Dari garasi, menjelma jadi perusahaan farmasi terbesar se-ASEAN
Obat cacing, panu dan penurun panas menjadi produk awal Kalbe Farma yang laku keras di pasaran.
Mungkin Anda familiar dengan iklan obat panu Kalpanax saat kecil dulu, atau saat bulan puasa bejibun iklan obat maag, Promag, serta sederetan iklan makanan, susu, dan berbagai produk makanan dan minuman penambah energi. Produk-produk buatan PT Kalbe Farma tersebut melekat kuat di masyarakat lantaran kerap mengisi tayangan iklan di berbagai media, terutama televisi.
Didirikan pada tahun 1966, PT Kalbe Farma berasal dari sebuah garasi bengkel di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Kini PT Kalbe Farma menjelma menjadi perusahaan farmasi terbesar di Indonesia, bahkan se Asia Tenggara. Dengan total pendapatan Rp 17 triliun setiap tahun, kini PT Kalbe Farma memiliki 17 ribu karyawan, serta 66 kantor cabang/pabrik di seluruh Indonesia.
Siapa orang yang berjasa di balik pendirian Kalbe Farma? Dialah dokter Boenjamin Setiawan, dokter lulusan Universitas Indonesia yang juga mendapatkan PhD dari University of California, Amerika Serikat. Dibantu lima saudaranya yang rata-rata juga berprofesi sebagai dokter, dokter Boen, panggilan Boenjamin Setiawan, nekat mendirikan sebuah perusahaan farmasi.
"Waktu itu saya belum punya uang banyak, ada uang tapi enggak banyak. Kakak saya Dr Koh Leng Sun juga buka praktik dokter, dia punya uang. Jadi intinya kita ramai-ramai bersaudara bikin industri farmasi di bekas bengkel Jalan Simpang Satu nomor satu," kata dokter Boen dalam wawancara khusus dengan merdeka.com, Senin (4/5).
Membikin produk-produk farmasi yang laris manis di pasaran, dokter Boen bagi-bagi resep. Di awal Kalbe Farma berdiri, obat yang dibikin adalah obat-obat yang banyak dibutuhkan masyarakat kala itu, seperti obat cacing.
Siapa sangka obat Kalpanax yang dia bikin, ternyata juga terilhami saat orang tua dokter Boen dulu yang juga menderita panuan. Tapi karena belum ada obatnya, dulu penyakit panu cukup diobati dengan parutan lengkuas dan dioleskan pada kulit yang terkena panu.
"Waktu itu juga banyak orang yang kena panu. Ayah saya juga kena panu. Waktu itu obatinnya pakai lengkuas. Dulu waktu saya kecil juga pakainya itu, diparut lalu digosokin. Kita bikin Kalpanax laku keras itu," cerita pria kelahiran 23 September 1933 di Tegal, Jawa Tengah tersebut (83 tahun).
Di usianya yang sudah berkepala delapan, dokter Boen masih tampak sehat dan menjawab pertanyaan-pertannya merdeka.com dengan lugas dan lancar.
Berikut wawancara lengkap wartawan merdeka.com Anwar Khumaini dan Fauzan Jamaluddin dengan dokter Boenjamin Setiawan:
Bisa diceritakan bagaimana awal mula Kalbe Farma berdiri?
Dulu saya dosen dari Farmakologi FK UI dan saya terima kasih karena telah dikirim ke Amerika Serikat, karena waktu itu ada kerjasama antara fakultas kedokteran UI dan University California San Francisco (UCSF). Itu dimulai sekitar tahun 1954. Yang merintis itu Prof Junet Pusponegoro, Prof Lie Kuan Yew, Prof Sarwono, Prof Sutomo. Mereka yang merintis kerjasama ini dan waktu itu ada dosen dari UCSF, ke Indonesia dan dokter-dokter muda dikirim ke sana dan bekerjasama. Kerjasama baik sekali. Dan saya dikasih kesempatan tahun 1958 dikirim ke sana. Saya belajar di sana untuk menyelesaikan PhD saya. Saya selesai 3 tahun.
