kalau menurut perkiraan ini karena ada embargo, ekspor terganggu,” ujarnya.
Untuk menghadapi krisis tersebut, Giyono mengakui para perajin harus menyesuaikan diri dengan zaman, misalnya dengan berjualan online. Namun dari diskusi yang dilakukan dengan sesama paguyuban, ia mengatakan sepertinya masalah tersebut belum teratasi.
“Kalau di sini yang muda-muda bisa berjualan secara online. Mereka tahu strategi pemasaran. Lebih mengetahui dari pada kami yang sudah tua,” kata Giyono.
Diekspor ke Luar Negeri
©Merdeka.com/Shani Rasyid
Sementara itu perajin tenun lainnya, Haryati (43), mengatakan bahwa pada awalnya orang tuanya menekuni kerajinan tenun stagen. Namun sejak krisis moneter, harga bahan baku naik sementara harga kain stagen menurun. Makanya keluarganya kemudian beralih ke perajin serat alam.
Di tempat Haryati, berbagai kerajinan seperti tas, mainan, tikar, maupun kerajinan lain dibuat dari serat alam. Beberapa serat alam yang digunakan antara lain mendong tua, batang enceng gondok, bambu, mendong kering, dan akar wangi. Hasil kerajinannya banyak diekspor ke luar negeri. Di samping itu banyak pula yang dibawa ke toko-toko kerajinan tangan baik yang berada di Yogyakarta, Bali, maupun kota-kota lainnya.
Dalam dua tahun belakangan, penjualan hasil kerajinan tenun di tempatnya menurun. Dalam sebulan, ia memperoleh omzet kotor sebanyak Rp10-15 juta. Padahal pada awal masa pandemi, omzet penghasilannya itu bisa dua kali lipat.
©Merdeka.com/Shani Rasyid
Dalam beroperasi, Haryati dibantu dua pegawai harian. Sementara sisanya merupakan pegawai borongan. Berbeda dengan pegawai harian, pegawai borongan bekerja saat permintaan barang meningkat.
Saat masa pandemi COVID-19, banyak anak muda yang menganggur bekerja untuknya. Waktu itu orderannya banyak. Untuk memenuhi kebutuhan orderan dia mempekerjakan para pemuda setempat. Dengan sabar Haryati mengajari mereka cara menenun dari nol.
“Mereka aku bayar harian dan targetnya bisa menyelesaikan enam kain. Tapi biasanya mereka hanya bisa dapat dua atau tiga. Lumayan, belajar-belajar gitu pokoknya dari nol. Tapi Alhamdulillah tetap bisa mencukupi,” ungkap Haryati.