Ketua KPAI Susanto: Tingginya Perkawinan Anak Membahayakan Kualitas Generasi
Angka perkawinan anak di Indonesia tercatat masih cukup tinggi. Meski Undang-undang 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak kini mensyaratkan usia pernikahan minimal 19 tahun, banyak remaja perempuan putus sekolah menikah dini karena orang tua tak punya biaya melanjutkan ke SMA.
Angka perkawinan anak di Indonesia tercatat masih cukup tinggi. Meski Undang-undang 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak kini mensyaratkan usia pernikahan minimal 19 tahun, banyak remaja perempuan putus sekolah menikah dini karena orang tua tak punya biaya melanjutkan ke SMA.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengajak semua pihak, pemerintah daerah dan pihak swasta untuk membuat kebijakan komprehensif mencegah perkawinan anak.
-
Kapan Diah Permatasari dan suaminya menikah? Mereka mengucapkan janji suci pada tanggal 5 April 1997. Kini, mereka telah menikah selama 24 tahun dan diberkati dengan kedua anak mereka.
-
Kenapa ucapan pernikahan penting? Tak sekedar mengikat janji suci, kedua pasangan juga akan berbagi kebahagiaan dengan keluarga dan orang terdekat mereka.
-
Kapan Winda menikah? Menikah di usia 22 tahun, Winda pun memutuskan untuk vakum dari dunia hiburan.
-
Kapan Dastia Prajak menikah? Dastia Prajak mengakhiri masa lajangnya pada Maret 2021.
-
Kapan Winda Khair menikah? Seperti yang telah diketahui, Winda Khair menikah dengan seorang anggota TNI AD bernama Achmad Zaki pada tahun 2015.
-
Kapan Ghea Indrawari berencana menikah? "Fun fact, dari aku kecil, aku bilang ke teman-teman aku paling cepat nikah umur 30,"
Ketua KPAI Susanto mengungkapkan, di berbagai daerah, banyak orang tua yang tak punya biaya menyekolahkan anaknya ke tingkat SMA memilih menikahkan putrinya. Susanto berharap peran pemerintah daerah menggratiskan pendidikan tingkat atas.
Demikian juga dengan perusahaan yang menerima karyawan di bawah umur. Susanto berharap, praktik-praktik itu tidak dilakukan lagi. Sebaliknya, dunia usaha melalui dana corporate social responsibility (CSR) harus lebih berperan membantu dunia pendidikan.
KPAI juga menyoroti masih tingginya budaya permisif di kalangan masyarakat terhadap perkawinan anak.
"Kami malah senang kalau kemudian lingkungan sosial berperan serta memberikan literasi mencerahkan agar lingkungan kita terbangun menjadi lingkungan yang tidak mengizinkan praktik perkawinan usia anak," kata Susanto kepada merdeka.com.
KPAI juga mengkhawatirkan generasi yang lahir dari perkawinan anak dengan pola pengasuhan dari orang tua yang belum cukup matang.
"Kalau generasi kita semakin banyak lahir dari disfungsi-disfungsi pengasuhan karena ayah ibunya belum cukup umur, ini akan membahayakan bagi kualitas bangsa Indonesia ke depan," ujarnya.
Berikut wawancara lengkap wartawan merdeka.com, Alma Fikhasari dengan Ketua KPAI Susanto:
Perkawinan anak di Indonesia tertinggi ke-8 sedunia, ke-2 di ASEAN, bagaimana KPAI melihatnya?
Tantangan di Indonesia memang berbeda dengan tantangan di berbagai negara. Pertama adalah tantangan budaya. Masih ada sebagian masyarakat kita yang punya budaya menikahkan pada usia dini sepanjang yang bersangkutan mendapatkan izin dari orang tuanya, apalagi sudah baligh dan sebagainya. Itu merupakan tantangan besar yang ini bisa menghambat laju upaya pencegahan pernikahan anak
Tantangan kedua adalah tantangan dalam konteks pengasuhan. Kenapa kami masukkan pengasuhan menjadi tantangan tersendiri? Karena faktanya, meskipun regulasi UU 35/2014 telah mengatur secara normatif bahwa orang tua wajib mencegah perkawinan usia anak. Tapi faktanya dalam beberapa kasus banyak orang tua yang mengizinkan bahkan juga menyuruh anak menikah pada usia dini, yang sejatinya melanggar UU. Maka tentu pengasuhan harus juga dipastikan agar ayah bundanya punya kesadaran untuk mencegah perkawinan pada usia anak.
Tantangan ketiga adalah soal pemahaman agama. Memang agama tertentu misalnya, asalkan sudah usia baligh itu memang diizinkan. Tapi kan sebenarnya kita harus melihat secara komprehensif karena di UU perkawinan kita sejatinya adalah perkawinan harus tercatat oleh negara, karena ini bagian dari upaya proteksi.
Sementara bagi anak kita yang menikah di bawah 19 tahun otomatis tidak tercatat secara negara. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi upaya pencegahan perkawinan anak
Terakhir, hemat kami yang juga menjadi tantangan adalah tantangan permisifitas lingkungan sosial. Ada beberapa kasus yang secara sosial memang enggak apa-apa lah gitu karena faktor ekonomi dan sebagainya, secara sosial diizinkan.