Tadinya saya diberikan kesempatan lagi untuk melakukan Pusdok di Swedia. Waktu itu karena penelitian saya, tentang alkohol dehidrukinase suatu enzim. Dan di Swedia ada Profesor Hugo. Dia profesor yang mendapatkan hadiah nobel pada tahun 1955. Dia pernah datang ke San Francisco dan kebetulan penelitiannya sama dengan saya. Kemudian saya tanya ke dia, "Prof, saya boleh enggak ke Swedia?", dia menjawab, "Oh you boleh saja ke Swedia untuk melakukan Pusdok,".
Tapi waktu itu Profesor Sutomo, bagian patologi mengatakan kepada saya, "Boen, you sudah kelamaan di sana. Biasanya hanya 1 atau 2 tahun di sana paling lama. You musti kembali lah," Dan saya nurut. Tapi kalau sekarang saya di suruh balik ke Indonesia, saya enggak nurut. Tapi dulu karena masih muda ya, jadi saya nurut saja pulang ke Indonesia.
Di Indonesia saya kepengin melanjutkan penelitian tapi saat itu tahun 1961 saya kembali, dananya enggak ada, peralatan sedikit sekali, dan waktu itu memang sumber dayanya sedikit. Akhirnya saya melakukan penelitian sederhana saja. Mencari jamu-jamu antihipertensi menurunkan tekanan darah sama obat kencing manis. Caranya waktu itu menggunakan kucing yang dikasih obat penurun tekanan darah. Dan waktu itu saya bersama Dr Kui bagian farmakologi mencari dana Daya Upaya Para Apoteker (DUPA) semua ada lima orang lulusan Belanda mereka mendirikan pabrik.
Dulu tempatnya di jalan deket jalan Kamboja. "Pak Bin, saya mau minta dana,". Tanya saya. Dia pun menjawab, "butuh dana berapa?" Waktu itu Rp 25 juta. Itu gampang sekali, ambil cek langsung kasih. Itu yang men-trigger saya bahwa kalau saya ingin melakukan penelitian, maka saya harus bikin industri farmasi. Inilah mulainya.
Hanya waktu itu sekitar tahun 60-an ada dokter yang membuat produk dari placenta. Akhirnya kita bikin pabrik namanya PT Farmendo. Ada 4 dokter muda dari bagian biologi, saya dari Farmakologi dan kemudian ada dokter satu lagi dan satu lagi dari Kimia Farma. "Oke, ayo kita bikin". Dulu itu enggak ribet seperti sekarang mau bikin ngurusinnya. Waktu itu kita kerjanya di laboratorium biologi FK UI bikin Yaseril dan bioplacenton injeksi sama bioplacenton salep. Bioplacenton salep sampai saat ini masih ada.
Kita rame-rame bikin dan anak muda masih semangat tapi karena anak muda enggak punya pengalaman, umur perusahaan hanya tiga bulan saja. Ternyata komitmen kita kurang, waktunya nyetor uang, enggak ada yang menyetor uang. Hanya semangat saja. Akhirnya tutup tiga bulan, tapi saya berusaha lagi di tahun 63. Saya sama bagian farmakologi dokter Yang Tan sama dokter dari Apotik Husada. Kita bikin lagi tapi setelah empat bulan gagal lagi.
Nah, setelah gagal ini, kebetulan ditawarkan kerja di perusahaan Belanda namanya Ensifarm. Pada tahun 1966 sebenarnya saya sudah mau pergi, kebetulan kakak saya datang. Kakak perempuan saya dokter gigi, praktik di Tanjung Priok. Dia datang ngomong ke saya, "Ngapain you mau pergi ke Belanda?", saya mau kerja di industri farmasi. Terus, kakak saya bilang, "Sudahlah enggak usah pergi ke Belanda. Kalau you mau bangun industri farmasi kita bantu saja" kata kakak saya.
Kita berenam kerja bareng. Terus saya nanya lagi, "You bener mau membantu?". "Ya, serius saya mau membantu." Akhirnya dia bantu dengan mencarikan bangunan di Tanjung Priok itu garasi. Waktu itu saya belum punya uang banyak, ada uang tapi enggak banyak. Kakak saya Dr Koh Leng Sun juga buka praktek, dia punya uang. Jadi intinya kita ramai-ramai bersaudara bikin industri farmasi di bekas bengkel Jalan Simpang Satu nomor satu. Sekarang lagi mau dibikin RS di sana.
Obat yang pertama kali dibikin apa?
