22 Oktober 1939 Wafatnya Hamengkubuwana VIII, Sultan Visioner yang Peduli Pendidikan
Kematian Hamengkubuwana VIII menjadi kehilangan besar bagi masyarakat Yogyakarta yang telah merasakan berbagai perubahan positif selama masa pemerintahannya.
Tanggal 22 Oktober 1939, masyarakat Yogyakarta secara khusus berduka atas wafatnya Sri Sultan Hamengkubuwana VIII. Sebagai raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah dari tahun 1921 hingga 1939, Hamengkubuwana VIII dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan visioner. Ia memainkan peran penting dalam menjaga kestabilan politik dan memajukan kebudayaan Jawa selama masa pemerintahannya, yang merupakan masa transisi ketika pengaruh kolonial Belanda masih kuat di Indonesia.
Hamengkubuwana VIII juga dikenal atas berbagai kebijakan progresifnya yang membantu membawa perubahan di wilayah Yogyakarta. Di bawah kepemimpinannya, berbagai upaya modernisasi dilakukan, termasuk dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Ia mendirikan berbagai sekolah dan rumah sakit, serta memperluas pembangunan jalan dan sarana publik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakannya tidak hanya memperkuat Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa, tetapi juga menjadikannya salah satu daerah yang berkembang pesat di Nusantara pada masa itu.
-
Apa yang diikrarkan oleh para pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928? Hasilnya yakni berupa ikrar yang diberi nama Sumpah Pemuda.
-
Siapa yang wafat pada 4 November 1954? Tepat hari ini, 4 November pada tahun 1954 silam, Haji Agus Salim meninggal dunia.
-
Apa yang dilakukan Fatmawati saat mendengar teriakan "Belum Ada Bendera!" pada 17 Agustus 1945? Fatmawati kembali ke kamar tidur. Dia mengambil bendera merah putih yang pertama kali dijahitnya sekitar setahun lalu.
-
Apa yang terjadi dalam peristiwa Tebing Tinggi 13 Desember 1945? Pertempuran ini berlangsung hingga 14 Desember 1945. Kondisi Tebing Tinggi pun mencekam, sunyi, tanpa ada kehidupan. Hanya terdapat orang-orang Cina saja di sana.
-
Kapan Fatmawati menjahit bendera merah putih yang dikibarkan pada 17 Agustus 1945? Kondisinya sedang hamil tua, karena itu sudah tidak boleh lagi menggunakan mesin jahit kaki.
-
Apa yang dibentuk pada tanggal 6 Maret 1902? Klub sepakbola Real Madrid telah memainkan pertandingan kandang di Stadion Santiago Bernabéu yang berkapasitas 85.454 di pusat kota Madrid sejak tahun 1947.
Kematian Hamengkubuwana VIII menjadi kehilangan besar bagi masyarakat Yogyakarta, yang telah merasakan berbagai perubahan positif selama masa pemerintahannya. Dengan meninggalnya Sultan, Kesultanan Yogyakarta memasuki masa pergantian kepemimpinan yang penuh tantangan, terutama di tengah situasi politik yang semakin dinamis di Hindia Belanda menjelang Perang Dunia II. Berikut kisah hidup Sultan Hamengkubuwana VIII yang wafat pada hari ini, 22 Oktober, tahun 1939 silam.
Jalan yang Berliku untuk Menjadi Sultan
Sultan Hamengkubuwana VIII lahir para 3 Maret 1880 dengan nama Gusti Raden Mas (GRM) Sujadi. Ia merupakan putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas. Setelah dewasa, GRM Sujadi bergelar Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puruboyo yang kelak dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.
Perjalanan GPH. Puruboyo sebagai penerus tahta Kasultanan Ngayogyakarta memiliki jalan yang panjang. Awalnya, Sri Sultan Hamengkubuwono VII telah mengangkat putra sulung GKR Hemas, GRM Akhadiyat, sebagai putra mahkota. Akan tetapi, tidak lama setelah dinobatkan sebagai putra mahkota, GRM Akhadiyat sakit hingga meninggal dunia.