Kami malah senang kalau kemudian lingkungan sosial berperan serta memberikan literasi mencerahkan agar lingkungan kita terbangun menjadi lingkungan yang tidak mengizinkan praktik perkawinan usia anak. Kenapa perkawinan anak tidak diizinkan? Karena mempunyai dampak yang cukup kompleks dampak kesehatan, dampak reproduksi, dampak pengasuhan bagi keturunannya dan dampak-dampak yang lain.
Berapa banyak dispensasi perkawinan anak di Indonesia selama ini?
Pada saat kita mengundang dari MA mengutus salah satu pejabat, saya lupa data rincinnya tapi pada prinsipnya dispensasi perkawinan anak di Indonesia masih tinggi. Meskipun sebenarnya kita sudah punya Peraturan MA karena di dalam Perma itu diatur bahwa prinsip-prinsip hakim memberikan izin dispensasi perkawinan.
Karena pengetatan izin itu semata-mata untuk kepentingan terbaik bagi anak, jangan sampai longgar memberikan izin. Masak semua diizinkan padahal yang bersangkutan katakan lah masih butuh mematangkan diri, butuh sekolah dan sebagainya.
Makanya kami menyampaikan kita bangga ada nya UU baru bahwa usia menikah saat ini meningkat, dari 16 tahun jadi 19 tahun, laki-laki dan perempuan setara. Tetapi kebanggan kita terhadap kemajuan norma ini harus diiringi dengan kebijakan lain. Contoh misal kebijakan layanan pendidikan, misal dalam beberapa kasus anak menikah pada usai lulus SMP karena enggak punya biaya untuk melanjutkan sekolah di SMA.
Akan sangat baik kalau pimpinan di daerah membuat kebijakan gratis bagi pendidikan SMA/MA atau satuan pendidikan di tingkat SMA. Semakin banyak yang gratis, maka anak-anak kita juga akan memilih untuk sekolah dibandingkan memilih untuk menikah.
Apa dampak tingginya angka perkawinan anak di Indonesia?
Sebenarnya dampak domino bagi banyak hal. Pertama kalau banyak yang menikah pada usia anak, itu dalam beberapa banyak kasus misalkan, kerentanan perceraian, kerentanan kualitas pengasuhan, kerentanan dalam menyiapkan anak-anak generasi kita menjadi generasi baik.
Kalau generasi kita semakin banyak lahir dari disfungsi-disfungsi pengasuhan karena ayah ibunya belum cukup umur, ini akan membahayakan bagi kualitas bangsa Indonesia ke depan. Bagaimana kita mau negara yang kompetitif dan maju kalau kemudian kita diisi oleh SDM-SDM yang tidak berkualitas. Sebenarnya ini efek yang sangat besar.
Apa yang sudah dilakukan KPAI menekan angka perkawinan anak tidak semakin tinggi?
KPAI tentu melakukan fungsinya sesuai dengan fungsi yang dilekatkan oleh UU. Tentu kita akan terus memaksimalkan melakukan advokasi dan pengawasan agar upaya pencegahan perkawinan anak itu memang bisa benar-benar optimal.
Karena pencegahan perkawinan anak ini memang melibatkan lintas sektor. Pemerintah daerah harus melakukan inovasi banyak kebijakan. Yang kedua, sektor dunia usaha juga harus katakanlah melakukan banyak inovasi. Ada beberapa sektor dunia usaha yang masih permisif. Misalkan anak putus sekolah kemudian bekerja di perusahaan tertentu diizinkan dengan waktu yang sebenarnya melanggar UU.
Misalnya kalau semakin banyak peran-peran dunia usaha katakanlah CSR memberikan perhatian, memberikan pendidikan gratis bagi anak kelompok rentan, itu juga akan memperkuat komunitas kita yang rentan putus sekolah menjadi sekolah. Karena banyak anak-anak yang putus sekolah menikah pada usia dini.
Kasus anak putus sekolah akhirnya menikah masih banyak di Indonesia?
Masih banyak di beberapa daerah. Jangankan daerah terpencil karena mereka punya tantangan kultural juga tantangan yang lain geografis dan lain sebagainya, daerah yang tidak terpencil pun masih banyak.
Bagaimana peran pemerintah selama ini mencegah perkawinan anak?
Tentu kita harus gotong-royong, jangan aspek pencegahan perkawinan anak ini jangan hanya dilihat bahwa ini kewajiban negara tetapi juga menjadi kewajiban kita semua. Kalau kemudian kita berpikir bahwa ini akan menjadi negara besar atas partisipasi kita semua atas negara, masyarakat, dunia usaha maka hemat kami kita harus bisa menjadi negara besar dengan bukan hanya jumlah dari sisi penduduknya, tapi juga jumlah dari sisi generasi yang berkualitas.
Karena kalau kita hanya bangga dengan jumlah penduduk yang besar seperti negara kita yang diisi oleh anak-anak yang kurang berkualitas, tentu kita khawatir negara kita menjadi negara menjadi lemah.
(mdk/bal)