Bantu Mereka Merdeka dari Pemasungan
Mereka terpaksa tetap mengurung orang dengan gangguan jiwa itu dengan alasan keamanan. Khawatir mengamuk dan ganggu warga sekitar.
Perasaan pilu tidak bisa ditutupi. Terlihat jelas dari binar mata pria itu. Di hadapannya berdiri kerangkeng sempit terbuat dari bambu. Ukurannya sekitar 1,5 x 2 meter. Posisinya di belakang rumah. Beralas tanah, bukan hewan ternak di dalamnya. Melainkan seorang wanita yang sudah 15 tahun terpaksa dipasung keluarga.
Berada di Desa Singamerta, Banjarnegara, Jawa Tengah. Wanita itu hanya duduk di dalam kerangkeng. Terkurung. Pakaian digunakan seadanya. Tubuhnya kurus. Sesekali mereka berinteraksi. Sering kali wanita itu memberi senyuman. Berasa sekali bahagia ada orang menemui.
-
Kapan Singapura merdeka? Singapore Independence Day was on the 9th of August 1965.
-
Bagaimana bentuk Sodong Congkok? Batu ini sepintas bentuknya mirip atap rumah dengan bentuk bidang yang rata. Batu ini juga disebut kokoh, dan tidak akan roboh. Di bagian dalamnya terdapat mirip gua, dengan sedikit menyerupai ruangan. Di pinggiran bebatuan itu juga dipenuhi rerumputan.
-
Kapan Indonesia merdeka? Hari ini, tepat 78 tahun yang lalu, Indonesia menyatakan diri sebagai sebuah negara merdeka.
-
Kapan Malaysia merdeka? Negara monarki konstitusional ini baru memperoleh kemerdekaannya pada 31 Agustus 1957.
-
Bagaimana KM Soneta tenggelam? Saat kejadian kondisi ombak sedang besar setinggi 2,5 meter dengan angin kencang dan arus deras. Sebanyak sembilan ABK yang terombang ambing diselamatkan oleh kapal KM Bintang Barokah yang sedang melintas.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
Wanita alami gangguan jiwa tersebut bertemu dr Seno Bayu Aji Sp KJ. Pria ini seorang dokter spesialis kejiwaan di Rumah Sakit Islam (RSI) Banjarnegara. Dokter Seno, biasa dia disapa, sudah meminta keluarga melepas. Cara mengurung ini tentu tidak dibenarkan.
dr Seno Bayu Aji Sp KJ ©2020 Merdeka.com
Mereka terpaksa tetap mengurung orang dengan gangguan jiwa itu dengan alasan keamanan. Khawatir mengamuk dan ganggu warga sekitar. "Sebetulnya kami juga sudah memberikan masukan kepada keluarga untuk pasien sebaiknya jangan dikurung," ujar dr Seno kepada merdeka.com, Rabu pekan lalu.
Sakit lama dan tidak rutin minum obat, semakin membuat kondisi wanita itu memprihatinkan. Keluarga juga tidak bisa bertindak lebih. Pasien gangguan jiwa itu juga kerap melakukan berbagai hal yang membuat keluarga takut. Keputusan mengurung menjadi pilihan terbaik bagi mereka meskipun salah.
Upaya memberikan obat selalu ditolak pasien. Berkali-kali tim perawat yang ikut, mencoba membujuk. Pasien kukuh menolak. Obat pun tetap diberikan. Diberitahu pelan-pelan, meminta obat untuk dihabiskan.
Disadari dr Seno, praktik pemasungan maupun kurungan kepada orang gangguan jiwa memang masih marak di wilayahnya. Selain Banjarnegara, dia juga praktik di Wonosobo. Dua wilayah ini masih ditemukan. Walaupun harus diakui sebenarnya masyarakat sudah sadar itu tindakan salah. Perlahan mulai berkurang, meskipun masih ada.
Selama pandemi virus corona atau Covid-19, membuat dr Seno semakin gencar blusukan. Terjun langsung ke masyarakat dirasa lebih efektif. Apalagi banyak pasien dan keluarga takut untuk keluar rumah. Kondisi ini yang menggerakkan hati sang dokter untuk datang langsung ke rumah pasiennya. "Saya enggak sendiri ada perawat ada petugas lainnya," kata dr Seno.
Semua rela dilakukan demi tujuannya sederhana dan mulia. Rela berkeliling desa, mengetuk pintu dari satu rumah ke rumah lain. Semangatnya tidak padam. Setiap kedatangan di tempat pasien, dr Seno dan tim juga mengedukasi keluarga yang minim pengetahuan. Menyadarkan mereka agar tidak memasung terhadap siapapun.
dr Seno Bayu Aji Sp KJ sedang menemui pasien gangguan jiwa yang dikurung keluarganya ©2020 Merdeka.com
Banyak faktor menyebabkan keluarga memilih jalan pintas dalam menangani orang dengan gangguan jiwa dengan cara dipasung. Salah satunya tentang akses kesehatan. Dulu memang sulit dan jarak sangat jauh untuk merawat pasien gangguan jiwa. Kemudian sulitnya ajak pasien untuk berobat.
"Kadang antara keluarga, keinginannya mengobati. Dari pasiennya sendiri, kalau dia dibujuk untuk berobat kan sulit, jadi dilematis," ungkap dia. Tentu faktor lain, yakni masalah ekonomi dan masuk dalam golongan keluarga miskin.
Dalam upaya membebaskan orang gangguan jiwa dari praktik pemasungan, dr Seno tidak bisa bekerja sendiri. Banyak pihak ikut terlibat. Mulai dari petugas Puskesmas, tokoh masyarakat untuk memberikan penyuluhan.
Contohnya saja dari Puskesmas ada tenaga khusus petugas kesehatan jiwa. Mereka bertugas melakukan pendataan warga yang mengalami gangguan jiwa. Termasuk melaporkan bila ada tindakan pemasungan.
Untuk itu, program kunjungan langsung dirasa cukup efektif mengurangi praktik pemasungan. Dengan jemput bola seperti ini diharapkan dapat mempercepat pelayanan terhadap pasien. "Kalau sekarang dengan adanya tenaga kesehatan jiwa di setiap kabupaten diharapkan juga pemasungan-pemasungan tidak ada lagi," ujar dia.
Segudang pengalaman unik selama menangani pasien gangguan jiwa dirasakan dr Seno. Seperti ketika dia berkunjung ke rumah pasien secara langsung. Dari situ, dia merasa lebih mendalam memahami pasien. Termasuk riwayat hidup dari kecil.
Dengan melakukan kunjungan langsung, seorang dokter gangguan jiwa juga bisa melihat keadaan keluarga pasien lebih dekat. "Kita mengetahui suasana rumah, bisa lihat status sosialnya, ekonomi keluarga," ungkap dia.
Sebagai spesialis kejiwaan, dr Seno percaya tiap pasien gangguan jiwa bisa sembuh. Tentu banyak faktor harus membantu mendorong. Internal maupun eksternal. Terutama pasien harus rajin dan rutin mengonsumsi obat yang diberikan dokter.
Sudah banyak pasien gangguan jiwa sembuh tanpa harus dipasung. Sebagai sosok yang ingin memperjuangkan mereka merdeka dari pemasungan, dr Seno akan terus berkeliling dan mendatangi langsung mereka yang jiwa dan raganya terkurung.
Berikut Videonya: