Leadership Soekarno dan Jembatan Semanggi
Untuk sebuah keyakinan, kita perlu "leadership" yang berani mengambil risiko. Jadi, Anda mau leadership apa dealership.
Dalam pertemuan santai di sebuah saung, dengan beberapa teman yang tiba-tiba mengajak diskusi, kami dikagetkan sebuah bercandaan yang menggelitik tapi menohok. Dia mempertanyakan, apakah sebenarnya yang dicari oleh orang Indonesia, seorang "leadership" atau "dealership"?
Tentu saja sekumpulan yang ada di situ terbahak. Tapi, ini justru jadi titik paling penting sepanjang pertemuan reuni kecil-kecilan tersebut. Pembahasan malah merambah lebih jauh. Apalagi menjelang Pemilu 2014, di mana kita mulai memikirkan calon presiden. Adalah masuk akal kalau kita menakar siapa yang layak memimpin negeri yang sama-sama kita agungkan ini.
Pembaca kolom Inspira yang terhormat, bukan maksud penulis untuk membahas politik di halaman ini. Namun, hanya ingin berbagi hasil diskusi yang semoga bisa memberikan manfaat pada pembaca, terutama Anda yang sedang belajar mandiri dengan kreativitas dan potensi yang Anda dimiliki.
Leadership dan Dealership, tentu saja sangat berbeda jauh. Dalam arti harafiahnya, leadership (kepemimpinan) adalah orang yang memiliki visi jauh ke depan, mempertimbangkan banyak faktor, berani mengambil risiko dalam memperjuangkan visi yang diyakininya meski menghadapi kendala. Barangkali itu salah satu versi tentang kepemimpinan. Jiwa kepemimpinan dalam keputusan, mempertimbangkan banyak segi, tidak sembrono. Dalam kadar tertentu, orang melihat seorang leader itu aneh.
Sementara makna dealership, adalah individu atau perusahaan yang membeli barang dari produsen atau distributor untuk grosir dan atau menjual kembali retail. Dealership unggul karena dia paling dekat dengan pusatnya. Pendekatannya, transaksional dan mengejar keuntungan cepat tanpa harus berpikir jangka panjang. Kekuatan seseorang yang memiliki jiwa dealership adalah kecepatannya mengambil keputusan.
Seorang yang berpikir dealership, biasanya dengan melihat sebuah iming-iming sekian miliar (baik dolar maupun rupiah), bila dia bisa mendapatkan keuntungan dari situ, maka dengan cepat sikat. Ia akan membuat sesuatu agar kelihatan berperan dan ujungnya untung gede. Tidak peduli untung sendiri atau orang lain dapat bagian. Tapi, secara praktis, tidak memikirkan jangka panjang, yang penting dapat. Sebab, dengan segera dapat keuntungan tersebut, maka segera eksistensinya terlihat, tampak lebih menonjol dibanding lainnya.
Seorang dealership, tidak suka ribut dan ribet. Semua bisa diatur. Yang penting damai, semua bisa dibicarakan, bisa ditransaksionalkan, sama-sama enak, win-win solution antarpihak. Tidak peduli ada pihak lain yang terpaksa lost (dirugikan).
Seperti halnya kalau Anda melihat sebuah dealer (show room kendaraan), yang dipikirkan adalah gedung-gedung yang bisa dijadikan sebagai tempat memajang dagangan. Agar ramai, para dealer memberi sentuhan mewah, wangi, dan wah, apalagi disertai wanita-wanita cantik di sekitarnya. Siapa yang tak tergiur. Yang penting untung, mobil laku keras tak peduli bahwa efeknya adalah barang dagangannya itu membuat neraka kemacetan. Apakah para dealer ikut memikirkan dampak dari barang dagangannya sehingga menimbulkan kemacetan? Apakah para dealership memikirkan bagaimana membangun infrastruktur dan sebagainya, tidak.
Tentu hal ini berbeda dengan seseorang yang memiliki jiwa leadership (kepemimpinan).
Seorang yang memiliki leadership dalam menghadapi permasalahan, akan dipertimbangkan masak-masak baik buruknya. Memiliki jeda dalam mengambil keputusan, namun tetap mengambil sikap tegas. Tidak hanya berpikir untuk dirinya sendiri, tapi memikirkan lingkungan (environment) dan ekosistem. Sehingga, apa yang dilakukan menjadikan sistem bisa hidup selamanya dan berkelanjutan (sustain), bukan sesuatu yang segera dilupakan.
Penulis kemudian ingat tentang Jembatan Semanggi Jakarta. Jembatan yang terletak di kawasan Karet Semanggi, Setiabudi, Jakarta Selatan itu adalah proyek yang penuh kontroversi pada saat itu, yakni tahun 1961.
Ya, tahun 1961, Presiden Soekarno ketika itu tiba-tiba menggagas pembangunan jembatan layang yang sangat besar, bisa sampai berjejer 5 mobil tiap ruasnya. Soekarno waktu itu menyampaikan bahwa Indonesia perlu membangun Jembatan Semanggi, sebagai land mark Jakarta dan Indonesia, selain juga untuk mendukung lalu lintas di sekitarnya, terutama untuk pesta olahraga internasional Ganefo di Senayan.
Apakah Soekarno dengan mudah menjalankan proyeknya, tentu tidak. Banyak pihak termasuk para musuh politiknya menghajar habis-habisan ide pembangunan Jembatan Semanggi, tapi Soekarno jalan terus. Sebab, pada waktu itu tidak ada alasan yang masuk akal harus mempertimbangkan kemacetan. Sebab, mobil sangat jarang sementara lebar Jalan Semanggi gede banget. Pengritik Soekarno menilai itu proyek mercusuar yang cuma buang-buang anggaran.
Tapi, rupanya Bung Karno berpikir jauh ke depan. Daya nalar dan pikirannya tidak terjangkau oleh orang kebanyakan. Visinya luar biasa. Dia teguh pada pendiriannya. Jiwa kepemimpinannya yang mempertimbangkan kebutuhan ummat ke depan, mengasah keyakinannya bahwa proyek pembangunan Jembatan Semanggi harus tetap diwujudkan.
Sekarang, apa yang kita lihat hari ini? Jembatan Semanggi menjadi penopang utama lalu lintas Jakarta. Kita tidak bisa bayangkan bila hari ini Jembatan Semanggi tidak ada, maka kemacetan Jakarta yang sudah jadi neraka bisa kian jadi jahanam.
Soekarno dan Jembatan Semanggi adalah satu contoh. Anda tentu punya contoh-contoh lain tentang kepemimpinan yang visioner yang kita butuhkan. Pemimpin yang memikirkan jangka panjang untuk bangsa, bukan sekadar berpikir seperti dealer yang hanya memikirkan untuk diri dan kelompoknya saja. Dan, untuk sebuah keyakinan, kita perlu "leadership" yang berani mengambil risiko dan tegas.
Jadi, Anda mau leadership apa dealership?
#Penulis adalah Sekjen APJII, Penggerak KlikIndonesia, COO merdeka.com dan Kapanlagi Network