Peristiwa 21 Mei: Tragedi Trisakti Lengserkan Pemerintahan Soeharto
Turunnya pemerintahan Soeharto pada peristiwa 21 Mei ini mempunyai alur kejadian yang penting untuk diketahui. Di mana sebelumnya, sudah terjadi beberapa kerusuhan di sejumlah daerah yaitu pada 13 Mei 1998.
Peristiwa 21 Mei 1998 merupakan salah satu peristiwa sejarah yang masih membekas bagi masyarakat Indonesia hingga kini. Di mana pada hari itu, Soeharto menyatakan mundur dari jabatan Presiden setelah puluhan tahun. Mundurnya Presiden Soeharto ini tidak lain berasal dari ribuan mahasiswa yang menuntut perubahan reformasi untuk pemerintahan yang lebih baik.
Turunnya pemerintahan Soeharto pada peristiwa 21 Mei ini mempunyai alur kejadian yang penting untuk diketahui. Di mana sebelumnya, sudah terjadi beberapa kerusuhan di sejumlah daerah yaitu pada 13 Mei 1998. Bukan hanya itu, sehari sebelum itu, terdapat korban mahasiswa Trisakti yang tertembak peluru aparat saat menyampaikan tuntutan.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kenapa bantuan pangan diberikan di Jateng? “Bantuan ini sebagai bentuk kepedulian dan perhatian pemerintah kepada masyarakat. Hingga saat ini masih banyak masyarakat yang masih membutuhkan,” kata Nana.
-
Siapa yang mengingatkan masyarakat untuk tetap waspada terhadap bencana kekeringan di Jateng? Namun Pak Suharyanto mengingatkan masyarakat bahwa meski tidak ada dampak El Niño, namun bencana kekeringan di Jawa Tengah masih mungkin terjadi, sehingga tetap perlu waspada.
-
Siapa yang menerima bantuan pangan di Jateng? Ada sebanyak 3.583.000 keluarga penerima manfaat di Jawa Tengah yang bakal menerima bantuan tersebut.
-
Bagaimana warga Jateng merayakan kemenangan Timnas Indonesia? Setelah pertandingan selesai, mereka larut dalam euforia. Beberapa warga menyalakan kembang api untuk merayakan kemenangan bersejarah itu.
Sebagai salah satu peristiwa bersejarah, penting bagi masyarakat Indonesia untuk mengetahui apa yang terjadi pada masa 21 Mei 1998. Seperti apa kondisi saat itu, hingga demonstrasi yang dilakukan harus menelan nyawa ratusan orang. Dengan mengetahui hal ini, tentu dapat meningkatkan sikap persatuan bagi rakyat untuk terus menjalankan demokrasi dengan baik guna mencapai kehidupan yang sejahtera.
Dengan peristiwa 21 Mei 1998 ini perlu disadari bahwa generasi muda bangsa Indonesia mampu menciptakan perubahan besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Bukan hanya itu, bahwa persatuan bangsa Indonesia juga terus dibutuhkan untuk melawan berbagai ketidakadilan yang terjadi.
Dilansir dari Liputan6.com, berikut kami merangkum sejarah peristiwa 21 Mei 1998 yang perlu Anda ketahui.
Kerusuhan Sebelum 21 Mei 1998
©REUTERS
Sebelum terjadinya peristiwa 21 Mei 1998, sebelumnya telah terjadi kerusuhan di sejumlah kota di Indonesia, yaitu pada 13 Mei 1998. Saat itu, Presiden Soeharto sedang berada di Kairo, Mesir untuk melaksanakan kunjungan. Dan sehari sebelumnya, sebanyak 4 mahasiswa Universitas Trisakti telah meregang nyawa akibat tembakan aparat saat melakukan demonstrasi.
Setelah kejadian itu, kemarahan mahasiswa dengan Orde Baru kian memuncak. Kemudian mereka berencana kembali melakukan demo. Untuk mewujudkan rencana ini, mahasiswa Trisakti menggelar mimbar bebas untuk menyampaikan orasi dan tuntutan. Ribuan orang pun keluar masuk di area kampus maupun di luar kampus.
Ternyata menjelang siang, massa di luar kampus kian tidak terkendali. Sebagian dari massa mencegat mobil dan sepeda motor. Bukan hanya itu, mereka juga merusak dan membakarnya. Di titik lain, sekelompok massa juga datang menuju SPBU di Jalan Kiai Tapa. Massa ini juga melakukan pembakaran hingga suasana mencekam pun tidak dapat dihindarkan.
Peristiwa pembakaran tersebut menjadi pemicu munculnya kerusuhan di seluruh Jakarta. Kemudian pada 14 Mei 1998, yaitu keesokan harinya terjadi penjarahan di beberapa pusat perbelanjaan di Jabodetabek. Beberapa bangunan pun dirusak dan dibakar sehingga kondisi kota Jakarta saat itu semakin menakutkan.
