Karadenan kampung para raden
Karadenan kampung para raden. Memiliki gelar Raden tidak membuat warga Kaum, Karadenan menjadi jumawa karena dianggap masih keturunan ningrat. Keistimewaan yang dimiliki warga Kaum juga tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk bersosialisasi dengan warga lain.
Anda ingin memiliki keturunan berdarah biru? Silakan mencari jodoh di kampung ini. Jika mujur anda bisa menikah dengan yang bergelar raden.
Di Jalan Kaum I, Karadenan, Bogor, Jawa Barat, hampir sebagian besar warganya bergelar Raden. Gelar tersebut didapat warga secara turun temurun sejak zaman kerajaan Muara Beres. Muara Beres merupakan kerajaan kecil di bawah naungan Pajajaran yang melintasi Depok, Bojonggede, Cibinong, Jawa Barat.
Sambutan hangat diberikan Dadang Supadma (49) saat merdeka.com bertandang ke kediamannya siang menjelang sore, beberapa waktu lalu. Secangkir teh hangat disuguhkan sebelum tokoh masyarakat setempat itu bercerita soal gelar Raden yang dimilikinya dan warga lainnya. Dadang menceritakan alasan warganya memiliki gelar Raden, tidak lain mewarisi peninggalan nenek moyang mereka yang umumnya keturunan pangeran di Kerajaan Muara Beres. Warisan tersebut terus bersambung hingga anak cucu saat ini.
Menurut Dadang, warga Kaum, Karadenan sadar pentingnya kelestarian sejarah. Karena pada hakikatnya manusia tidak terlepas dari sejarah. "Kita kan pasti punya nenek moyang, bahasanya mah karuhunan, orang tua yang kasih kita nama Raden ya harus kita turunin ke anak cucu kita," ucap Dadang.
Perbincangan berlanjut semakin akrab dengan Dadang. Dalam perbincangan kala itu, Dadang sempat menyinggung butuh kesungguhan dalam menjaga kelestarian sejarah, khususnya gelar raden agar terus menurun ke keturunan selanjutnya. Selain itu para pendatang yang berdatangan bisa menjadi 'ancaman' tersendiri terhadap gelar Raden, karena gelar akan terputus jika perempuan Raden Ayu menikah dengan laki-laki yang tidak memiliki gelar Raden. Itu mengapa setiap perempuan di Kaum Karadenan dulunya harus menikah dengan laki-laki yang bergelar Raden.
Memiliki gelar Raden tidak membuat warga Kaum, Karadenan menjadi jumawa karena dianggap masih keturunan ningrat. Keistimewaan yang dimiliki warga Kaum juga tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk bersosialisasi dengan warga lainnya yang non- Raden.
-
Bagaimana KEK Singhasari memanfaatkan sejarah? Keunggulan lain dari KEK Singhasari yakni adanya sektor pariwisata dengan tema heritage and sejarah. Hal ini dilatarbelakangi nilai situs sejarah kerajaan Singhasari.
-
Di mana sejarah terasi dapat ditelusuri? Sejarah terasi di kawasan Cirebon dapat ditelusuri hingga masa kekuasaan Pangeran Cakrabuana, yang memainkan peran penting dalam perkembangan kawasan tersebut.
-
Bagaimana sejarah Museum di Puro Mangkunegaran? Museum ini terletak tak jauh dari Balai Kota Solo, berdasarkan sejarahnya, museum ini sudah dibangun sejak tahun 1867 dan dulunya digunakan sebagai kantor untuk De Javasche Bank Agentschap Soerakarta.
-
Apa bukti sejarah yang menunjukan kebesaran Purnawarman? “Inilah (tanda) sepasang telapak kaki yang seperti kaki Dewa Wisnu (pemelihara) ialah telapak yang mulia sang Purnawarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”.
-
Bagaimana Asisi Suharianto menyajikan kisah-kisah sejarah? Asisi dan sang istri pun mendapatkan pengalaman luar biasa selama keliling dunia. Keduanya bertemu dengan saksi mata maupun para korban perang masa lalu di beberapa negara.
-
Bagaimana Kerajaan Sriwijaya menguasai jalur perdagangan di perairan nusantara? Kerajaan Sriwijaya menguasai jalur perdagangan di perairan nusantara selama 400 tahun.Kota istana yang terletak di sekitaran kota Palembang juga dikenal sebagai “Venesia dari Timur”, terletak di arteri utama Jalur Sutra versi maritim.
