Memutus Rantai Kasus Bullying di Indonesia
Kasus perundungan terus terjadi di dunia pendidikan. Pihak sekolah harus lebih tegas menerapkan hukuman kepada pelaku.
Tingginya kasus bullying di Indonesia menandakan bahwa persoalan ini tidak mendapat perhatian serius untuk diselesaikan secara komprehensif.
Memutus Rantai Kasus Bullying di Indonesia
MK (15) dan WS (14), dua siswa SMP Negeri 2 Cimanggu, Cilacap, kini menjadi tersangka. Aksi perundungan atau bullying terhadap rekan mereka FF (14) membuat keduanya harus berurusan dengan hukum. Ancamannya, 7 tahun penjara.
Tindakan MK yang menganiaya temannya, viral di media sosial pada akhir September lalu. Dikenal jago silat, MK rupanya menjadi ketua geng siswa. Berprestasi, namun MK juga bermasalah. Dia keluar dari sekolah sebelumnya karena kerap berkelahi.
- Begini Kondisi Siswa SMP Diduga Korban Bullying di Bekasi Sebelum Meninggal Dunia
- Marak Kasus Bullying, Pentingnya Peran Orangtua dan Guru Dalam Membekali Anak
- Pelaku Bullying Siswa SMP di Cilacap Pernah Pindah Sekolah karena Berkasus
- Kepala Sekolah Dipolisikan Buntut Dugaan Bully Siswa SD di Jombang
Kasus MK itu hanya satu dari sekian kasus perundungan yang terus terjadi. Kurun Januari-Juli 2023, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat sebanyak 16 kasus perundungan terjadi di berbagai sekolah. Dalam laporannya, FSGI menyebut empat kasus terjadi pada awal masuk tahun ajaran baru di bulan Juli 2023.
Kasus perundungan mayoritas terjadi di SD (25%) dan SMP (25%), lalu di SMA (18,75%) dan SMK ( 18,75%), MTs (6,25%) dan Pondok Pesantren (6,25%).
FSGI juga mencatat, jumlah korban perundungan sekolah selama Januari-Juli 2023 sebanyak 43 orang yang terdiri dari 41 siswa (95,4%) dan dua guru (4,6%). Adapun pelaku perundungan didominasi oleh siswa yakni sebanyak 87 orang (92,5%), sisanya oleh pendidik sebanyak 5 pendidik (5,3%), 1 orangtua siswa(1,1%), dan 1 Kepala Madrasah (1,1%).
Terbanyak Kelima di Dunia
Tak hanya itu, melansir dari studi Programme for International Student Assessment (PISA), Indonesia termasuk negara dengan kasus bullying terbanyak kelima di dunia.
Kasus bullying di Indonesia dilakukan 41 persen pelajar berusia 15 tahun dalam satu bulan. Indonesia berada di posisi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai negara yang paling banyak murid mengalami kasus bullying.
Tingginya kasus bullying di Indonesia menandakan bahwa persoalan ini tidak mendapat perhatian serius untuk diselesaikan secara komprehensif. Mayoritas diselesaikan secara kekeluargaan, tanpa proses hukum yang membuat efek jera dan perbaikan sistem. Pemerintah didesak membuat peraturan atau payung hukum yang tegas untuk memutus rantai kasus bullying.
Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Hibnu Nugroho mengatakan, dalam kasus perundungan, penegak hukum harus tegas dalam menentukan jalur hukum yang dipilih, tanpa memandang usia pelaku.
Apakah masuk kualifikasi taraf ringan, sedang, atau berat. Dalam kasus yang dilakukan MK di Cilacap, Hibnu setuju dengan proses hukum yang dilakukan polisi.
"Bagaimana pun, seorang anak bisa menjadi seorang anak nakal. Jadi jangan sampai berpihak kepada anak seolah-olah ia malaikat kecil," kata Hibnu ketika dihubungi merdeka.com.
Dalam sebuah kasus hukum yang melibatkan anak, Hibnu menjelaskan, ada tahapan-tahapan penyelesaian.
Mulai dari pidana berupa rehabilitasi. Kemudian diversi atau penyelesaian kasus di luar sistem peradilan pidana, dan terakhir restorative justice.
"Jangan karena pelakunya anak, jadinya diversi. Itu tidak mendidik bagi anak-anak nakal atau anak anak yang berpotensi nakal," ujarnya.
Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Hibnu Nugroho
Peran Tegas Sekolah
Tak cuma proses hukum, kasus perundungan yang terus terjadi di lingkungan sekolah dinilai karena tidak tegasnya pihak sekolah dalam memberikan sanksi. Pengamat pendidikan Andreas, menyebut, banyak sekolah yang kebingungan karena tidak punya dasar hukum atau aturan bagaimana menangani bullying.
Ditambah lagi, hukuman terhadap siswa pelaku malah mendapat tentangan dari orang tua murid. "Nah ini muter terus dan tidak berhenti," ujarnya ketika dihubungi merdeka.com.
Dalam berbagai kasus, kata Andreas, pihak sekolah, seperti guru dan kepala sekolah berada dalam posisi lemah dan rentan mengalami ancaman. Tak jarang, saat dilakukan tindak disiplin, pelaku malah melaporkan balik gurunya.
