Kampanye Politik Kekinian yang Disukai Pemilih Muda
'Medan pertempuran' sesungguhnya di Pemilu 2024, akan banyak berada di media sosial.
Jihan (19) dan Kyla (17) belum tahu kapan hari pencoblosan Pemilu 2024 akan dilaksanakan. Pelajar SMA di kawasan Tebet, Jakarta Selatan itu tak terlalu mengikuti pemberitaan soal pemilu. Keduanya mengaku masih bingung menggunakan hak pilihnya untuk pertama kali.
Sementara Kenny (20) dan Fathan (19), dua mahasiswa dari salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung penasaran dan tak sabar ingin ikut mencoblos. Meski begitu, keduanya mengaku pasif mencari informasi seputar tahapan pelaksanaan pemilu.
-
Kapan Pemilu 2024? Sederet petahana calon legislatif (caleg) yang sempat menimbulkan kontroversi di DPR terancam tak lolos parlemen pada Pemilu 2024.
-
Mengapa Pemilu 2024 penting? Pemilu memegang peranan penting dalam sistem demokrasi sebagai alat untuk mengekspresikan kehendak rakyat, memilih pemimpin yang dianggap mampu mewakili dan melayani kepentingan rakyat, menciptakan tanggung jawab pemimpin terhadap rakyat, serta memperkuat sistem demokrasi.
-
Bagaimana Pemilu 2024 diatur? Pelaksanaan Pemilu ini diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Tahapan dan Jadwal Pemilu 2024. Regulasi ini diteken KPU RI Hasyim Asyari di Jakarta, 9 Juni 2022.
-
Apa tujuan utama dari Pemilu 2024? Pemilu merupakan wadah bagi rakyat untuk menjalankan demokrasi demi mempertahankan kedaulatan negara.
-
Apa saja yang menjadi tahapan pemilu 2024? Melansir dari berbagai sumber, berikut ini merdeka.com merangkum informasi tentang apa saja tahapan pemilu 2024, berikut jadwal serta alurnya. Simak ulasannya sebagai berikut. Tahapan Pemilu 2024 Dikutip dari laman KPU mereka merilis informasi tentang tahapan yang akan dilalui di pemilu 2024.
"Kalau misalkan ramai di Twitter, aku bakal nyari sih," kata Kenny dalam perbincangan dengan merdeka.com.
"Informasinya belum tahu. Tahunya 2024 kita nyoblos gitu, tapi belum tahu caranya gimana, terus harus ngapain aja, harus ke mana," sahut Fathan.
Jihan, Kyla, Kenny, dan Fathan kompak menjawab, sumber informasi terbesar mereka saat ini adalah platform media sosial. TikTok, Instagram, Facebook, Twitter, dan YouTube adalah aplikasi yang rutin dibuka setiap hari.
Saat pemilu kian dekat, keempatnya mengaku belum punya pilihan tetap soal partai, caleg, dan capres. Saking bingung karena banyak yang harus dipilih, Kenny mengatakan terpikir untuk golput saja.
Terkait jenis kampanye, keempat remaja generasi z ini menyukai model video pendek dan wawancara dalam bentuk podcast. Jihan menyebut, dalam podcast, jawaban tokoh politik yang diwawancarai menunjukkan kualitas mereka.
"Mungkin aku lebih suka lewat video atau lewat interview-interview gitu. Jadi kita bisa melihat aslinya gimana," kata Kyla menambahkan.
Keempatnya juga kompak menyatakan tidak suka model kampanye menggunakan poster, spanduk, dan baliho. Banyaknya alat peraga hanya merusak pemandangan ruang publik. Kenny menilai, isi baliho-baliho tidak menyampaikan substansi kampanye. Pesan komunikasinya tidak sampai.
"Jadi ada pesan yang ingin disampaikan, enggak cuma kasih tagline di poster," ujar Kenny.
Sementara Fathan mencontohkan, dalam berkampanye, baik parpol maupun caleg sebaiknya menyampaikan gagasan dan inovasi yang akan mereka lakukan. "Misalkan masalah pendidikan di Indonesia, nanti dia jabarkan masalahnya seperti apa, terus dia kasih tahu solusinya, gimana saat dia memimpin ke depannya gitu," ujarnya.
Suara para generasi Z yang diwancarai merdeka.com itu dinilai peneliti Charta Politika Adha Ranadireksa sebagai realitas yang terjadi di generasi muda saat ini. Meski banyak dicap tidak suka politik, generasi Z sebenarnya concern terhadap isu-isu demokrasi, korupsi, dan program-program pemerintah.
"Tapi memang bagaimana penyajian pendekatan ke mereka akan berbeda," ujarnya.
'Medan pertempuran' sesungguhnya di Pemilu 2024, lanjut Adha, akan banyak berada di media sosial. Ke depan, kalangan yang erat dengan medsos atau dunia maya akan lebih memainkan peran karena banjir informasi yang tidak sedikit berisi hoaks.