Sri Sultan Hamengkubuwono VII kemudian mengangkat GRM Pratistha sebagai pengganti putera mahkota sebelumnya. Putra mahkota kedua yang juga bergelar Adipati Juminah ini di kemudian hari gelarnya dicabut karena alasan kesehatan. Posisi putra mahkota untuk yang ketiga kali kemudian jatuh kepada GRM Putro. Nasib baik tidak berpihak kepada GRM Putro yang juga meninggal dunia akibat sakit keras.
Akhirnya, pilihan Sri Sultan Hamengkubuwono VII untuk didudukkan sebagai mahkota jatuh kepada GPH Puruboyo. Tahun 1920 GPH. Puruboyo sedang menempuh studi di Belanda, ketika sang ayahanda Sri Sultan Hamengkubuwono VII mengungkapkan niat untuk lengser keprabon. Mendengar hal ini, Residen Jonquire yang menjadi wakil pemerintah Belanda di Yogyakarta, mengusulkan kepada Gubernur Jenderal van Limburg Stirum agar upaya pergantian tahta dipercepat.
- Peristiwa 6 Agustus 1717: Kelahiran Hamengku Buwono I, Arsitek Kerajaan dan Raja Pertama Kesultanan Yogyakarta
- Sri Sultan Hamengkubuwono X Apresiasi Bulog Atas Bantuan Pangan di Yogyakarta
- Istana soal Jokowi Gowes Bareng AHY dan Temui Sri Sultan HB X: Biasa Presiden Bertemu Tokoh Politik
- Jadwal Kampanye Capres-Cawapres 22 Januari 2024: Prabowo ke DIY, Gibran Keliling Jateng
Dikarenakan posisi GPH. Puruboyo masih di Belanda, maka van Limburg Stirum yang menyetujui gagasan tadi memerintahkan Jonquire agar mendesak Sri Sultan Hamengkubuwono VII untuk segera memanggil pulang GPH Puruboyo melalui telegram.
Sri Sultan Hamengkubuwono VII menyetujui usulan tersebut dan mengirimkan telegram pada awal November 1920. Di dalam telegram itu Sri Sultan Hamengkubuwono VII menyampaikan agar Gusti Puruboyo jangan terlalu lama di Eropa karena para putera dan puteri, kerabat dan abdi dalem sudah menanti-nanti kepulangan beliau.
Setelah GPH Puruboyo setuju untuk pulang ke Yogyakarta dan dijadikan pengganti ayahandanya, Sri Sultan Hamengkubuwono VII memutuskan untuk lereh keprabon (turun tahta) dan beristirahat di Pesanggrahan Ambarukmo. Pada tanggal 8 Februari 1921, GPH Puruboyo kemudian dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.
Sultan Yogyakarta yang Visioner dan Peduli Pendidikan
Pada masa Hamengkubuwono VIII, Kesultanan Yogyakarta mempunyai banyak dana yang dipakai untuk berbagai kegiatan termasuk membiayai sekolah-sekolah kesultanan. Putra-putra Hamengkubuwono VIII banyak disekolahkan hingga perguruan tinggi, banyak diantaranya di Belanda. Salah satunya adalah GRM Dorojatun, yang kelak bertakhta dengan gelar Hamengkubuwono IX, yang bersekolah di Universitas Leiden.
Seperti ayahnya, ia mengharuskan putra-putrinya untuk menempuh pendidikan formal setinggi mungkin, bahkan hingga ke Negeri Belanda. Sekolah-sekolah, organisasi dan munculnya aktivis juga banyak berkembang di masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Sekolah Taman Siswa Nasional (berdiri 3 Juli 1922), Organisasi Politik Katholik Jawi (1923) dan Kongres Perempuan (1929) adalah contoh-contohnya. Perhatian beliau di dunia kesehatan juga sangat besar, misalnya dengan mendukung pengadaan ambulans untuk Rumah Sakit Onder de Bogen (saat ini: Panti Rapih).
Selain itu, Sri Sultan Hamengkubuwono VIII juga banyak mengadakan perombakan/rehabilitasi bangunan. Bangsal Pagelaran, Tratag Siti Hinggil, Gerbang Danapratapa dan Masjid Gede adalah beberapa bangunan yang ia perbaiki. Ia juga merupakan salah satu orang pertama dari kalangan politikus papan atas Kota Yogyakarta yang mendukung perjuangan Kh. Ahmad Dahlan dalam pembentukan Muhammadiyah sebagai bentuk loyalitasnya pada Islam.
Di dalam lingkungan keluarganya sendiri, Sri Sultan Hamengkubuwono VIII juga banyak melakukan terobosan. Hal tersebut terjadi bahkan semenjak sebelum menjadi Sultan. Salah satunya adalah dengan “menitipkan” anak-anaknya di luar lingkungan keraton. Dalam buku Sri Sultan: Hari-Hari Hamengku Buwono IX (1988) dikisahkan bahwa putra Sultan, Dorojatun (kelak menjadi Sultan Hamengkubuwana IX) sedari masih berusia 4 tahun telah dititipkan kepada keluarga Mulder, seorang Belanda yang menjabat kepala sekolah Neutrale Hollands Javaanse Jongens School.
Tidak ada inang atau pengasuh yang menjaga. Pangeran kecil itu dituntut untuk hidup mandiri dan merasakan hidup sebagaimana kebanyakan masyarakat pada umumnya. Pengalaman anak-anak sultan saat hidup di luar keraton akan menjadi bekal berharga. Jauh dari fasilitas dalam keraton yang serba dilayani akan memberikan dampak positif anak-anak sultan. Tidak hidup bersama keluarga keraton juga memberikan sudut pandang lain tentang kehidupan luar keraton secara langsung.
Dari anak-anak sultan inilah nantinya akan menjadi penerus kekuasaan Kasultanan Yogyakarta, dan sultan sudah mempersiapkan sejak dini tentang arti hidup di luar keraton agar dapat lebih berwawasan luas. Lebih jauh lagi, pada masa sebelum kemerdekaan, Kasultanan Yogyakarta berada dalam bayang-bayang Belanda. Dari upaya inilah nantinya penerus sultan akan memahami bagaimana watak dan prilaku orang Belanda sehingga memudahkan untuk mengambil kebijakan maupun sikap terhadap Belanda.
Keberhasilan Sultan Hamengkubuwana VIII dapat dilihat saat Dorojatun diangkat menjadi raja dan melontarkan pernyataan “Al heb ik een uitgespriken Westerse opvoeding gehad, toch ben en blijf ik in de allereeste plaats Javaan” (Walau saya telah mengenyam pendidikan Barat, toh pertama-tama saya adalah tetap orang Jawa). Dari ungkapan tersebut dapat diidentifikasi bahwa Sultan Hamengkubuwana IX siap memimpin Yogyakarta berbekal pendidikannya, juga mencerminkan jatidiri serta visinya yang nasionalis.
Wafat pada 22 Oktober 1939
Sri Sultan Hamengkubuwana VIII wafat pada 22 Oktober 1939 di kereta api di daerah Wates, Kulon Progo dalam perjalanan pulang dari Jakarta untuk menjemput Gusti Raden Mas Dorojatun dari Belanda. Sedangkan sumber lain menyebutkan bahwa ia meninggal dunia di rumah sakit Onder de Bogen (kini Rumah Sakit Panti Rapih) setelah jatuh sakit di dalam kereta api di wilayah Kroya, Jawa Tengah. Sri Sultan Hamengkubuwana VIII dimakamkan di Astana Saptarengga, Pajimatan Imogiri.