Mengintip komunitas lesbi di Kota Tua
"Biasanya itu malem minggu yang ramai. Kalau hari biasa kayak gini paling hanya beberapa orang saja yang datang."
Menjelang tengah malam, kawasan Kota Tua, Jakarta Pusat, masih menjadi tempat favorit bagi pasangan muda-mudi untuk memadu kasih. Semua tindakan asusila terlihat nyata dalam jarak sangat dekat di bawah keremangan lampu taman, atau di kegelapan sudut-sudutnya.
Suasana kota tua pada saat malam hari, tidak hanya dimanfaatkan oleh pasangan kekasih untuk melepas syahwat. Keremangan lampu taman juga dimanfaatkan oleh perempuan pecinta sesama jenis (lesbi), yang asyik nongkrong dengan pasanganya. Mereka mengambil tempat di sebelah kanan pelataran Museum Fatahillah tepatnya di bawah tiga pohon kelapa dan meriam peninggalan Portugis.
"Biasanya itu malem minggu yang ramai. Kalau hari biasa kayak gini paling hanya beberapa orang saja yang datang," ujar seorang perempuan tomboi yang mengaku bernama Ray, saat mengawali perbincangan dengan merdeka.com, Rabu pekan lalu.
Wanita berambut bondol bercelana levis dengan sobekan di bagian paha dan dengkul ini mengaku, tidak tahu pasti sejak kapan mereka menjadikan sudut kanan Museum Fatahillah sebagai tempat mangkal. Menurutnya, komunitas lesbi tersebut baru ramai sejak beberapa tahun lalu.
"Awalnya dari sosial media. Dari situ baru kita cari tempat buat ketemu, nongkrong bareng. Yang cocok yah di kawasan kota tua ini," kata Ray, dia melanjutkan rata-rata anggota komunitas lesbi di kota tua ini adalah masih berusia 15-25 tahun.
Wanita yang mengaku tomboi sejak kecil ini menjelaskan, komunitas lesbi memiliki dua peran. Ada yang menjadi buchi (pria) ada yang menjadi femi (perempuan). Menurut pengalamannya mengapa seseorang menjadi lesbi, ada beberapa faktor. Yaitu, faktor fisik dan hormon, sakit hati karena disakiti oleh laki-laki, dan faktor lingkungan ketika seseorang bergaul dengan komunitas atau teman yang lesbi dan menemukan kenyamanan maka kemungkinan besar akan menular atau ikut menjadi bagian dari komunitas tersebut.
"Kalau Buchi biasanya emang sudah bawaan hormon. Tapi kalau Femi itu lesbi sering kayak disakiti sama cowok. Terus merasa nyaman sama cewek yang kayak gue gini," kata Ray seraya tersenyum.
Meski demikian dia mengaku sadar bahwa prilaku seperti ini tidak bisa dieterima oleh keluarganya. Bahkan Ray nekat hingga tua nanti dia tidak akan pernah menikah karena tidak memiliki orientasi seks dengan seorang pria.
"Gue ngerasa cowok, kalaupun nikah gue mau sama cewek, bukan cowo. Tapikan gak mungkin di Indonesia nikah sesama jenis," ucapnya.
Menanggapi fenomena seperti ini, Ketua Arus Pelangi yang juga Kordinator Nasional Forum LGBTI Indonesia
Yuli Rustinawati mengatakan, lesbian bukanlah perilaku seks penyimpang melainkan bawaan genetik seseorang yang terjadi sejak kecil.
"Kita tidak bisa menyalahkan mereka. Karena mereka sendiri memiliki orientasi seksnya itu dengan sesama jenis. Bisa saja mereka sendiri mulai merasakan itu ketika puber," jelasnya.
Dia melanjutkan, kondisi seperti ini tidak bisa disalahkan oleh keluarga ataupun masyarakat, melainkan perlu adanya dukungan dan memberikan pengarahan terhadap kaum minoritas tersebut.
"Jadi jangan dikucilkan, tapi kita rangkul, bila perlu kita kasih ruang bagi mereka. Pemerintah juga harus bisa memberikan perlindungan terhadap kelompok LGBT di Indonesia," pungkasnya.