Ironi pencalonan dan pragmatisme partai
Partai tidak punya ideologi, juga tidak punya platform. Partai hanya jadi mesin pencari kursi.
Sepanjang 9-22 April 2013 adalah hari-hari pendaftaran calon anggota legislatif (caleg) untuk Pemilu 2014. Setelah melakukan verifikasi, KPU dan jajarannya akan mengumumkan daftar calon sementara (DCS) untuk mendapatkan masukan masyarakat. Selanjutnya KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota akan menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota untuk Pemilu 2014.
Nah, dalam proses penyusunan DCS/DCT ini terdapat beberapa ironi partai politik.
Pertama, hampir semua partai politik mengumumkan secara terbuka rekrutmen caleg dengan tujuan untuk mencari orang-orang terbaik. Hal ini kontras dengan pernyataan pimpinan partai, bahwa pihaknya telah melakukan kaderisasi dengan baik. Apalagi sejak berlakunya UU No 2/2011, sebagian besar bantuan negara (baik dari APBN maupun APBD) digunakan untuk kegiatan pendidikan politik dan kaderisasi. Lalu mengapa, partai politik masih harus melakukan rekrutmen terbuka, seakan-akan menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki banyak kader mumpuni?
Kedua, semua partai politik mengambil kebijakan: semua anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dipersilakan mencalonkan kembali di daerah pemilihannya masing-masing pada Pemilu 2014. Perkecualian terjadi pada mereka yang sudah berusia lanjut, mencalonkan di lembaga legislatif di atasnya atau mempersiapkan diri mengikuti pilkada, serta mengikuti ketentuan internal partai politik yang membatasi masa kerja parlemen.
Kenyatan tersebut berbeda dengan suara publik yang mengecam keras para anggota dewan yang terlibat kasus-kasus korupsi. Memang baru sebagian dari mereka yang berstatus terpidana, tersangka dan terdakwa, namun partai tidak bisa menutup mata, banyak anggota dewan tersangkut kasus korupsi yang tengah diselidiki dan atau disidik petugas. Orang-orang macam ini tentu saja tidak pantas lagi menjadi pejabat publik. Toh jika diberi kesempatan untuk mencalonkan lagi, kelak mereka berpotensi merusak nama baik partai politik.
Ketiga, sebagian partai politik mengeluhkan dan bahkan memprotes ketentuan KPU yang mewajibkan partai memenuhi kuota 30% calon perempuan di setiap daerah pemilihan; dan jika tidak terpenuhi, maka partai politik tidak bisa mengikuti pemilu di daerah pemilihan tersebut.
Sikap itu seakan mengabaikan fakta historis, bahwa kebijakan afirmasi buat calon perempuan sudah diberlakukan sejak Pemilu 2004 melalui UU No 12/2003 dan diperkuat lagi menjelang Pemilu 2009 melalui UU No 10/2008.
Jika kebijakan afirmasi ini sudah berjalan lebih dari 10 tahun, lalu kemana saja selama ini partai politik dalam mengurusi kader-kader perempuan? Bukankah sejak Pemilu 2004 mereka berkomitmen untuk meningkatkan jumlah calon perempuan? Mengapa kini masih mengeluhkan sulitnya memenuhi kuota 30% calon perempuan?
Di balik ironi pengajuan caleg oleh partai tersebut, sebetulnya terdapat jiwa pragmatisme partai dalam menghadapi pemilu. Selain lenyapnya ideologi dan pengabaian platform politik, pragmatisme juga disuburkan oleh penggunaan sistem pemilu proporsional daftar terbuka. Karena tujuan partai politik dalam pemilu adalah mendapatkan kursi, maka dalam sistem pemilu ini, partai menggunakan logika sederhana: mencalonkan siapa saja yang berpotensi mendapatkan kursi, atau setidak-tidaknya dapat menambah perolehan suara guna mendapatkan kursi.
Lalu siapa calon yang berpotensi meraih kursi/suara tersebut? Pertama, adalah orang yang popularitasnya tinggi. Mereka yang populer tak hanya artis, tetapi bisa juga istri/anak/adik/orangtua pejabat puncak eksekutif maupun eksekutif, nasional maupun lokal. Kedua, adalah orang yang punya uang banyak, karena dengan uang mereka bisa meningkatkan popularitas secara instan, juga bisa membeli suara.
Dengan mengikuti apa yang terjadi dalam proses penyusunan daftar caleg, maka sesungguhnya kita tidak bisa berharap banyak, bahwa anggota legisaltif hasil Pemilu 2014 akan membawa perubahan-perubahan signifikan ke depan. Korupsi akan tetap melanda pemerintahan hasil pemilu, karena mereka yang terpilih dalam pemilu bukan orang-orang terbaik dan bersih.