Sementara untuk kalangan 50 tahun atau generasi Baby Boomers, mereka akan menghadapi kegamangan atas berbagai informasi di internet seputar pemilu. Adha menyebut, justru gen z atau milenial yang akan berperan melakukan klarifikasi informasi.
"Misal bapak bertanya ke anaknya, benar enggak sih kandidat A melakukan sesuatu. Dan si anak yang lebih lincah mencari informasi melalui googling atau search di Twitter dan sebagainya. Itu akan sangat berpengaruh. Di situ pertarungan di 2024 yang akan terjadi," pungkas Adha.
Konten Receh dan Viral untuk Kampanye
Okky Asokawati, model senior yang terjun ke politik, akan mengikuti pemilu keempatnya sebagai bakal calon anggota DPR tahun depan. Okky pernah dua kali lolos ke Senayan pada pemilu 2009 dan 2014 ketika menjadi kader PPP. Namun saat pindah ke Partai NasDem dia tak terpilih meski masih bertarung di dapil yang sama, DKI Jakarta II.
Bagi Okky, membangun citra tentu tidak hanya sekadar jargon, tapi mendekatkan citra dengan realitas. Di NasDem, banyak pengurus dan anggota DPR yang bersal dari kalangan muda. NasDem juga concern terhadap isu-isu anak muda.
"Secara praksis, untuk menggaet pemilih muda, tentu harus mendekatkan dengan minat anak muda. Mulai dari soal kebutuhan dan ketertarikan anak muda. Salah satu yang bisa dilakukan dengan membuat pelatihan/training kepada anak-anak muda," kata Okky kepada merdeka.com.
Irfan Wahid, praktisi Komunikasi Politik dan Digital Marketing yang lebih dikenal dengan nama Ipang Wahid, dalam sebuah podcast di YouTube mengungkapkan pergeseran model kampanye sejak era media sosial mendominasi.
Model kampanye konvensional dilakukan dengan memberikan informasi searah dengan menggunakan televisi, radio, media cetak, bahkan di internet. Kini, model kampanye yang disukai adalah kampanye partisipatif. Dengan penetrasi internet di Indonesia yang mencapai 80 persen populasi, Ipang menyebut aplikasi Tiktok akan menjadi platform paling besar yang efektif untuk berkampanye.
"Pemilu 2024 itu rajanya TikTok. Sekarang zaman story telling. Pendekatannya menjadi lebih receh. Semakin receh semakin baik," ujarnya seperti dikutip dari YouTube Akbar Faizal Uncensored.
Ipang menambahkan, seseorang memilih kandidat baik caleg atau capres didasari karena alasan emosional dan rasional. Sebelum seorang kandidat bisa dipilih, dia harus melewati tahapan-tahapan kampanye seperti dikenal, diketahui, disukai, diyakini, dipercaya, dan akhirnya dipilih.
Setiap kandidat memiliki keunggulan masing-masing. Untuk itu kata Ipang, diperlukan survei internal sebagai cara mendiagnosis sebelum berkampanye. Dalam istilah marketing kekinian, syarat untuk seseorang dikenal dan viral adalah konten yang tersebar dengan luas.
"Konten adalah raja. Sebaran adalah ratu. Punya konten bagus tapi enggak nyebar, enggak ada gunanya," ujar Ipang.
Di media sosial, konten yang bagus akan membuat penonton penasaran dan bertahan untuk lanjut menyaksikan sampai selesai. 10 Detik pertama isi konten, kata Ipang, menjadi kunci sebuah konten menarik atau tidak. Meski begitu kadang sebuah konten yang sudah disiapkan agar menjadi viral, malah tidak sesuai harapan.
"TikTok, unpredictable. Yang kita pikir viral, ternyata tidak," ujarnya.
Soal anggaran kampanye capres 2024, Ipang menyebut angka 50-100 miliar rupiah per bulan bisa dikeluarkan untuk kampanye di media. Satu spot iklan dengan durasi 30 detik di televisi bernilai Rp60-100 juta. Jumlah akan membengkak jika waktu kampanye semakin panjang dan keterkenalan kandidat rendah.
Ipang menegaskan tak bisa memprediksi suatu konten bisa viral atau tidak. Namun, salah satu keunggulan berkampanye menggunakan media sosial adalah, jangkauannya bisa diukur. Seberapa luas konten itu tersebar dan berapa banyak telah ditonton.
Memahami Karakter Pemilih Pemula
Riset media sosial yang dilakukan Indonesia Indicator (I2) dalam tiga bulan terakhir (1 Desember 2022 - 11 Februari 2023), isu pemilu mendapatkan atensi cukup tinggi dari generasi milenial dan Gen Z. Sebarannya terjadi di seluruh wilayah.
