Golkar harus banyak berbenah
Menurut Agung Laksono, kaderisasi termasuk hal mesti segera diperbaiki.
Sebagai salah satu pengurus inti Golongan Karya (Golkar), Agung Laksono mengakui partainya mengalami kemunduran. Hal itu terlihat dari tidak berhasilnya Golkar memenangkan calon presiden pilihan mereka dan kian berkurangnya perolehan kursi di parlemen.
Sebab itu, Agung menegaskan Golkar mesti segera berbenah, termasuk dalam urusan kaderisasi.Menurut dia, selama ini Golkar menghasilkan kader terlalu instan dan terlalu berorientasi pada partai, bukan malah kepada bangsa dan negara.
Berikut penjelasan Agung Laksono saat berbincang dengan wartawan merdeka.com Ahmad Baiquni, Faisal Assegaf dan juru foto Muhammad Luthfi Rahman Rabu malam lalu di kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Jakarta.
Belajar dari pengalaman pemilu 2004 dan 2009, Golkar kelihatan tidak punya kader untuk calon presiden. Apakah sudah ada kandidat untuk lima tahun mendatang?
Memang menurut saya Golkar ini tiga kali mencalonkan tidak pernah berhasil, 2004, 2009, 2014. Sudah dipakai pelbagai macam cara, melalui rapat pimpinan nasional, melalui konvensi. Tapi ke depan saya kira memang diperlukan suatu pembahasan mendalam tentang cara terbaik untuk merekrut calon-calon presiden dan wakil presiden oleh Partai Golkar.
Harus sedekat mungkin merefleksikan suara rakyat. Mungkin melalui hasil survei oleh lembaga-lembaga kredibel. Ada beberapa metodologinya betul-betul objektif, rasional, tingkat kesalahannya kecil sekali. Sebab pernah juga kami mengadakan konvensi, tapi yang menentukan pengurus-pengurus Golkar. Saya kira tidak merefleksikan kehendak rakyat. Jadi paling baik itu konvensi tapi basisnya adalah hasil survei.
Nah, pertanyaannya apakah harus dipaksakan kader Partai Golkar? Ini juga masih menjadi perdebatan. Apakah membuka pintu sepanjang dia adalah warga negara Indonesia? Punya kriteria PDLT (prestasi, dedikasi, loyalitas kepada negara, dan tidak tercela).
Kalau itu bagus, kenapa tidak? Meski bukan kader Golkar. Tapi saya belum bisa mengatakan. Ini perlu ada pembahasan. Tapi yang pasti, janganlah otomatis. Jika saya terpilih, Insya Allah, sebagai ketua umum, saya jangan memaksakan diri sebagai calon presiden. Kalau surveinya jeblok, nggak usah lah. Kalau surveinya bagus, trennya bagus, mari kita lihat.
Apalagi saya motivasinya tidak ingin menjadi menteri kalau terpilih sebagai ketua umum Golkar. Tidak mau jadi apa lagi. Tapi lebih pada bagaimana membangun kembali partai. Partai saya sekarang sudah menurun. Dari dulu 320 kursi terus 150, 138, sekarang 91 kursi. Sudah menembus batas psikologis. Artinya harus kembali ke awal.
Jadi motivasi saya memperbaiki kinerja partai. Kalau kinerjanya menurun sementara ambang batasnya makin lama makin naik, ini bahaya. Ambang batasnya kan sekarang 3,5 persen, besok lima persen, bisa 7,5 persen, bisa naik sampai sepuluh persen.
Nah, ini harus dijaga jangan sampai turun terus. Ini harus naik lagi. Kinerjanya terukur hasilnya. Menang pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Banyak menang pemilihan kepala daerah. Itu sebuah ukuran bisa dibaca. Pengurusnya terhindar dari kasus-kasus hukum.
Saya kira kalau semua kebijakan partai ke depan itu dihasilkan melalui proses menggambarkan demokrasi dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan sebagaimana mestinya, sehingga keputusannya itu betul-betul dihasilkan berdasarkan pertimbangan komprehensif, saya yakin ke depan akan ada perbaikan.
Apalagi kalau pengurusnya sungguh-sungguh, tidak memikirkan di pemerintahan lagi, tidak memikirkan di bisnisnya, sehingga penuh membesarkan partai, saya yakin.
Untuk lima tahun ke depan, kira-kira masalah apa saja harus diselesaikan?
Banyak, antara lain adalah kaderisasi. Dulu Partai Golkar dikenal sebagai partai banyak kader. Orang mengatakan seperti itu. Kader untuk di daerah atau pusat. Tapi sekarang kami mulai merasakan kayaknya ini harus direkrut.
-
Kenapa Partai Golkar didirikan? Partai Golkar bermula dengan berdirinya Sekber Golkar di masa-masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno. Tepatnya tahun 1964 oleh Angkatan Darat digunakan untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia dalam kehidupan politik.
-
Kapan Partai Golkar didirikan? Partai Golkar bermula dengan berdirinya Sekber Golkar di masa-masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno. Tepatnya tahun 1964 oleh Angkatan Darat digunakan untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia dalam kehidupan politik.
-
Siapa yang diusung oleh Partai Golkar sebagai Cawapres? Partai Golkar resmi mengusung Gibran Rakabuming sebagai Cawapres Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
-
Apa yang diklaim Airlangga sebagai pencapaian Partai Golkar? "Dengan demikian Partai Golkar mengalami kenaikan dan dengan Partai Golkar mengalami kenaikan, Partai Golkar juga yang mendukung Pak Prabowo dan Mas Gibran bisa berkontribusi kepada kemenangan Bapak Prabowo Subianto dan Mas Gibran Rakabuming Raka," tutup Airlangga.