Dua Golongan Pelaku Kerusuhan
Terjadinya kerusuhan sebelum peristiwa 21 Mei 1998, berdasarkan penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dilaporkan bahwa titik awal kerusuhan yang menjadi pemicu terletak di Jakarta Barat, yaitu di wilayah seputar Universitas Trisakti.
Selain itu, TGPF juga menyatakan bahwa terdapat dua golongan yang menjadi pelaku kerusuhan. Pertama adalah massa pasif yang berhasil diprovokasi sehingga menjadi massa aktif. Sedangkan yang kedua adalah provokator yaitu sekelompok orang yang tidak berasal dari wilayah setempat, namun secara fisik telah terlatih. Sebagian memakai seragam sekolah seadanya, tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar.
Dalam hal ini, kelompok provokator ini membawa dan menyiapkan sejumlah barang yang diperlukan untuk merusak dan membakar. Seperti logam pendongkel, bahan bakar cari, kendaraan, bom Molotov, dan sebagainya.
Adanya Kebencian Rasial
©2018 Merdeka.com/liputan6.com
Kerusuhan yang terjadi sebelum peristiwa 21 Mei 1998, juga bernuansa rasial. Dalam hal ini warga etnis Tinghoa menjadi sasaran perusakan saat terjadinya kerusuhan. Bukan hanya itu, sejumlah kasus kekerasan seksual juga dialami oleh perempuan Tionghoa.
Menurut laporan TGPF yang saat itu dipimpin oleh Marzuki Darusman, mendengar kesaksian langsung dari 3 korban pemerkosaan. Sekitar 10 kesaksian dari keluarga korban juga memperkuat fakta yang ada. Selain itu, TGPF juga menemukan variasi jumlah dari korban tewas dan luka-luka. Data Tim Relawan 1.190 orang meninggal akibat terbakar atau dibakar, 27 orang akibat senjata/dan lainnya, 91 luka-luka, data Polda 451 orang meninggal, korban luka-luka tidak tercatat.
Soeharto Berusaha Membentuk Komite Reformasi
Setelah terjadinya kerusuhan sebelum peristiwa 21 Mei 1998, Presiden Soeharto saat itu berusaha membentuk Komite Reformasi untuk menjawab tuntutan mahasiswa. Sehari sebelumnya, yaitu pada 20 Mei 1998, Soeharto mengundang 9 tokoh ke Istana. Mereka adalah Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Nucholish Madjid, Ali Yafie, Malik Fadjar, Cholil Baidowi, Sumarsono, Achmad Bagdja, dan Ma'aruf Amin. Yusril Ihza Mahendra juga hadir, meski tak diundang, karena diajak Nurcholish.
Pembentukan Komite Reformasi ini dimaksudkan berdampingan dengan Kabinet Reformasi yang akan dibentuk. Namun ternyata 9 tokoh yang diundang untuk menjadi anggota Komite Reformasi tidak bersedia dengan ajakan yang diminta Presiden Soeharto. Kemudian Soeharto meminta Nurcholis untuk menjadi ketua, namun ia tidak bersedia. Lalu Soeharto menawarkan dirinya untuk menjadi anggota, tetapi Cak Nur, panggilan akrabnya, tetap tidak mau. Setelah itu, Soeharto berpikir bahwa sudah saatnya untuk mundur, ketika orang moderat seperti Cak Nur sudah tidak lagi mempercayainya.
Para Menteri Tidak Bersedia
Liputan6 ©2021 Merdeka.com
Sebelum peristiwa 21 Mei di mana Soeharto menyatakan mundur dari pemerintahan, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita menyampaikan ke Wakil Presiden BJ Habibie melalui telepon, bahwa dirinya dan 13 menteri lain tak bersedia duduk di Kabinet Reformasi. Saat itu, Ginandjar dan menteri lain yang disebutkan menjabat di Kabinet Pembangunan VII yang segera habis masa tugasnya.
Tidak lama setelah itu, Habibie menemui Soeharto berencana untuk menyusun Kabinet Reformasi yang akan diumumkan keesokan harinya. Saat itu, Habibie diberitahu, bahwa Soeharto akan memanggil pimpinan DPR/MPR pada 23 Mei. Pada pertemuan itu, dikabarkan bahwa Soeharto berencana untuk mengundurkan diri sebagai Presiden.
Mundurnya Presiden Soeharto
Habibie pun mengontak Menteri Sekretaris Negara, Saadillah Mursjid, untuk meminta jadwal bertemu dan berbicara dengan Soeharto. Tetapi, ternyata Soeharto menolak pertemuan tersebut, di mana saat itu Saadillah mengatakan bahwa Seoharto akan mengumumkan pengunduran diri pada 21 Mei pagi, bukan 23 Mei seperti yang direncanakan.
Kemudian peristiwa 21 Mei 1998 yaitu mundurnya Soeharto dari kursi Presiden pun terjadi.
Pernyataan pengunduran diri tersebut dilakukan di Ruang Credential Istana Merdeka pada pukul 09.00 WIB. Dalam pidato pengunduran diri tersebut, Soeharto menyatakan "Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi. Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik."