Ambang batas parlemen dan nilai suara
Bila nilai suara pemilih mau diupayakan sama, mungkin baiknya kursi legislatif yang gak lolos PT dihanguskan saja.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 3/PUU-VII/2009 antara lain dibilang: "Pembentuk UU tidak konsisten dengan kebijakan-kebijakannya yang terkait dengan Pemilu dan terkesan selalu bereksperimen dan belum mempunyai desain yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan sistem kepartaian sederhana yang hendak diciptakannya, sehingga setiap menjelang Pemilu selalu diikuti dengan pembentukan UU baru di bidang politik, yaitu UU mengenai Partai Politik, UU mengenai Pemilu dan UU mengenai Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD."
Walau begitu, MK merestui Ambang Batas Parlemen alias Parliamentary Threshold (PT) 2,5% untuk tingkat DPR pemilu 2009.
Sistem kepartaian tak sederhana saat itu, keluh pemerintah, "memperlemah tata kelola pemerintahan, serta mempersulit dicapainya konsensus, baik di antara partai-partai maupun antara parlemen dan pemerintah. Proses pengambilan keputusan dan kebijakan politik memerlukan waktu yang panjang dan bahkan bisa bertele-tele di DPR."
Bukti bertele-telenya? MK gak nanya.
Sangat ketat itu BVerfG (Bundesverfassungsgericht alias MK Jerman) tentang PT di tingkat DPRD lokal (setara kabupaten/kota) di negara bagian (setara provinsi) Schleswig-Holstein dan parlemen Uni Eropa. PT buat pemilu nasional dan provinsi itu oke, kata BVerfG. Tapi, ketentuan ini haram buat pemilu DPRD lokal (fatwa 13/02/2008) dan parlemen Uni Eropa (fatwa 9/11/2011). Alasan utamanya terletak pada sistem pemerintahan.
Sistem parlementer berlaku di tingkat nasional dan provinsi. Legislatif dipilih langsung. Bos eksekutif ditentukan oleh parlemen. Legitimitas tunggal. Keduanya bisa saling melengserkan/membubarkan dalam hal perubahan mayoritas legislatif.
Sebaliknya, di tingkat lokal berlaku sistem presidensial, berlegitimitas ganda. Sejak 1995, parlemen dan bos eksekutif masing-masing dipilih langsung. Keduanya gak bisa saling melengserkan/membubarkan, gak saling tergantung.
BverfG menampik alasan PT di tingkat lokal demi pembentukan mayoritas dan mudahnya pengambilan keputusan lewat sistem kepartaian sederhana. Argumen teoretik, bantah BverfG, sebab bukti sulitnya pengambilan keputusan gak bisa disodorkan oleh pembentuk UU.
Sebaliknya, BVerfG mengamati, bahwa pengalaman menunjukkan berjalannya pemerintahan yang efektif, meski gak didukung mayoritas parlemen. Pengambilan keputusan di legislatif toh ditempuh lewat voting non-konsensus macam dalam pemilu. Lagian, pembentukan UU dilakukan di tingkat nasional dan negara bagian, bukan di tingkat lokal.
Adapun larangan PT buat pemilu parlemen Uni Eropa itu lantaran parlemen Uni Eropa tidak memilih eksekutif.
Justru pemilu lokal dan parlemen Uni Eropa butuh partisipasi rakyat sebanyak mungkin. Alokasi kursi akibat PT jelas beda dengan alokasi kursi non-PT. Atau, nilai suara pemilih miring alias derajat keterwakilan bejatan. Bukan berbedanya nilai suara pemilih, tapi PT itu inskonstitusional sebab mencegah partisipasi minoritas jadi alasan Supremo Tribunal Federal (MK Brasil) 12/2006.
Agaknya, ketat-ketatan MK (brojolan 15/10/2003, Rebo Wage, wuku Kulawu) buat minta bukti sukarnya pengambilan keputusan atau kejelasan desain sistem kepartaian sederhana itu berkat lalainya para penggugat PT bersesajen bebek, ayam, burung, boleh kelelawar atau burung hantu, dimasak bersama.
Maka, buat pemilu legislatif 2014, rem PT pun blong. Lain dari 2009, naik jadi 3,5% dan nggladrah sampai ke tingkat daerah. Padahal, selain PT resmi, hadir juga PT gaib berupa district magnitude dan makhluk gaib berupa new-state paradox, juga disebut tuyul threshold, produk birahi PT resmi dengan asmara cara penghitungan suara, pemangsa partai-partai gurem di dapilnya. Contoh 2009: secara mistis, kursi Hanura di Kalbar atau Gerindra di Jatim I keculik.
Bila nilai suara pemilih mau diupayakan sama, mungkin baiknya kursi legislatif yang gak lolos PT dihanguskan saja. Misalnya, 560 kursi DPR 2009 menyusut jadi 460, setaraannya 18% suara koit kesantet PT. Setidaknya, bisa menghemat APBN dan mengurangi KKN.