Charlie Hebdo dan Islamofobia di Eropa
Di Swedia masjid mulai diserang, Di Jerman, PEGIDA rajin berdemonstrasi setiap Senin.
Serangan teroris di kantor majalah Charlie Hebdo, di Paris, Rabu (7/1), yang menewaskan 10 jurnalis dan 2 polisi sungguh telah meningkatkan kecemasan akan meningkatnya Islamofobia di Eropa. Muslim di Eropa, khususnya yang berada di Jerman, yang menyaksikan berita media dari hari ke hari tentang makin maraknya demonstrasi anti Islam di berbagai kota besar di Jerman yang diorganisir oleh PEGIDA (Patriotische Europäer gegen die Islamisierung des Abendlandes/Bangsa Eropa Patriotis Penentang Islamisasi di Barat), tak ayal makin khawatir bila gelombang Islamofobia menguat dan berdampak pada mereka.
Lepas dari sahih tidaknya perdebatan yang mengaitkan penembakan itu dengan Islam, kekhawatiran mereka wajar karena serangan balik telah diluncurkan. Sehari sesudah penembakan itu, sebuah masjid di Le Mans, di barat laut Paris telah ditembaki dan dilempar granat, dan sebuah kedai kebab di dekat masjid di Villefrance-sur-Saone diledakkan.
Sebuah musala di selatan Port-la-Nouvelle juga berusaha dibakar. Tak bisa dibantah, serangan teroris itu memang keji, namun rasa marah masyarakat Eropa bila tidak diekspresikan secara benar bisa makin meningkatkan polarisasi antara dunia Muslim dan non-Muslim dan bahkan dapat menumpahkan darah. Ingat pembantaian keji Anders Breivik di Norwegia tahun 2011?
Prancis sudah menunjukkan gejala itu karena kalangan progresifnya pun sekarang sudah bergejala mendukung mereka yang menstigmatisasi masyarakat Muslim atas nama kebebasan berpendapat, yang kalau tidak terkendali akan membuat Samuel Huntington bertepuk tangan karena terjadi benturan budaya seperti yang diramalkannya.
Berlebihan? Bisa jadi tidak karena pemicunya sudah ada. Di Swedia masjid mulai diserang, Di Jerman, PEGIDA rajin berdemonstrasi setiap Senin melawan apa yang mereka sebut sebagai “invasi Muslim“ ke negara mereka meski ada demonstrasi dan gereja yang menentang mereka.
Di Prancis juga, partai kanan (far-right) Front National yang anti pembangunan masjid, memenangi untuk pertama kali kursi di Senat, September tahun lalu. Minggu lalu, novel Michel Houllebecq berjudul “Soumission“ (penyerahan diri) yang menceritakan Perancis diperintah oleh partai Islam di tahun 2022, laris manis, mengindikasikan meningkatnya Islamofobia.
Islamofobia saat ini dalam konteks meningkatnya rasisme di Prancis dan Eropa juga mengindikasikan cueknya Eropa pada tulisan Charlie Hebdo dan media lain atas nama kebebasan pendapat yang bersifat provokasi dan rasis yang akhir-akhir ini lebih banyak ditujukan kepada komunitas Muslim.
Toleransi atau bahkan impunitas atas hal itu dengan preteks sekularisme menjadi mudah dipertanyakan. Konsep “laïcitë“ (sekularisasi) sejak awal dimaksudkan sebagai pembelaan terhadap hak setiap rakyat Prancis untuk menjalankan secara bebas kepercayaannya, namun sekarang pengertian itu digunakan untuk stigmatisasi agama di ruang publik seperti masalah hijab Muslimah. Ini mengarah pada situasi paradoks, di mana wacana rasis dibolehkan atas nama uiversalisme dan toleransi.
Memang intoleransi ini sudah lama. Meski terasa getir, Thomas Hammarberg, Komisioner Dewan HAM Uni Eropa di tahun 2010 pernah menyatakan bahwa: “negara-negara Eropa nampaknya menghadapi krisis lain selain masalah defisit anggaran yaitu disintegrasi nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu gejalanya adalah meningkatnya ekspresi intoleransi kepada masyarakat Muslim. Hasil polling pendapat di beberapa negara Eropa mencerminkan ketakutan, rasa curiga dan pendapat negatif mereka mengenai masyarakat Muslim dan kebudayaan Islam.“
Hammarberg tidak sendirian dalam berpendapat demikian. Amnesty International dalam laporannya bulan April 2012 yang berjudul “Choice and Prejudice: Discrimination against Muslim In Europe“ menyebutkan antara lain bahwa muslimah ditolak saat melamar kerja dan masuk kelas hanya karena mereka memakai jilbab. Muslim bisa dikeluarkan dari pekerjaan karena memelihara janggut panjang.
Saat-saat ini memang waktu yang berat dan mencemaskan bagi Muslim di Eropa. Namun mereka tidak perlu takut dan mengisolasi diri yang justru akan memperkuat polarisasi dengan masyarakat Eropa lainnya. Mereka justru harus menunjukkan bahwa para pelaku teror itu tidak mewakili mereka dan sekaligus berkontribusi positif bagi pembangunan dan integrasi di negara masing-masing.
Baca juga:
Polisi yakin kasus Charlie Hebdo tak akan terjadi di Indonesia
Pelaku penembakan Charlie Hebdo: Kami siap mati syahid
Polisi Prancis kepung dua tersangka penembakan Charlie Hebdo
Dua tersangka penembakan Charlie Hebdo lari ke hutan
Habis diserang, Charlie Hebdo bakal dicetak satu juta eksemplar
Ini karikatur sindir ekstremis Islam karya Tabloid Charlie Hebdo
Imbas Charlie Hebdo, salat Jumat di KBRI Paris ditiadakan
-
Kapan surat kabar Jyllands-Posten menerbitkan karikatur Nabi Muhammad? Surat kabar Denmark, Jyllands-Posten, menerbitkan kartun satir nabi Muhammad pada tanggal 30 September 2005.
-
Kenapa publikasi karikatur Nabi Muhammad dianggap menghujat? Islam memiliki tradisi anikonisme yang kuat, dan di sebagian besar tradisi Islam dianggap sangat menghujat jika menggambarkan Muhammad secara visual.
-
Siapa yang menggambar karikatur Nabi Muhammad yang kontroversial itu? Kurt Westergaard adalah seorang kartunis Denmark yang karikatur Nabi Muhammadnya membuat marah banyak umat Islam di seluruh dunia.
-
Kapan Maulid Nabi diperingati? Hari kelahiran Nabi Muhammad SAW jatuh pada 12 Rabiul Awal setiap tahunnya. Hal ini bersumber dari hadis yang diriwayatkan Imam Ibnu Ishaq dari Ibnu Abbas,وُلِدَ رَسُولُ اللَّهِ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ، لِاثْنَتَيْ عَشْرَةَ لَيْلَةً خَلَتْ مِنْ شَهْرِ رَبِيع الْأَوَّلِ، عَام الْفِيلِArtinya: "Rasulullah dilahirkan di hari Senin, tanggal dua belas di malam yang tenang pada bulan Rabiul Awal, Tahun Gajah."
-
Apa arti dari "Astagfirullah"? "Astaghfirullah" memiliki makna "Aku memohon ampun kepada Allah", yang biasa dijadikan sebagai bacaan dzikir, termasuk setelah menunaikan ibadah sholat.