Ketandan, Kampung China di tengah meriahnya Malioboro
Jalan Malioboro merupakan sejarah eksistensi etnis Tionghoa di Yogyakarta.
Siang atau malam hari, Malioboro tidak pernah sepi dari para turis yang berjalan kaki sepanjang jalan. Ramai penjual baju hingga angkringan di sepanjang jalan membuat jantung Kota Yogyakarta ini berciri khas tersendiri. Salah satunya Jalan Malioboro.
Di jalan ini, banyak cerita sejarah. Salah satunya tentang eksistensi etnis Tionghoa di Yogyakarta. Mungkin, tak banyak yang tahu, salah satu jalan yang membelah Malioboro dulunya adalah kampung China. Kampung itu berada di Jalan Ketandan, tak jauh dari pusat perbelanjaan Ramayana Malioboro.
Jika menyusuri Jalan Malioboro melalui sisi timur, akan terlihat gerbang setinggi tujuh meter dengan ukiran naga melingkari pada kedua tiang penanda pintu masuk jalan. Tiang dengan bentuk dan ukiran khas Tionghoa ini menjadi ciri bahwa jalan tersebut merupakan kampung pecinan.
Di atas gerbang tertulis 'Kampoeng Ketandan' di atas di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan huruf China. Di kawasan Kampung Ketandan ini masih banyak terdapat rumah bertingkat dengan arsitektur khas Tionghoa tempo dulu. Rumah-rumah di Jalan Ketandan tersebut kini banyak yang menjadi toko yang menjual sandal. Banyak juga rumah-rumah yang dibiarkan kosong tidak dihuni.
"Dulu kakek saya jualan sembako di sini. Tapi sekarang sudah tidak laku. Warga di sini (Kampung Ketandan) sekarang beralih banyak jual emas," ujar Enci, salah satu warga Jalan Ketandan saat berbincang dengan merdeka.com beberapa waktu lalu.
Pemerintah Kota Yogyakarta sendiri telah menetapkan Kampung Ketandan sebagai kawasan Pecinan. Bangunan-bangunan di kawasan ini akan dibuat dengan gaya Tionghoa. Sementara bangunan yang sudah atau masih berarsitektur Tionghoa akan dipertahankan.
Dalam berbagai literatur, Kampung Pecinan di Yogyakarta ini telah ada sejak zaman Belanda. Kampung Pecinan Ketandan diperkirakan muncul pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Pada masa itu Pemerintah kolonial Belanda sedang menerapkan aturan untuk membatasi pergerakan serta wilayah tinggal para warga Tionghoa.
Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono II, warga Tionghoa akhirnya dapat menetap di tanah yang terletak di utara pasar Beringharjo. Sultan saat itu berharap aktivitas pasar terdorong oleh perdagangan mereka. Saat itu para etnis Tionghoa membuka pasar sembako tetapi kemudian mereka beralih menjual emas. Sejak saat itu juga banyak warga China di kampung itu yang menjual emas.
"Nek wong Chino yang tinggal di situ (Jalan Ketandan) itu banyak yang jadi penjual emas. Dan memang yang jual emas banyaknya orang China di sini. Sukses-sukses mas, wong emas yang dijual kok masa ndak sugih (kaya)," ujar Kasmono, penjual angkringan dekat Jalan Ketandan.
Literatur lain menyebut, asal muasal Kampung Ketandan berasal dari kata ka-tanda-an, yang berarti tempat seorang tanda atau penarik pajak. Dulu di era Sri Sultan Hamengku Buwono II, beberapa warga Etnis Tionghoa diberi tempat tinggal di daerah tersebut. Mereka kemudian diminta menjadi penarik pajak warga Tionghoa yang tinggal di sekitar wilayah Yogya. Karena dihuni oleh para etnis Tionghoa yang berprofesi sebagai tanda atau penrik pajak, lama kelamaan nama kampung itu itu menjadi Ketandan.
Namun resmi disebut Kampung China baru pada tahun 2006. Hal itu seiring dengan era reformasi di Indonesia. Bahkan setiap menyambut Tahun Baru Imlek di Kampung Ketandan diadakan Pekan Budaya Tionghoa. seperti kampung-kampung China di tempat lain, di wilayah ini juga meriah saat perayaan Imlek. Barongsai dan petasan menjadi ciri khas perayaan.
"Wah ramene nek Imlek no. Ada pertunjukan barongsai, lombok mercon, ada tarian naga. Pokoke nek imlek ramai banget, tapi nek gak imlek yang sepi begitu," ujar Kasmono.
Kampung Ketandan juga menjadi bukti akulturasi warga China dengan warga keraton Yogyakarta. Hingga kini masih banyak warga etnis Tionghoa yang bermukim di kawasan tersebit. "Kalau saya dari empat bersaudara, cuma saya dan suami dan anak yang tinggal di sini. Adik sama kakak saya mencar, ada yang di Godean, ada yang Semarang dan Surabaya. Kakek buyut dulu tinggal di sini semua, tapi zaman sudah berubah anak-anak sekarang sudah banyak yang mencar-mencar," ujar Enci yang sore itu sedang menunggu toko sandalnya.
Menurut Enci, Yogyakarta adalah tempat yang nyaman dan aman untuk tinggal dan usaha. Meski ada beberapa yang dia rasa tidak berkenan, namun dia memilih memendamnya.
"Aku jowo juga saget. Saget banget malahan, tapi bahasa China juga bisa. Itu warisan budaya dari leluhur jadi harus saya pertahankan juga," katanya.
Maliboro adalah potret harmonisasi jual beli. Di sepanjang jalan terdapat toko-toko yang menjual baju, kaos dan batik. Padahal di sepanjang trotoar jalan, para pedagang kaki lima juga menjual barang yang nyaris sama. Meski demikian tidak pernah saling bermusuhan.
"Coba lihat itu toko batik, depannya PKL juga jual batik dengan harga lebih murah. Tapi di sini itu tidak saling ganggu. Rezeki milik masing-masing tidak mungkin ketukar. Di sini semuanya harmonis. Tidak pandang Jawa atau bukan. Selama bagus, murah dan cocok orang bakal beli," ujarnya lagi.