Hantu Islamisasi di benak Eropa
Islamisasi di Eropa menurut Ley adalah perubahan yang teramat benderang terlihat di kebanyakan negara Eropa.
Tahukah anda bahwa aksi unjuk rasa menentang Islamisasi Eropa akan berlangsung pada 6 Februari 2016 nanti di 14 negara Eropa. Aksi yang diorganisasi berbagai kelompok Islamofobik seperti Pegida (Patriotische Europäer gegen die Islamisierung des Abendlandes/Orang Eropa Patriotik Melawan Islamisasi Barat) Jerman dan Block Against Islam Ceko itu akan digelar di beberapa negara antara lain Republik Ceko, Estonia, Finlandia, Jerman, Polandia, Slovakia, dan Swiss.
Mereka bertekad berperang melawan Islamisasi yang mereka sangka sedang berlangsung secara masif di Eropa dan gerah dengan derasnya arus migrasi muslim dari negara-negara konflik di Timur Tengah serta menilai kebijakan Eropa terhadap migran sebagai bodoh dan bunuh diri. Serangan seks dan perampokan terhadap perempuan di Cologne, Jerman pada malam tahun baru lalu di mana laki-laki muda dari negara-negara Arab dituding menjadi pelaku serangan menjadi salah satu pemicunya.
Tapi benarkah insiden di Cologne bisa menjadi pemicu gerakan masal anti Islam dan muslim di banyak negara di Eropa? Apa yang ada di benak warga Eropa mengenai Islam sehingga mereka sedemikian takutnya?
Barangkali tulisan Michael Ley di harian Austria, Die Presse edisi 19 Juni 2015 berjudul “The Islamization in Europe: No, I do not have visions” bisa membantu kita mengetahui syak wasangka dan ketakutan-ketakutan yang menghantui warga Eropa. Ley secara tegas di awal tulisannya menyatakan bahwa Islam baik yang ortodoks maupun radikal merupakan sumber derita umat manusia. Seraya mengutip sejarawan Egon Flaig, ia juga menyebut bahwa syariat Islam adalah bahaya terbesar bagi demokrasi dan hak asasi manusia di abad 21.
Meski tanpa data dukung, Islamisasi di Eropa menurut Ley adalah perubahan yang teramat benderang terlihat di kebanyakan negara Eropa meski ada ketidaksesuaian Eropa dengan Islam. Hal itu menurutnya karena perjalanan sejarah yang berbeda. Eropa bisa menjadi modern dan demokratis karena melalui berbagai tahapan seperti masa Renaissance, Reformasi, humanisme dan pencerahan (Enlightment). Sedangkan Islam jumud tak berkembang baik secara intelektual maupun spiritual dan tak mengenal era sekuler.
Dengan makin besarnya warga muslim secara demografis seperti di Italia dan Jerman, Ley membayangkan negara-negara di Eropa akan terpecah secara hukum karena di daerah yang warganya mayoritasnya muslim, pelan namun pasti syariat Islam akan memasuki sistem hukum dan perundangannya. Perkembangan ini katanya tak bisa dibalik dan dibatalkan. Negara-negara Eropa akan terpecah menjadi Bi-national state yang terdiri dari warga muslim dan non-muslim. Lebih parah lagi Eropa akan mengarah pada regionalisme dan balkanisasi.
Sedemikian mengerikannya hantu Islam di Eropa sehingga Michael Ley hanya menawarkan dua solusi yaitu reconquista (mengacu pada gempuran tentara Kristen merebut kembali semenanjung Iberia, Spanyol dari kaum Muslim di tahun 1492) atau bunuh diri.
Terlalu ekstrem untuk menerima tulisan Ley sebagai pemikiran Eropa yang paling representatif mengenai Islam. Tapi mengabaikannya juga tidak tepat karena menurut Hank Berger dalam artikelnya yang berjudul "Analysis. The Concept of Islamophobia in Europe" edisi 1 Agustus 2015 (unfppc.org), yang mengutip hasil survei Pew Global Attitudes menyatakan bahwa dengan rentang 59 persen sampai 70 persen warga di berbagai negara Eropa menilai bahwa kerjasama yang lebih erat dengan dunia muslim sebagai ancaman.
Sebagaimana Michael Ley, Berger juga melihat bahwa peningkatan demografis yang cepat populasi muslim di Eropa akan berujung pada kondisi mayoritas muslim di berbagai kota di Eropa hanya dalam beberapa dekade mendatang.
Bagaimana seharusnya muslim di Eropa dan dunia pada umumnya mengatasi persoalan praduga dan kecurigaan ini. Nampaknya ada beberapa front yang perlu dihadapi. Pertama adalah mengimbangi dengan informasi yang objektif mengenai Islam sebagai agama penuh kasih terhadap liputan media mengenai Islam dan muslim yang cenderung negatif dan memberikan stigma terhadap muslim.
Kedua, adalah keberanian untuk membuka dialog dengan para pembuat keputusan untuk terus membuka dan menjaga pluralisme dan memilah suatu insiden dengan generalisasi yang salah yang berpotensi menimbulkan benturan peradaban.
Hal ketiga yang terpenting bagi muslim Eropa sendiri untuk menghapus ambiguitas khususnya dalam pesan-pesan dan tindakan mereka terhadap terorisme dan tindakan radikalisme serta pencemaran Islam sehingga masyarakat Eropa lain bisa menaruh kepercayaan dan memperkuat integrasi dengan mereka.