Jalur Gazza di Pulau Dewata
"Jalan ini memang biasa kita sebut Jalur Gazza. Karena di sini banyak gay, lesbi dan waria mangkal," ujar D.
Musik disko tak berhenti menggema dari dalam Bar Mixwell di Jalan Camplung Tanduk, Seminyak, Bali. Di lantai dansa, lelaki berbadan kekar berjoget seolah terbius alunan musik. Badannya meliuk-liuk mengikuti alunan lagu dibawakan oleh disc jockey (DJ). Di depan meja DJ, empat gogoboys dance asyik bergoyang mempertontonkan tubuhnya yang atletis. Mereka hanya mengenakan cawat. Badannya berotot dan berminyak.
Hiburan serupa juga disajikan Bar Bali Joe yang persis bersebelahan dengan Mixwell. Satu per satu lelaki bertelanjang dada naik ke atas panggung. Di bawah sorot lampu berwarna warni, mereka bergoyang menikmati musik. Pengunjung yang mayoritas gay dan transgender seolah menikmati pemandangan itu. Sesekali, dengan genit dan kemayu, pria di atas panggung menarik lelaki lain untuk ikut bergoyang bersama. Di sudut lain, sejumlah pria nampak saling bermesraan, berpandangan bahkan berpegang tangan. Sambil menikmati minuman alkohol, mereka menghabiskan malam di bar khusus kaum gay di Jalur Gazza Pulau Dewata.
Bukan tanpa alasan Jalan Camplung Tanduk atau Jalan Dyana Pura terkenal dengan sebutan Jalur Gazza. Jalur sepanjang kurang lebih 500 meter itu menjadi kawasan bebas bagi kaum Lesbi, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Di kawasan ini, mereka tanpa malu-malu menunjukkan identitas dan orientasi seksualnya terhadap sesama sejenis. Empat bar yang berjejer di Jalan Dyana Pura yakni Mixwell, Bali Joe, Facebar, dan Bottom Up, menjadi tempat favorit kaum LGBT menikmati suasana Bali dengan ‘sesamanya’.
Di depan bar-bar itu, sejumlah transgender berdiri menjajakan diri. Sesekali ada yang hilir mudik menggunakan motor, berboncengan dengan yang sejenisnya. Jika ada yang melintas di depan mereka, dengan kemayu menggoda dan menjajakan diri.
"Jalan ini memang biasa kita sebut Jalur Gazza. Karena di sini banyak gay, lesbi dan waria mangkal," ujar seorang Gay berinisial D saat menemani merdeka.com, Rabu malam pekan lalu.
-
Apa yang dimaksud dengan LGBTQ? LGBTQ adalah singkatan dari Lesbian Gay Biseksual Transgender Queer. Ini merupakan sebuah kelompok atau komunitas yang mengarah pada jenis identitas seksual selain heteroseksual.
-
Kenapa penting untuk memahami LGBTQ? Penting bagi masyarakat untuk mnegedukasi diri sendiri terkait isu LGBTQ yang ada di masyarakat. . Dengan pemahaman ini, diharapkan setiap masyarakat bisa bijak dalam bersikap terhadap kelompok LGBTQ.
-
Kenapa gender dysphoria muncul? Timbulnya disforia gender sering terjadi pada masa kanak-kanak. Meskipun mekanisme pastinya tidak jelas, kita tahu bahwa anak-anak sudah diberi jenis kelamin sejak lahir. Jenis kelamin yang diberikan sejak lahir seharusnya menjadi penentu bagaimana mereka dibesarkan dan bagaimana orang lain berinteraksi dengan mereka. Seiring bertambahnya usia, mereka mungkin mulai merasakan ketidakcocokan antara identitas gender dengan jenis kelamin yang diberikan kepada mereka. Dalam beberapa kasus, ketidaksesuaian ini dapat menyebabkan perasaan gender dysphoria.
-
Apa itu gender dysphoria? Gender dysphoria mengacu pada perasaan tertekan dan ketidaknyamanan yang dialami seseorang ketika jenis kelamin yang ditetapkan tidak sesuai dengan identitas gender yang mereka miliki.
-
Bagaimana istilah LGBTQ digunakan untuk mengakui dan menghormati keragaman? LGBTQ digunakan untuk mengakui dan menghormati keragaman identitas gender dan orientasi seksual, serta untuk memperjuangkan hak-hak, penerimaan, dan kesetaraan bagi individu-individu dalam kelompok ini.