Kampung Karadenan ©2016 Merdeka.com
Hal ini bisa dirasakan setiap perayaan Maulid Nabi, berbondong-bondong warga sekitar wilayah Kaum, Karadenan berkumpul di Masjid Al Atiqiyah, masjid peninggalan kerajaan Muara Beres yang juga diklaim warga sebagai masjid tertua di Bogor, Jawa Barat. Dikatakan Dadang, hampir seribuan masyarakat berkumpul di Masjid tersebut, duduk berdampingan tanpa melihat latar belakang sosial.
"(Gelar Raden) ini bukan untuk adu kekuatan siapa dari mana asalnya, kita hanya menjaga peninggalan nenek moyang kita terdahulu. Kita tidak mungkin bisa berdiri sendiri tanpa nenek moyang kita, apa yang diwariskan orang tua itu wajib kita lestarikan. Orang yang tidak menaruh Raden di namanya padahal dia keturunan yang memiliki trah Raden, itu sama saja tidak peduli dengan sejarah dan kebudayaan," selorohnya sambil tertawa ringan.
Merasa miskin malu bergelar raden
Pesan Dadang soal gelar Raden sepertinya tidak cukup melekat terhadap M Sadeli (27), pria yang sehari-hari bekerja di sebuah bengkel, tidak jauh dari gang sempit Jalan Kamu I. Saat berbincang dengan merdeka.com dia mengaku bergelar Raden sejak lahir. Namun kondisi ekonomi 'memaksanya' meninggalkan gelar itu. malu katanya.
"Ya malu aja kang, masa raden gawe (kerja) begini. Raden mah biasanya kaya, tanah luas, makmur, tapi kalau di sini (Karadenan) biasa aja. Jadinya banyak yang malu punya nama raden teh," ujar Sadeli.
Padahal gelar Raden sudah dijelaskan oleh Dadang, bukan sebagai ajang unjuk gigi terhadap status sosial. Baginya menjaga peninggalan nenek moyang sangatlah penting demi kelestarian sejarah dan budaya itu sendiri.
Gelar Raden di Karadenan memang masih banyak. Ratusan warga di RW 04 memiliki gelar raden. Pegawai Kelurahan Karadenan, Taufik menyebut, dari 5 RT di RW 04, tiga RT di antaranya warga asli. Warga di tiga RT itu sebagian besar bergelar raden.
Kelurahan Karadenan ©2016 Merdeka.com
"Di RW itu itu sebagian besar memang masih bergelar raden. Turun temurun di dapat dari orang tua mereka. Kan katanya dulu di situ bekas kerajaan, dan warga asli di situ masih keturunan pendiri kerajaan," ujar Taufik.
Menikah sesama raden
Dadang bercerita, wanita bergelar raden di wilayahnya dilarang untuk menikah dengan orang luar yang tidak bergelar raden. Hal ini untuk mempertahankan trah raden di Karadenan. Namun aturan ini tidak berlaku bagi kaum adam.
"Kalau anak perempuan juga bergelar raden, tetapi kalau dia menikah dengan pria yang bukan raden, maka trahnya terputus, sehingga anak mereka tidak boleh pakai gelar raden. Tetapi kalau anak laki-laki, meskipun dia menikah dengan perempuan bukan raden, anaknya tetap raden," ujarnya.
Namun aturan tidak tertulis itu kini sudah mulai luntur. Perkembangan zaman tidak lagi bisa dibatasi dengan aturan tersebut.
Masjid Al Atiqiyah di Karadenan ©2016 Merdeka.com
"Sekarang mah bebas saja. Dua mantu saya juga dari Jawa, bukan raden. Gak papalah, yang penting jangan lupa saja sama silsilah. kan kita mah punya gelar raden bukan karena merasa paling tinggi atau hebat, tetapi kita mah sekadar melestarikan tradisi peninggalan karuhun," imbuhnya.
Baca juga:
Jejak Kerajaan Muara Beres di Cibinong
Menjaga pusaka merawat budaya
Goa Istana Alas Purwo, tempat wisata para spritualis
Melihat penyucian gamelan ratusan tahun di Istana Mangkunegaran
Dewan Adat tolak Raja Gowa ke-37
Cerita Panji ajarkan kosmologi Jawa 'kiblat papat kalima pancer'