Bukan pemimpi, tapi spekulan calon presiden
Mereka yang mau jadi calon presiden sebetulnya tengah berspekulasi: MK batalkan persyaratan dalam UU No 42/2008.
Hitungan mundur, pemilu presiden tinggal setahun lagi. Setelah pemilihan legislatif April, pada Juni 2014 akan digelar pemilu presiden. Semakin mendekati hari H, nama-nama calon presiden terus malang melintang di jagat politik Indonesia. Nama-nama lama tetap bertahan, bersamaan dengan munculnya nama-nama baru.
Nama Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, dan Hatta Rajasa sudah lama beredar. Memasuki 2013 muncul nama-nama baru: Gita Wirjawan, Mahfud MD, Marzuki Alie, Irman Gusman, Joko Widodo, dan Pramono Edhie Wibowo. Di luar dugaan, pekan lalu Partai Hanura mendeklarasikan paket Wiranto-Hary Tanoe sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Datang belakangan, Jokowi dan Pramono, belum mau berterus terang soal pencalonan. Masih malu-malu kucing. Ini berbeda dengan calon-calon lain yang tegas menyatakan, mau nyapres karena merasa mendapat dukungan rakyat atau dukungan partai. Baik Jokowi maupun Pramono, seakan tak terobsesi dengan kursi presiden. Ini berbeda dengan calon-calon lain, yang penuh percaya diri tinggi bisa meraih kursi presiden.
Seorang calon memang harus percaya diri, sebab itu modal mental penting. Kalau tidak percaya diri, lebih baik tidak usah mencalonkan. Memang tidak semua orang yang menyatakan siap menjadi calon presiden mengarah kursi presiden. Banyak di antara mereka yang cukup puas jika jadi calon wakil presiden. Tetapi jadi calon presiden atau pun calon wakil presiden, sama-sama butuh kepercayaan diri tinggi.
Pada titik inilah bisa dinilai, apakah kepercayaan diri tinggi itu masuk akal, atau hanya mimpi. Pencalonan Wiranto dan Hary Tanoe misalnya, dianggap hanya dagelan politik. Bagaimana tidak, partai paling kecil di DPR itu tiba-tiba nekat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden sendiri, padahal partai itu belum tentu lolos ambang batas perwakilan DPR atau parliamentary threshold 3,5% pemilu legislatif.
Jika pun lolos ambang batas perwakilan, partai politik tersebut kecil kemungkinan bisa mendapatkan minimal 20% kursi DPR, atau meraih minimal 25% suara. Padahal UU No 42/2008 membuat syarat itu agar partai politik atau gabungan partai politik bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Memang beberapa partai politik di DPR, seperti Partai Hanura, Partai Gerindra dan PAN, ingin agar ketentuan itu diubah: ditiadakan atau dikurangi persentasenya. Tapi partai lain tidak sependapat. Jadi, jika undang-undang tidak diubah, maka tidak banyak atau bahkan tidak ada partai politik yang bisa mengajukan pasangan calon sendiri. Jika begitu, tak salah bila pencalonan Wiranto-Hary Tanoe oleh Partai Hanura, disebut dagelan.
Partai Hanura dan Wiranto-Hary mungkin tidak sedang bermimpi. Lebih tepat mereka sedang berspekulasi, mengingat ketentuan persyaratan pencalonan presiden dalam UU No 42/2008 tengah digugat ke Mahkamah Konstitusi. Dalam uji materi ini, bisa saja MK membatalkan ketentuan itu, sehingga tidak ada persaolan bagi Wiranto-Hary Tanoe untuk maju sebagai calon pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Spekulasi sesungguhnya juga sedang dilakukan para calon presiden yang hendak mengikuti konvensi Partai Demokrat. Sungguh tidak ada yang bisa jamin, bahwa Partai Demokrat akan meraih suara besar kembali seperti pada Pemilu 2009. Hasil survei menunjukkan buah buruk dari kader-kadernya yang gemar korupsi. Apalagi SBY sebagai penarik suara Partai Demokrat sudah tidak bisa menjadi calon presiden lagi.
Jika demikian, apalah artinya menang konvensi Partai Demokrat, kalau partai ini gagal meraih minimal 20% kursi DPR atau minimal 25% suara dalam pemilu legislatif. Jelas Partai Demokrat tidak bisa mengajukan sendiri calonnya. Mereka harus berkoalisi dengan partai politik lain. Padahal partai-partai politik lain tentu tidak mau menerima begitu saja calonnnya Partai Demokrat.
Jadi, pada diri calon peserta konvensi Partai Demokrat sebetulnya juga terpersik harapan agar MK membatalkan pasal persyaratan pencalonan dalam UU No 42/2008. Sama dengan Wiranto dan Hary Tanoe, mereka juga tengah berspekulasi untuk maju dalam pemilu presiden. Sebutan spekulan juga pantas disematkan kepada Hatta Rajasa, karena partai yang dipimpinnya, PAN, tak pernah meraih suara dan kursi lebih dari 10%.