-
Bagaimana konflik antar kelompok terjadi? Konflik adalah warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
Pengunjung bar itu tidak hanya didominasi turis asing dari berbagai negara, tetapi juga gay lokal. D mengajak merdeka.com ke dalam salah satu bar. Dia sudah sangat akrab dengan pengunjung lain dan pramusaji di bar tersebut. Sesekali saling cium pipi kiri dan kanan ketika bertemu dengan koleganya. D menghampiri seorang bartender untuk memesan minuman alkohol untuk lebih meresapi hiburan yang disajikan. Baginya, masuk ke dalam klub malam tanpa minum alkohol seperti sayur tanpa garam. "Biar jogetnya enak aja sih kalau kena minuman," kata D.
Pesanan Vodca lechy lalu diantar ke meja yang sudah kami pesan. Jarum jam menunjukkan hampir jam 12 malam, ruangan itu semakin dipadati kaum homoseksual. Aroma minuman alkohol menusuk hidung, musik yang dimainkan seorang DJ mengisi seluruh rongga telinga. Suasana malam itu semakin panas ketika beberapa pasangan gay di dalam bar tak malu-malu bericuman sambil bertelanjang dada.
Di sudut lain, gay lokal mencoba mencuri perhatian gay bule dengan cara berjoget sambil menggodanya. Dari penuturan D, biasanya bule yang kecantol gay lokal adalah yang sudah uzur. Dia melanjutkan rata-rata orang asing yang datang ke gay bar dan mencari mangsa gay lokal kebanyakan sudah berumur di atas 50 tahun.
"Bule yang sudah tua itu gampang di plorotin duitnya. Kalau bule masih muda dan ganteng pasti sudah bawa pasangan sendiri," tutur D.
Suasana semakin meriah saat empat gogoboys dance naik ke atas meja bartender. Pengunjung yang tadinya asik menikmati minuman alkohol, bergegas berdiri sambil menyaksikan aksi dancer bercawat itu. Semua mata pengujung seolah terbius liukan tubuh pria berotot itu. Bahkan, beberapa pengunjung menyelipkan uang mulai dari Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu ke dalam cawat sambil memegang alat vital dancer boy.
"Kalau itu istilahnya nyawer," celetuk D saat menyaksikan seorang pria bule memasuKkan selembar uang berwarna biru ke celana dalam dancer boy.
Hiburan yang ditunggu-tunggu kaum homoseksual di gay bar itu tidak hanya gogoboys dance, ada juga beberapa tarian yang dilakukan oleh waria di atas panggung. Waria berpakaian seksi kerap menarik seorang pria bule untuk diajak joget. Ada yang menolak, banyak juga yang tergoda. Jika sudah di atas panggung waria itu tak segan-segan langsung memeluk dan mencium bibir pria bule bahkan menyentuh alat kelaminnya. Pengunjung yang menyaksikan itu, kompak bersorak sambil mengangkat botol bir mereka.
Dari empat bar di lokasi yang disebut jalur gaza itu, hanya Mixwell dan Bali Joe yang saban malam selalu dipadati pengunjung. Sedangkan dua bar sisanya sepi pengunjung. "Biasanya kalau bar yang sepi itu buat orang-orang yang mau beli cece (ekstasi). Buat yang mau kenceng aja, kalau Mixwell sama Bali Joe itu cuma minuman alkohol doang," kata D, menutup perbincangan malam itu.
Denyut kehidupan malam di Jalur Gazza, menjadi berkah bagi warga lokal. Sejumlah sopir taksi memarkirkan kendaraannya, menanti para turis pulang. Mereka mengais rupiah demi rupiah dari kantong pengunjung bar. Perbedaan bahasa tidak menjadi hambatan. Meski tidak fasih, mereka menawarkan jasa mengantar ke penginapan dengan menggunakan bahasa Inggris.
Mereka tak peduli dengan semua aktivitas yang dilakukan para gay dan transgender di dalam bar. Mereka tidak menggunakan argo untuk menentukan tarif. Kebanyakan menggunakan istilah borongan atau tembak harga. Rata-rata sekali antar tarifnya Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu. Mata Nyoman sudah terbiasa menyaksikan lelaki bermesraan dengan sesama jenis usai menghabiskan malam di gay bar.
"Ya terserah mereka mau ngapain, yang penting kita dapat sewa (penumpang)," singkat Nyoman, salah seorang sopir taksi.
Tak hanya Nyoman yang menjaring rezeki dari geliat aktivitas gay bar. Salah seorang tukang parkir juga hidup dari uang pengunjung bar. Sepengetahuannya, tidak pernah ada yang memprotes atau mempersoalkan keberadaan serta aktivitas di jalur Gazza. Di daerah itu kebanyakan rumah singgah bagi para turis, atau rumah makan dan toko souvenir.
"Jadi kalau bising tiap malam ya enggak masalah. Semakin banyak yang datang, saya juga makin banyak dapat rezeki," tutur lelaki mengenakan rompi orange itu tanpa mau menyebutkan namanya.