Kendala senggama beda agama
Pasangan mesti berpura-pura pindah agama agar bisa menikah.
Sempat menerima tentangan dari keluarga calon mempelai perempuan, langkah pertama Yohanes Budi Santoso membina bahtera rumah tangganya terasa berat. Perbedaan keyakinan menjadi satu-satunya alasan terbesar.
"Yah, kita sejak awal tak mau mengganggu kepercayaan masing-masing, Kita melakukan ijab kabul sekaligus pemberkatan di gereja," kata Budi kepada merdeka.com di Jakarta kemarin.
Sembilan tahun lalu, dia memutuskan menikah diam-diam di Jawa Tengah. Budi berpura-pura masuk Islam saat mengucapkan akad di Kantor Urusan Agama (KUA) bersama istri.
Setelah itu, dia mengikat janji di gereja dalam prosesi pemberkatan secara Katolik. Menurut lelaki asli Jawa ini, agama Katolik lebih lentur menerima perkawinan beda keyakinan. Malahan pastor di gerejanya menyatakan tidak perlu pindah agama bagi pasangan berbeda iman.
"Kalau di Katolik ada dispensasi buat perkawinan beda agama. Terpenting tak ada perceraian karena hukumnya hanya maut memisahkan," ujar lelaki 38 tahun ini. Dari hasil berunding dengan istrinya, kedua anaknya dibolehkan menganut Katolik.
Perkawinan beda agama ini masih menjadi masalah serius. Inilah membikin lima orang besok mengajukan uji materi terhadap pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Salah satu pemohon, Luthfi Saputra, menilai keharusan berpindah agama agar sama dengan pasangannya sebelum menikah adalah tindakan mengakali agama. "Ini sudah lama terjadi akibat tidak ada kejelasan atau kepastian hukum dari pasal tersebut," tuturnya.