Kepingan kecil konflik Turki-Rusia
Presiden Rusia Vladimir Putin merasa ditusuk dari belakang oleh Turki dan menganggap Turki sebagai antek teroris.
Bagaimana kita seharusnya melihat ketegangan yang muncul antara Turki dan Rusia pasca penembakan pesawat jet Rusia Su-24 oleh jet tempur F-16 Turki di perbatasan Turki-Suriah pada Selasa lalu? (24/11). Yang kita tahu dari media, Presiden Rusia Vladimir Putin merasa ditusuk dari belakang oleh Turki dan menganggap Turki antek teroris serta bereaksi dengan menempatkan sistem pertahanan udara tercanggih yaitu rudal jarak jauh S-400 di pangkalan militer Latakia, Suriah.
Di sisi lain Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan membela tindakan negaranya karena
menganggap apa yang dilakukan prajuritnya adalah untuk mempertahankan wilayahnya dan sudah sesuai dengan prosedur (rule of engagement).
Untuk memahami konflik teranyar di atas bumi Suriah yang melibatkan kedua negara di luar Suriah itu memang harus dieja dari banyaknya kepingan-kepingan mozaik yang membentuk gambar dan peta dari suatu visi dan rencana yang dibuat untuk kawasan Timur Tengah.
Kepingan itu terkait dengan keberhasilan ISIS memancing Perancis untuk menurunkan
pasukan ke Suriah pasca serangan teror yang diklaim ISIS di Paris 13 November lalu. Ia tak terpisah pula dengan kepingan narasi adanya dua blok terkait keberadaan Presiden Bashar Al Assad yang diharapkan enyah oleh Turki, Uni Eropa, Arab Saudi dan AS tapi didukung oleh sekutu kuatnya, Iran dan Rusia. Tak percaya?
Meski kita harus tetap skeptis, cukup menarik membaca artikel pengamat Mahdi Darius
Nazemroaya yang berjudul “Plans for Redrawing the Middle East: the Project for a New
Middle East“, yang awalnya diterbitkan oleh Global Research pada 18 November 2006
namun diterbitkan kembali pada 4 September 2015 karena dianggap relevan dalam memahami terjadinya destabilisasi dan fragmentasi politik di Irak, Suriah dan Yaman saat ini.
Menurut Nazemroaya, destabilisasi Suriah, atau instabilitas Suriah (kalau anda tidak setuju dengan istilah yang pertama) merupakan bagian dari instabilitas dan kekacauan yang berkaitan dengan proyek “New Middle East (Timur Tengah Baru)“ yang diluncurkan oleh Menlu AS, Condoleezza Rice di Tel Aviv pada Juni 2006 untuk menggantikan istilah dan konsep lama “Greater Middle East (Timur Tengah Raya)“.
Peluncuran konsep baru itu menurut Nazemroaya mengkonfirmasi peta jalan (road map) militer Anglo-Amerika-Israel di Timur Tengah. Dalam peta jalan yang telah dipersiapkan
bertahun-tahun ini terkandung di dalamya apa yang disebut sebagai keperluan untuk
melepaskan kekuatan “constructive chaos“ yaitu penciptaan kondisi kekacauan dan
peperangan di kawasan Timur Tengah yang pada akhirnya bisa dimanfaatkan sehingga AS, Inggris dan Israel bisa merubah (redraw) peta Timur Tengah sesuai keperluan dan sasaran geostrategis mereka.
Apakah ISIS kemudian masuk kategori kekuatan dimaksud? Silakan anda nilai sendiri. Tapi
anda juga perlu perhatikan pandangan Richard Barret, mantan Ketua Counterterrorism
badan intelijen Inggris, MI6, yang dalam wawancaranya dengan Mehdi Hassan dalam acara televisi berita Al Jazeera English, Up Front (20/11) menyatakan bahwa ISIS berhasil menjalankan tugasnya yaitu menarik (melegitimasi) kekuatan militer Barat (Perancis) turun
ke Suriah dan menarik simpati kaum radikal di Eropa dan Timur Tengah untuk terlibat dalam kekacauan ini.
Ketika strategi ini dirancang disadari bahwa hal ini akan menimbulkan penderitaan utamanya bagi rakyat tak berdosa di negara-negara Timur Tengah itu. Tetapi menurut Nazemroaya, Condoleezza Rice khususnya dalam kasus penderitaan Lebanon oleh serangan militer Israel ketika itu meyakini bahwa hal itu merupakan “birth pang“ (penderitaan yang terasakan oleh seorang ibu waktu melahirkan) yang dianggap perlu bagi kelahiran sebuah peta Timur Tengah Baru.
Menurut Nazemroaya pula, peta yang dibuat oleh Letkol Ralph Peters dan dibentangkan di
Military College NATO di Roma setelah mendapat persetujuan National War Academy AS
itu mendapat reaksi kemurkaan dari Turki karena adanya wilayah Free Kurdistan yang
menggerogoti wilayahnya. Kepala Staf Angkatan Bersenjata Turki Jenderal Buyukanit
segera mengontak rekannya Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata AS, Jenderal
Peter Pace yang segera berusaha meyakinkan Turki bahwa peta itu tak mencerminkan
kebijakan dan resmi dan sasaran AS di Timur Tengah.
Di titik ini kita melihat kaitan beberapa kepingan mozaik lain. Penembakan pesawat Rusia
oleh Turki di tengah telah adanya koordinasi gerakan angkatan udara antara AS dan Rusia bisa dibaca sebagai pengiriman pesan ketidaksukaan Turki karena alienasi oleh anggota NATO lain utamanya oleh AS seperti yang selama ini dirasakan oleh Turki.
Di sisi lain ada kepingan lain yang berhubungan seperti analisis Keith K.C. Hui di Foreign
Policy in Focus (16/10) yang menyatakan bahwa tanpa ada kompromi terlebih dahulu tak
mungkin terjadi pertemuan empat mata antara Obama dan Putin di gedung PBB pada 19 September 2015 yang dilanjutkan dengan pertemuan Menlu AS John Kerry dan Menlu Rusia Sergey Lavrov sehari sesudahnya di tempat yang sama yang diduga memberi legitimasi intervensi Rusia di Suriah.
Keith K.C. Hui menganalisis pula bahwa serangan udara Rusia di Suriah adalah upaya
Moskow untuk menguasai wilayah Suriah seluas mungkin atas nama Bashar Al Assad. Ini
tentu tak bisa lepas dengan rencana pembuatan peta baru Timur Tengah yang mulai
dijalankan. Jadi, mari kita terus membaca dan memahami suatu kepingan berita kecil dalam konteks gambar yang lebih besar.