Mengenang Indonesia di Bumi Lorosae
Banyak bangunan peninggalan Indonesia di Timor Leste yang kini masih berdiri kokoh.
Langit biru jernih dan awan putih berarak memayungi kawasan perbukitan Dili, Timor Leste, Kamis siang pekan lalu. Dari kejauhan samar-samar sebuah patung menghadap ke arah Kota Dili terlihat begitu menawan. Letak patung itu berada di ujung jalan tak jauh dari rumah Presiden Timor Leste saat ini, Taur Matan Ruak.
Kebetulan mantan panglima perang Fretilin kini jadi presiden itu kediamannya sama-sama berada di atas bukit. Semakin dekat dengan patung di ketinggian 90 mdpl di atas permukaan laut itu pemandangannya makin memesona. Pohon rindang dan sejuknya angin semilir mengelai rambut dari pinggir pantai.
Christo Rei, begitu nama Patung raja kristus terletak di Bukit Fatucama, Kampung Areabranca, Dili, Timor Leste itu dikenal warga. Patung setinggi 27 meter itu hingga kini masih berdiri kokoh dan menjadi salah satu destinasi wisata Timor Leste. Cristo Rei juga menandakan kenangan Indonesia di Bumi Lorosae ketika masih masuk provinsi Timor-timur.
"Patung ini disebut Cristo Rei," ujar Abio, salah seorang warga Timor Leste kebetulan mengantarkan merdeka.com ke tempat ini pekan lalu. "Setiap hari minggu di sini ramai orang berkunjung," katanya menjelaskan.
Bisa dibilang, Cristo Rei merupakan bukti nyata keberadaan Indonesia di Timor Leste. Patung itu dibangun ketika mantan Presiden Soeharto masih menjabat. Gagasan pembuatan patung itu pun terlontar dari Gubernur Timor Timur, Jose Osario Soares. Ketika itu, Jose menyampaikan ide gagasan untuk membuat patung Raja Kristus kepada Soeharto. Tujuannya sebagai bingkisan ulang tahun integrasi Timor Timur ke Indonesia. Museum Rekor Indonesia pernah memberikan penghargaan sebagai patung Kristus Raja tertinggi di Indonesia.
Christo Rei diresmikan Soeharto pada Oktober 1996. "Bangunan ini dibangun ketika zaman Presiden Soeharto," kata Baduarte Batista seorang petugas penjaga Cristo Rei saat berbincang dengan merdeka.com, Kamis pekan lalu. Baduarte merupakan salah satu pengungsi Timor Leste di Atambua yang kini kembali ke Timor Leste.
Bukan hanya Christo Rei menjadi bukti peninggalan ketika Timor-timur masih masuk Provinsi ke 27 Indonesia. Hampir seluruh jalan penghubung di Kota Dili merupakan peninggalan dibangun Indonesia ketika Soeharto masih berkuasa. Sebuah bangunan bertuliskan 'Balai Prajurit' tak jauh dari kantor Kepresidenan Timor Leste pun masih berdiri dengan kokoh. Di Kampung Alor tak jauh dari Kota Dili, berdiri sebuah Masjid An-Nur didirikan oleh Indonesia bagi umat muslim berada di sana. Masjid itu resmikan pada tahun 1981 oleh Pangdam Udayana kala itu, Brigjen Dading Kalbuadi.
Selain Masjid An-Nur, Jembatan Loes, juga salah satu jembatan penting dibangun ketika Timor Leste masih masuk Indonesia. Jembatan penghubung dengan Atambua, Belu-NTT itu dibangun oleh pemerintah Indonesia tahun 1991. Profesor Mulyana adalah menteri meresmikan jembatan Loes kala itu.
Dalam buku 'Kerkil dalam sepatu: Diplomasi penyelesaian Kasus Timor Leste di PBB' milik Akhmad Kusaeni diterbitkan Pustaka Antara Utama tahun 2000. Selama 23 tahun Timor Leste masuk wilayah Indonesia, subsidi untuk pembangunan daerah itu jumlahnya mencapai ratusan miliar.Tercatat, saban tahun pemerintah pusat menggelontorkan dana Rp 190 miliar per tahun ke Timor Leste.
"Dengan pendapatan asli daerah Rp 10 miliar per tahun," tulis Akhmad Kusaeni seperti dikutip merdeka.com dari bukunya halaman 3.
Rasa Indonesia memang masih kentara hingga kini di Bumi Lorosae. Selain bangunan, bahasa Indonesia juga menjadi salah perantara komunikasi sering digunakan warga asli Timor Leste. Menurut tokoh masyarakat juga mantan pejuang kemerdekaan Timor Leste, hampir 50 persen orang asli Timor Leste memahami bahasa Indonesia. Bahkan acara televisi biasa di tonton pun kebanyakan siaran asal Indonesia. Jadi jangan kaget jika kebanyakan orang asli memahami bahasa Indonesia.
"Anak saya pun sering menonton televisi Indonesia," ujar Moreira.