Rustika Herlambang, Direktur Komunikasi Indonesia Indicator (I2) menjelaskan, ada dua karakter postingan capres di berbagai media sosial. Pertama, konten yang menginformasikan sosok, nama dan berbagai aktivitasnya.
Jenis kedua adalah konten yang menampilkan karakter capres yang sifatnya mengkomunikasikan, sehingga terlihat ada respons atas sebuah aktivitas atau sosok capres yang diinginkan, ada percakapan dua arah, antara pemberi informasi dan penerima informasi.
"Tidak ada yang lebih dan kurang dari dua karakter postingan itu," kata Rustika kepada merdeka.com.
Konteks sosial politik banyak mempengaruhi percakapan di media sosial. Misal dukungan partai Nasdem terhadap Anies, Rakernas PDIP, konstelasi politik atas koalisi partai, yang mengemuka di media online dan grup-grup di facebook (terutama grup relawan) menjadi rujukan informasi dan reaksi.
Pembahasan soal pemilu di usia 18-21 tahun, terbanyak dimunculkan dari platform Facebook, dengan berbagai respons atau postingan mengenai penvelenggaraan pemilu, survei, nama-nama kandidat, kekhawatiran akan adanya polarisasi.
Adapun nama yang muncul dalam percakapan ini adalah Puan, Prabowo, Anies, dan Ganjar. Nama-nama besar atau postingan partai sering menjadi pusat informasi bagi para generasi z usia 18-21 tahun.
Rustika menyebut, secara sentimen, respons dan postingan atas pemilu 2024 direspons positif dan emosi trust dan anticipation yang berisi dukungan kepada para kandidat dan penyelenggaraan pemilu yang demokratis, serta harapan pada pemilu dan kandidat capes.
"Termasuk harapan agar segera dimunculkan nama-nama kandidat capres," imbuhnya.
Untuk usia 22-30 tahun, Rustika mengungkapkan, platform yang paling banyak dimunculkan adalah Twitter. Isu terbanyak diangkat adalah pemilu proporsional terbuka atau tertutup.
Rustika memaparkan, dalam Pemilu 2024, hampir 60 persen pemilih didominasi oleh generasi milenial dan gen z. Mereka ini adalah anak-anak muda berkarakter kreatif, produktif, dekat dengan teknologi, melek digital, mudah berkomunikasi, terbuka.
"Netizen milenial cukup aktif merespons berita isu di media sosial terkait demokrasi, pilpres, kandidat cares. Apalagi anak generasi z, mereka hidup dengan teknologi. Kampanye dengan media sosial berperan cukup signifikan bagi anak-anak muda," ujarnya.
Bagi pemilih muda, kandidat yang disukai lebih pada kandidat yang memahami perasaan mereka berjiwa muda, dekat dengan media sosial, bicara dengan bahasa anak muda atau bisa berkomunikasi. "Dan yang terpenting bisa memberikan harapan, atau mimpi termasuk memberikan 'harga diri' untuk anak muda," ujarnya.
Saidiman Ahmad, peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menegaskan, secara umum, media kampanye di Pemilu 2024 tidak kan berubah banyak. Yang terjadi adalah pergeseran porsi dari masing-masing media kampanye. Penggunaan media internet akan lebih masif karena penetrasi internet ke masyarakat mengalami peningkatan.
Namun, Saidiman mewanti-wanti, cara yang paling efektif mengubah dan menetapkan pilihan pemilih sebenarnya adalah tatap muka langsung kandidat dengan calon. Tapi ini tidak mungkin dilakukan secara masif karena keterbatasan tenaga dan waktu sang calon.
Karena itu, sosialisasi gagasan dan profil calon melalui berita media, terutama televisi menjadi alternatif yang penting. Kemudian kampanye di media sosial dan pemasangan alat kampanye luar ruang.
Saidiman mengatakan, pertimbangan utama warga dalam memilih pemimpin adalah rekam jejak, kedekatan dengan rakyat, dan integritas. Untuk itu, dia berpesan semua instrumen kampanye sebaiknya mempertimbangkan bagaimana membuktikan pada publik mengenai rekam jejak calon, kedekatannya dengan publik, dan integritas.
Membandingkan dengan pemilih senior, Saidiman menegaskan, karakter utama pemilih muda adalah lebih kritis. Mereka bisa berpindah dari satu partai ke partai lain jika ada alasan yang cukup untuk melakukan itu. Misalnya, ada tawaran program dari satu partai yang lebih mengena pada kebutuhan mereka seperti pembukaan lapangan kerja.
"Anak muda, saya kira, lebih banyak melihat tawaran program, platform, dan rekam jejak dari partai ketimbang citra muda dan baru dari partai-partai tersebut," pungkasnya.
Reporter Magang: Rafi Indra Jaya Putra
(mdk/bal)