Mencari kepastian hukum buat PKPI
Tak ada jalan lain buat KPU kecuali tolak putusan Bawaslu. PKPI bisa banding ke PTTUN.
Sudah dua kolom ini menulis topik penyelesaian sengketa atas hasil verifikasi partai politik peserta pemilu, yang berporos pada Bawaslu. UU No. 8/2012 memang memberi wewenang kepada Bawaslu untuk menyelesaikan sengketa antara penyelenggara pemilu dengan partai politik menyangkut hasil verifikasi partai politik peserta pemilu. Namun proses dan hasil penyelesaian sengketa ini tidak semulus yang dibayangkan.
Kolom pertama mengingatkan betapa akan sia-sianya sidang ajudikasi Bawaslu karena putusannya bisa diabaikan para pihak, sehingga sengketa berlanjut ke PTTUN dan MA. Dan benar saja, keputusan KPU yang menolak putusan Bawaslu agar KPU menyertakan Partai Keadilan dan Persatian Indonesia (PKPI) menunjukkan hal itu.
Kolom kedua mengingatkan kepada DPR dan pemantau pemilu agar tidak terkejut atas apa pun putusan KPU maupun Bawaslu terkait penyelesaian sengketa hasil verifikasi partai politik peserta pemilu. Desain kelembagaan penyelenggara pemilu memang menempatkan tiga penyelenggara (KPU, Bawaslu dan DKPP) untuk saling bersaing, sehingga logis saja di antara ketiganya saling menolak dan menjatuhkan.
Pada kasus hasil verifikasi administrasi partai politik peserta pemilu, Bawaslu dan DKPP dalam satu kubu, sehingga mereka berhasil memaksa KPU melakukan verifikasi faktual terhadap partai-partai politik yang sudah terlanjur dinyatakan tidak lolos verifikasi admnistrasi oleh KPU. KPU tidak berdaya, sebab kalau sampai tidak menjalankan putusan DKPP, ketua dan anggota KPU diancam tuduhan melanggar kode etik penyelenggara. Mereka bisa dilaporkan dan disidang kembali oleh DKPP.
Nah, pada kasus penolakan KPU untuk menyertakan PKPI sebagai peserta pemilu, KPU mendapat pembelaan dari DKPP. Pagi-pagi Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie sudah menyatakan KPU bisa menolak putusan Bawaslu, sehingga mereka yang tidak puas atas putusan KPU bisa melakukan banding ke PTTUN. Pernyataan Jimly yang disampaikan sebelum KPU menolak putusan Bawaslu itu, tentu membuat KPU tidak takut lagi ancaman PKPI dan pemantau untuk melaporkan KPU ke DKPP.
Keputusan KPU memang menimbulkan kontroversi. Partai-partai yang dinyatakan tidak lolos dan beberapa pegiat pemantau pemilu cenderung menyalahkan KPU karena dianggap tidak menghormati hasil dari proses hukum yang diatur oleh undang-undang. Sebaliknya, partai-partai politik yang lolos dan beberapa akademisi, menilai sikap KPU sudah benar karena putusan Bawaslu dianggap tidak profesional.
Putusan Bawaslu yang memerintahkan KPU untuk menyertakan PKPI menjadi partai politik peserta pemilu memang menimbulkan dilema bagi KPU. Pertama, putusan itu secara substansi bermasalah, baik dari logika maupun pengecekan fakta, sehingga bisa dimengerti jika KPU menolaknya. Lagi pula jika KPU menjalankan putusan itu, berarti KPU mengakui adanya kesalahan verifikasi sehingga para petugas di lapangan harus diberi sanksi.
Kedua, sebagai pihak yang bersengketa, KPU bisa saja melakukan banding ke PTTUN dan kasasi ke MA. Tetapi jika KPU banding atas putusan Bawaslu ke PTTUN itu sama saja dengan bunuh diri. Sebab, ada peraturan MA yang menyatakan dalam penyelesaian sengketa antara penyelenggara dan partai politik, penyelenggara tidak berhak banding. Dus, jika KPU nekat banding ke PTTUN, ya pasti ditolak, yang itu akan memposisikan KPU melaksanakan putusan Bawaslu yang dinilainya bermasalah.
Ketiga, KPU bisa saja mengabaikan begitu saja putusan Bawaslu, dengan cara tidak bereaksi apapun atas putusan Bawaslu sehingga status kepesertaan PKPI tetap seperti sebelumnya: tidak lolos verifikasi faktual. Tapi jika langkah ini yang ditempuh, maka KPU sama saja dengan melecehkan hasil atas proses hukum yang diakui oleh undang-undang.
Dengan demikian, penyikapan KPU yang menolak menjalankan perintah Bawaslu bisa dipahami sebagai "tidak ada jalan lain". Toh masih ada ruang buat PKPI melanjutkan sengketa ke PTTUN dan bahkan ke MA, demi mendapatkan keadilan dan kepastian hukum.