-
Bagaimana Golkar merespon wacana Ridwan Kamil maju di Pilkada Jakarta? Golkar merespons wacana Ridwan Kamil bersedia maju di Pilkada DKI Jakarta karena berasumsi eks Gubernur Jakarta Anies Baswedan tidak akan maju lagi sebagai calon gubernur. Saat itu, Anies merupakan capres yang berkontestasi di Pilpres 2024. Oleh karena itu, Golkar memberikan penugasan kepada Ridwan Kamil untuk maju di Jakarta dan Jawa Barat.
-
Siapa yang menyampaikan keinginan aklamasi untuk Airlangga Hartarto dalam memimpin Golkar? Untuk informasi, kabar adanya keinginan aklamasi dari DPD I dalam penunjukkan Airlangga kembali memimpin Partai Golkar disampaikan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Lodewijk F. Paulus.
Jadi pemimpin negara, pemimpin pemerintahan itu harus disiapkan. Bukan kebetulan, tapi harus dirancang mulai dari sekarang. Mesti disiapkan sejak dini kalau mau jadi presiden, mulai dari akhlaknya, kecerdasannya, kepeduliannya. Tidak asal kebetulan saja.
Jadi, saya kira ke depan diperlukan kaderisasi bagus. Kaderisasi partai ini harus dipikirkan akan dipersembahkan kepada bangsa dan negara, bukan untuk partai saja. Harus dibiasakan itu tadi, harus ada keikhlasan nanti menjadi bukan milik partai. Apakah jadi menteri, gubernur, apakah jadi presiden. Tapi jadi milik bangsa. Ini harus dipersiapkan dari awal.
Partai itu membesarkan diri bukan hanya untuk memenangkan pemilu. Angan-angan saya partai itu setiap bulan ada diskusi mengenai sektor, apakah pertanian, segala macam. Kalau itu dilakukan, saya kira kembali lagi partai itu akan memiliki kader bagus. Siap untuk di parlemen, eksekutif, atau di jajaran infrastruktur, ormas-ormas, organisasi profesi dan sebagainya.
Bahkan partai itu, menurut saya, sebagai lembaga strategis. Dari situlah lahir wali kota, bupati. Dari situ lahir anggota DPRD, DPR. Dari situ lahir calon menteri sampai calon presiden. Kan tidak ada dari yayasan, tapi dari partai.
Nah, partai ini harus didorong supaya ada penguatan-penguatan kelembagaan. Ada penguatan kelembagaan, harus ada pemberdayaan manusianya. Saya melihat negara ini masih separuh hati memperkuat kelembagaan partai, termasuk sumber daya manusianya.
Terbukti dana partai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat minim. Anda lihat Australia, Belanda, negara-negara demokrasi lainnya, partai tidak menggantungkan kepada individu.
Partai itu tidak menggantungkan diri kepada ketua umumnya, tapi pada sistem keuangan dari negara. APBN kalau perlu. Partai kemudian bisa melatih diri untuk akuntabilitas, bertanggung jawab, melatih diri untuk menggunakan uang rakyat, dan sebagainya.
Semua partai itu sebagai lembaga strategis, sama pentingnya dengan kementerian, sama pentingnya dengan parlemen. Jangan dibiarkan akhirnya harus tergantung pada seseorang. Siapapun bisa menjalankan partai sepanjang dia terpilih secara demokratis karena kredibilitasnya bagus, kompetensinya oke, akhlaknya bagus, cita-cita dan visinya bagus.
Sekarang anggaran partai dari negara masih kecil sekali. Akibatnya, harus bergantung kepada ketua umum, ya cari yang kaya. Belum tentu baik juga hasilnya.
Ini saya kira harus ada pembahasan-pembahasan. Bahkan kalau perlu, menggunakan uang APBN misalnya, semua pengurus partai harus melaporkan harta kekayaannya. Tidak usah khawatir sepanjang tidak untuk kantongnya sendiri, tapi untuk partai, bisa menjalankan rapat kerja nasional, bisa menjalankan kaderisasi, bisa membuat dan adu program lah.
Besaran tentu tergantung dari besarnya partai, besarnya perolehan suara. Itu terjadi di banyak negara, bukan hal baru. Sayangnya di kita belum. Kemarin mau uang saksi saja diributkan. Seolah uang rakyat dipakai. Saya kadang sedih juga. Kok, begini cara berpikirnya. Karena uang itu bukan untuk partai, untuk kepentingan pemilu.
Pemilu adalah bagian untuk membangun demokrasi. Ini harus disampaikan kepada publik melalui bantuan media. Penting ada akuntabilitas, ada pertanggungjawaban. Bukan dimakan sendiri. Ketua umumnya atau sekjennya dibentuk melalui konvensi. Nanti dipersembahkan kepada negara.
Belajar dari pengalaman Jokowi dan PDIP. Mereka bisa memenangkan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden karena mengandalkan figur. Apakah Golkar juga akan memakai strategi sama untuk pemilu mendatang?
Memang pemilihan presiden bukan pemilihan partai. Lain dengan pemilihan legislatif. Figur iya. Tapi untuk menghasilkan figur seperti itu bisa dirancang ke depan. Sedari awal sudah mulai banyak berinteraksi dengan publik dan sebagainya.
Saya kira tetap kepada figur. Jadi partai bisa menghasilkan figur baik dan banyak. Ini bisa dipakai untuk di parlemen, di eksekutif. Bagaimana bisa menghasilkan figur baik itu harus ada perencanaannya, ada programnya.