Pengamat pendidikan Doni Koesoema melihat bahwa sistem koordinasi dan sinkronisasi antara sekolah dengan orang tua dan masyarakat masih lemah dalam menangani perundungan. Apalagi, banyak sekolah belum membentuk satgas anti bullying.
"Meskipun sudah ada Permendikbudristek, banyak sekolah-sekolah yang tidak paham dan tidak menerapkan Satgas, karena mereka enggak ngerti, enggak paham," ujarnya.
"Terus terang, banyak guru tidak tahu harus ngapain saat kekerasan terjadi," imbuhnya.
Untuk memutus lingkaran setan tradisi perundungan, Doni menyarankan sekolah perlu melakukan refleksi dan evaluasi mendalam. Pihak sekolah harus mengakui jika ada masalah dan mencari solusinya.
Dialog dengan wali murid dan siswa harus dilakukan untuk mengevaluasi kondisi keamanan sekolah.
"Orang tua guru, dan siswa dikumpulkan. Dibuat mekanisme kalau ada kekerasan harus dibawa ke mana, diproses dan ditindaklanjuti," jelas Doni.
Mengapa Anak Suka Membully?
Ketua Dewan Pakar FSGI, yang juga mantan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, mengungkapkan setidaknya ada 3 faktor yang menyebabkan seorang anak melakukan tindak pidana sehingga harus berhadapan dengan hukum atau berkonflik dengan hukum.
Faktor internal, faktor eksternal dan faktor situasional. Minimnya keteladanan dari orang tua atau orang dewasa di sekitar anak tumbuh kembang juga bisa menjadi faktor penyebab, mengingat perilaku anak 70% meniru orang dewasa di sekitarnya.
"Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri dan lingkungan keluarganya atau pola pengasuhan yang diterima anak dari keluarganya," tutur Retno.
Kesalahan pola asuh orang tua dapat membentuk kepribadian anak yang manja, selalu dibela, sehingga anak tidak paham konsekuensi dari perbuatannya. Bisa juga karena anak justru diasuh dengan kekerasan oleh orang tuanya, sehingga anak bisa berpotensi kuat menjadi pelaku kekerasan kelak di kemudian hari, baik di lingkungan sekolah atau lingkungan pergaulan.
Selanjutnya adalah faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar rumah anak. Retno mencontohkan, perilaku anak dipengaruhi oleh pergaulan di sekolah, masyarakat, dan juga di dunia maya.
"Anak yang kerap mengakses konten kekerasan, bisa saja meniru konten tersebut, misalnya game online yang berisi kekerasan, bisa film juga. Demikian juga dengan konten pornografi," ujarnya.
Terakhir, kata Ratna, faktor situasional atau faktor yang muncul tak terduga. Misalnya, siswa junior dipaksa kakak kelasnya untuk ikut tawuran. Karena takut menolak maka si anak terpaksa ikut tawuran.
"Atau misalnya situasi orang tuanya berpisah dan si anak mengalami tekanan psikologis namun tidak mendapatkan pertolongan dari profesional atau tidak support sistem dalam keluarga barunya," pungkas Retno.
Belajar dari Finlandia
Sistem pendidikan Finlandia diakui sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Dalam kasus bullying, salah satu program yang diajarkan sejak dini adalah program anti-intimidasi melalui simulasi permainan di komputer.
Program ini dinamakan KiVa, singkatan dari "kiusaamista broadaan," yang berarti "melawan intimidasi". Program ini berfokus pada pengajaran tentang apa yang harus dilakukan jika mereka melihat perundungan.
Profesor UCLA, Jaana Juvonen, dalam siaran pers tentang analisis KiVa mengungkapkan bahwa anak-anak yang paling tersiksa, yang menghadapi bullying beberapa kali dalam seminggu, dapat terbantu dengan mengajari orang-orang di sekitar mereka untuk lebih suportif.
Dalam simulasi permainan KiVa, anak-anak diajarkan mengendalikan avatar kartun yang ditempatkan dalam berbagai situasi intimidasi yang mungkin mereka temui di sekolah. Empati anak-anak itu diuji.
Dalam simulasi diberi pilihan berbeda dalam cara membela korban. Setiap pilihan, lanjut Alanen, memiliki konsekuensi dan mengarah pada situasi baru. Para siswa juga diberikan nasihat dan masukan tentang apa yang harus dikatakan kepada seseorang yang pernah di-bully.
"Di dalam permainan, siswa dapat berlatih bagaimana bersikap baik kepada seseorang dan hal-hal baik apa saja yang dapat diucapkan kepada seseorang yang ingin dimasukkan ke dalam kelompok atau orang baru di sekolah tersebut," kata Alanen.
Dengan menanyakan kepada anak-anak apa yang akan mereka lakukan dalam situasi tertentu dan memberikan respons serta saran mengenai hal tersebut, program ini dapat membantu mengajar siswa untuk lebih berempati dan mendukung korban penindasan.
Langkah Finlandia mengadopsi KiVa sebagai program nasional anti-intimidasi, kini ditiru di negara lain seperti Italia, Belanda, dan Inggris. Indonesia, tentu bisa melakukan studi banding, dan mencontoh program KiVa, agar mata rantai perundungan bisa diputus.