Kita bikin pertama obat-obat yang dibutuhkan masyarakat yakni obat sirup, buat cacing, namanya Calekson. Ada obat cacing juga dari Bayer namanya Upikson. Itu obat laku keras. Karena apa, pada waktu itu rata-rata anak-anak pada kena cacingan. Karena hidupnya enggak sehat, makanannya kotor, dan berak di mana-mana. 90 persen orang kena cacingan semua. Bikinnya sederhana pakai panci besar terus mengisinya pakai botol, pakai manual semua.
Terus bikin Kalpanax. Soalnya waktu itu juga banyak orang yang kena panu. Ayah saya juga kena panu. Waktu itu obatinnya pakai lengkuas. Dulu waktu saya kecil juga pakainya itu, diparut lalu digosokin. Kita bikin Kalpanax laku keras itu. Jadi waktu itu kita bikin Kalpanax, Calekson, sama buat obat panas.
Kita berlima dokter semua, tapi adik saya yang terakhir ini yang sebenarnya mengurusi penjualan atau pemasarannya, pembelian, dan keuangan. Dia atau Arianto yang urus semuanya. Dia dulu ekonomi. Ini salah satu keberhasilan. Saya kira kami bisa berhasil karena bersatu. Enam saudara bersatu, ayah masih hidup. Setelah 11 tahun, kita jadi nomor satu di IMS. Selain itu, kita berhasil karena satu produknya cocok, kedua harganya cocok, ketiga promosinya bagus meniru luar negeri, keempat penempatan atau distribusinya cocok dan yang kelima sumber dayanya benar-benar diperhatikan.
Jadi kita di tahun kedua sudah lakukan profesionalisasi. Kita mengambil orang-orang yang pandai. Intinya lima langkah itu tadi ditambah dengan bantuan saudara kita bisa seperti ini.
Mulai menjadi go public sejak kapan?
Nah pada tahun 1991, kami jadi perusahaan terbuka atau go public. Awalnya saya enggak setuju. Tapi setelah dijelaskan oleh Pak Arianto adik saya, akhirnya saya setuju. Saya kira dengan go public benar. Karena dengan go public nilai perusahaan itu ada harganya. Ya jadinya ada nilainya karena sudah go public.
Bagaimana dengan perkembangan industri farmasi dunia dan Indonesia?
Industri farmasi dunia, itu perkembangannya sangat baik. Hal ini juga diikuti dengan GDP dunia. GDP dunia itu kira-kira USD 70 triliun. Sementara industri farmasi dari GDP itu antara 2 persen. Jadi kira-kira sekitar USD 1,4 triliun. Jadi cukup besar. Tapi di Indonesia itu masih kecil. Kira-kira USD 1 triliun 2014. Kalau industri farmasi kira-kira Rp 70 triliun. Ya itu pasar farmasi 2014. Kalbe Farma farmasinya sudah mencapai Rp 4-5 triliun. Tapi usaha kita sudah lima usaha yang digeluti.
Bahkan dulu, pada tahun 1998 saat krisis moneter kita hampir kolaps. Karena utang kita banyak sekali. Soalnya juga saat itu utang gampang. Seluruh utang dalam bentuk dolar, saat itu dolar kan interest-nya (bunga) rendah. Kalau rupiah itu interest tinggi. Kita banyak utang dalam bentuk dolar. Dolar saat itu kan naiknya bukan main. Kita enggak bisa bayar dengan utang-utang kita. Akhirnya pembayaran utang kita, kita minta reschedule. Akhirnya kita bisa survive lah.
Ada berapa jenis usaha di Kalbe Farma?
Kita ada lima usaha. Pertama, farmasi. Kedua, konsumer. Ketiga, nutrisi, Sang Hyang Perkasa yang ngurusin dan pertumbuhannya sangat cepat sekali. Keempat logistik. Dan yang ke lima, pokoknya ada lima lah. Jadi, Total sales kita Rp 17 triliun rupiah. Dan kita relatif masih kecil kalau dibandingkan dengan industri farmasi dunia.
Tapi di ASEAN terbesar kan Kalbe Farma?
Iya kita terbesar. Public company terbesar. Tapi kalau digabungkan dengan lima usaha itu tadi. Bukan farmasinya. Itulah kita.